Tawuran dengan Senjata Tajam dan Pembegalan Teror Warga Aceh
Sebagian pelaku tawuran dengan senjata tajam di Aceh masih anak-anak.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Tawuran dengan senjata tajam yang melibatkan geng motor dan pembegalan di tengah jalan meneror kehidupan warga Aceh. Ironisnya, aksi kejahatan itu banyak melibatkan pelaku yang masih berusia anak.
Tiga dari enam pelaku pambacokan dalam aksi tawuran antargeng motor, Minggu (21/1/2024), di Desa Lamgugob, Kota Banda Aceh, misalnya, masih anak-anak. Mereka menyerang seorang warga yang sedang duduk santai di sebuah warung kopi di desa tersebut. Pelaku diduga salah sasaran karena mereka berencana menyerang anggota geng motor lainnya.
”Dua warga terluka diserang dengan senjata tajam. Mereka bukan pelaku begal, tetapi geng motor yang ingin tawuran,” kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Banda Aceh Komisaris Fadillah Aditya Pratama, dalam konferensi pers, Rabu (24/1/2024).
Fadillah mengatakan, penyerangan terjadi pada Minggu siang di sebuah warung kopi. Dengan menenteng senjata tajam, seperti pedang, parang, celurit, dan gergaji, anggota geng motor masuk ke warung dan menyerang warga yang sedang menikmati kopi.
Infografik rentetan kasus kriminal bersenjata di Aceh pascadamai.
Warga yang mendapatkan serangan tiba-tiba tersebut kaget dan ketakutan. Dua orang terkena sabetan senjata tajam. M Zulmi (29) terluka di bagian tangan, sedangkan Walidan (23) mengalami luka di kepala. Sampai saat ini, Walidan masih dirawat di Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin, Banda Aceh.
Seusai menyerang warga, pelaku meninggalkan lokasi. Polisi menangkap pelaku, Minggu, beberapa jam seusai kejadian. Dari 21 orang yang diperiksa, enam dijadikan tersangka. Mereka adalah DAL (24), warga Gue Gajah, Aceh Besar; MAD (19), warga Lambheu, Aceh Besar; dan FIR (18), warga Punge Jurong, Banda Aceh. Tersangka lainnya adalah YF (15), MAB (17) dan MIS (17) yang masih di bawah umur. Saat konferensi pers, tiga pelaku yang masih anak-anak itu tidak dihadirkan.
Para pelaku dijerat dengan Pasal 170 Ayat (2) Ke-1 KUHP juncto Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dengan ancaman 7 tahun penjara.
Masih diburu
Sementara itu, pelaku begal terhadap dua warga Kabupaten Aceh Besar yang terjadi pada Selasa (16/1/2024) hingga kini masih diburu. Kedua korban, yaitu Raimah (33) dan anaknya, Fita (19), masih dirawat di rumah sakit.
Fadillah mengatakan, para pelaku dijerat dengan Pasal 170 Ayat (2) Ke-1 KUHP juncto Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dengan ancaman tujuh tahun penjara.
Pembegalan terjadi di Jalan Teungku Chik Bak Kurma, Desa Rumpet, Kecamatan Krueng Barona Jaya, Aceh Besar. Jalan tersebut berada di antara persawahan dan relatif sepi dari pengendara. Tidak ada kamera pemantau di sepanjang jalan tersebut.
Pelaku menendang sepeda motor yang dikendarai korban. Setelah terjatuh, pelaku merampas tas korban yang berisi uang Rp 7 juta dan sebuah gawai. Pelaku yang menggunakan motor matic kabur meninggalkan korban dalam keadaan terluka.
Dua aksi kriminalitas tersebut membuat warga Banda Aceh dan Aceh Besar gelisah. Warga was-was untuk bepergian sendiri dan melintasi jalanan yang sepi.
”Tidak ada saksi yang melihat sehingga menyulitkan kami menangkap pelaku. Kami mengumpulkan video di kamera CCTV, tetapi belum ada yang mengarah. Kami terus memburu pelaku,” kata Fadillah.
Dua aksi kriminalitas tersebut membuat warga Banda Aceh dan Aceh Besar gelisah. Warga was-was untuk bepergian sendiri dan melintasi jalanan yang sepi.
Seorang warga Aceh Besar, Fendra, mengatakan, pemerintah harus menghadirkan keamanan bagi warga. Penyerangan terhadap warga dan aksi pembegalan merupakan bentuk teror atas kenyamanan hidup.
Dosen Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI), Aceh Iskandar, mengatakan, aksi kriminalitas bersenjata tajam yang dilakukan oleh remaja dan anak-anak menunjukkan kegagalan pemerintah dan keluarga melahirkan generasi unggul.
Aksi kejahatan remaja dan anak-anak itu juga bisa dilihat sebagai manifestasi dari respons mereka atas kemiskinan, minimnya kasih sayang keluarga, dan sempitnya akses lapangan pekerjaan.
”Kesenjangan sosial itu bisa berupa kesenjangan pendidikan atau akses terhadap pendidikan layak, bisa juga akses informasi, dan tidak tersedianya lapangan kerja,” katanya.
Iskandar mengatakan, peningkatan ekonomi, akses pada pendidikan, dan penguatan kebudayaan dapat menurunkan aksi kekerasan.