Petani dan warga di sejumlah wilayah menuntut hak atas tanah dan menagih janji reforma agraria.
Oleh
VINA OKTAVIA, NIKSON SINAGA, RENY SRI AYU ARMAN, MEGANDIKA WICAKSONO, MACHRADIN WAHYUDI RITONGA, KRISTIAN OKA PRASETYADI, WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN, PRADIPTA PANDU MUSTIKA, MUKHAMAD KURNIAWAN
·5 menit baca
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, turunan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, sejatinya telah mengatur prinsip-prinsip pokok yang mewajibkan negara mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya. Harapannya, semua tanah di seluruh wilayah kedaulatan Indonesia dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Akan tetapi, hingga 78 tahun merdeka, reforma agraria belum berhasil dilaksanakan. Ironisnya, kepemilikan lahan amat timpang, yakni hanya 1 persen populasi masyarakat menguasai 68 persen kekayaan tanah di Indonesia tahun 2013. Pada saat yang sama, petani gurem atau petani dengan luas lahan 0,5 hektar atau kurang terus meningkat, yakni dari 55,33 persen (14,25 juta rumah tangga) pada 2013 menjadi 60,84 persen (16,89 juta rumah tangga) pada 2023.
Asa pernah bersemi ketika Presiden Joko Widodo menjadikan isu itu sebagai salah satu visi misi yang tertuang dalam Nawacita. Pada poin ke-5 Nawacita, pemerintah menyatakan akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui program Indonesia Kerja dan Indonesia Sejahtera dengan mendorong land reform dan program kepemilikan tanah seluas 9 juta hektar.
Pemerintah mengklaim telah melakukan legalisasi dan redistribusi tanah seluas 1,67 juta hektar. Namun, angka itu masih jauh dari target. Selain relatif kecil, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai angka itu bercampur dengan program legalisasi aset yang tak bisa disebut sebagai reforma.
Di lapangan, eskalasi konflik agraria justru meningkat. KPA mencatat, selama kurun tahun 2015-2023, ada 2.939 kasus konflik agraria di lahan seluas 6,3 juta ha. Jumlah korban konflik mencapai 1,75 juta rumah tangga petani. Hingga kini, masyarakat di sejumlah wilayah masih dibayang-bayangi konflik dan ketidakpastian akan masa depannya.
Ketidakpastian
Ketidakpastian akan ruang hidup dan penghidupan itu, antara lain, dialami oleh Ruding (80) dan Tahir (50), warga Desa Batu Mila, Kecamatan Maiwa, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Boleh dikata, lebih dari separuh hidupnya selalu berhadapan dengan konflik dan bencana.
”Pada tahun 1999, ada program bupati (Bupati Enrekang) untuk warga tak mampu, untuk menggarap lahan yang ditelantarkan di Maiwa dan saya ikut. Ternyata di sini berkonflik,” katanya saat ditemui di Desa Batu Mila, Selasa (9/1/2024).
Dia tak bisa melupakan peristiwa tahun 2022 ketika buldoser diturunkan perusahaan perkebunan milik negara untuk meratakan lahan garapannya Lahan yang dia tanami, seperti durian, rambutan, merica, pala, dan kakao, rata dengan tanah. Tak satu pun tersisa.
Ibrahim (50), warga lain di desa itu, harus menyaksikan ternak sapinya mati. ”Seusai kebun diratakan, rumput-rumput disiram dengan racun. Sapi saya banyak yang mati dengan mulut berbusa. Ada yang kakinya ditebas dan tubuhnya dilukai. Entah oleh siapa,” katanya.
Ruding, Tahir, dan Ibrahim hanya tiga dari ratusan keluarga yang menghadapi konflik lahan di kawasan itu. Hidup mereka kini diliputi rasa khawatir. Setiap saat waswas jika buldoser akan datang.
”Kebun sudah habis, tinggal rumah yang belum diratakan. Kalau harus keluar dari sini, entah kami mau ke mana dan bekerja apa?” kata Efendi (60), penyadap nira dan pembuat gula aren.
Ketidaktenangan juga dirasakan warga yang bermukim di kawasan Register 1 Way Pisang, Kabupaten Lampung Selatan, Lampung. Perjuangan warga menagih janji reforma agraria dari pemerintah lagi-lagi menemui jalan buntu. Mursidi (72), warga Desa Sumber Sari, Kecamatan Sragi, Lampung Selatan, menyatakan, warga sudah puluhan tahun bermukim di lokasi itu. Dulu, kawasan itu memang merupakan hutan belantara.
Warga membuka lahan dan bertani di kawasan itu sejak tahun 1960-an. Namun, belasan tahun kemudian, mereka baru tahu bahwa kawasan itu disebut sebagai hutan negara. Rentetan konflik lahan antara masyarakat dan perusahaan terjadi selama periode 1992-2014. Ada empat investor yang pernah masuk dan berupaya mengelola kawasan Register 1 Way Pisang. Namun, investasi di kawasan ini selalu gagal karena penolakan warga.
Desa-desa definitif di kawasan hutan produksi Register 1 Way Pisang sudah padat penduduk. Tak hanya rumah-rumah permanen, berbagai fasilitas, seperti sekolah, tempat ibadah, puskesmas, dan pasar, sudah dibangun di sana. Jalan-jalan sudah diaspal mulus, beberapa bahkan telah dibeton.
Di desa-desa itu tak ada lagi pohon-pohon besar. Yang tampak hanya sawah serta kebun jagung, kelapa, pisang, dan tanaman buah lain. Kawasan yang disebut sebagai hutan register itu lebih terlihat sebagai desa-desa yang telah berkembang.
Ketua Forum Masyarakat Register 1 Way Pisang Suyatno menuturkan, para petani telah menanti penyelesaian konflik lahan di Register 1 Way Pisang selama puluhan tahun. Mereka amat berharap negara menepati janji program reforma agraria dengan memberikan hak atas tanah kepada petani.
Terbitnya Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria kian memberi harapan bagi warga. Total ada 16 desa yang berada dalam kawasan Register 1 Way Pisang. Dari jumlah itu, tujuh desa masuk dalam lokasi prioritas reforma agraria sejak tahun 2019.
Mereka yang menyuarakan harapan itu, antara lain, ada di kawasan Register 1 Way Pisang, Kabupaten Lampung Selatan, Lampung; Maiwa, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan; tanah sedimentasi di Segara Anakan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah; Ratatotok, Kabupaten Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara; serta sejumlah desa di kaki Gunung Cikuray, Kabupaten Garut, Jawa Barat.
Harapan senada disampaikan oleh masyarakat di Sumber Klampok, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali; Siria-Ria, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara; Siantar Martoba dan Siantar Sitalasari, Kota Pematang Siantar, Sumatera Utara; Loh Liang Pulau Komodo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur; serta Batulawang, Kecamatan Cipanas, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.
Presiden terpilih
Tak hanya warga Maiwa dan Way Pisang, asa serupa disampaikan oleh mereka yang memperjuangkan hak atas tanah di Segara Anakan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah; Ratatotok, Kabupaten Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara; serta sejumlah desa di kaki Gunung Cikuray, Kabupaten Garut, Jawa Barat.
Harapan senada disampaikan oleh masyarakat di Sumber Klampok, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali; Siria-Ria, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara; serta Loh Liang Pulau Komodo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Mereka berharap siapa pun presiden dan wakil presiden yang terpilih dalam Pemilu 2024 merealisasikan janji reforma agraria.