Mengurai Konflik Agraria, Memerdekakan Rakyat Indonesia
Dalam satu dekade terakhir, puluhan orang tertembak bahkan meninggal dunia saat memperjuangkan hak atas tanah.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Walau bangsa ini sudah merdeka selama 78 tahun, kemerdekaan nyatanya tidak dirasakan oleh seluruh warga. Ribuan konflik agraria masih mewarnai kehidupan di negeri ini.
Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dalam Catatan Akhir Tahun 2023, terdapat 2.939 konflik selama 2015-2023. Ribuan konflik tersebut melibatkan 1,759 juta keluarga korban pada lahan seluas total 6,3 juta hektar.
Dalam satu dekade terakhir, puluhan orang tertembak bahkan meninggal dunia saat memperjuangkan hak atas tanah. Sebagian dari perjuangan itu belum berujung. Tidak sedikit pula perjuangan yang akhirnya harus menemui jalan buntu. Tidak sedikit perkara yang harus terkubur dalam-dalam lantaran sulit untuk dicari solusinya.
Apabila curahan hati mereka didengar, tidak jarang segala hal sudah mereka tempuh demi untuk meraih keadilan. Setiap jalan perjuangan telah pula dilalui. Tidak jarang semua pihak sudah didatangi atau disurati mulai dari level kepala desa hingga presiden. Terkadang, hanya Tuhan semata yang belum disurati.
Kompleksitas konflik agraria memang terbilang tinggi. Keinginan untuk menuntaskan konflik agraria dalam berbagai kasus juga dihambat oleh benturan kepentingan, keruwetan regulasi, dan interpretasi berbeda atas berbagai data yang kerap sulit divalidasi.
Dalam beberapa kasus, para pihak dari konflik agraria bahkan kesulitan untuk mengidentifikasi dari mana kasus itu harus dituntaskan. Tumpang tindih kewenangan untuk mengurusi urusan agraria menambah kompleksitas persoalan.
Harus mulai dari mana untuk mengurai konflik agraria? Hal mendasar yang harus dilakukan adalah mengurai keruwetan dan silang-menyilang kewenangan yang kerap berdasar pada berbagai regulasi. Pernyataan KPA ada benarnya bahwa republik ini membutuhkan undang-undang tentang Reforma Agraria.
Walau kita paham bahwa kekuasaan untuk membentuk undang-undang berada di tangan DPR, rancangan undang-undang idealnya disusun oleh berbagai ahli ataupun aktivis yang paham betul dengan reforma agraria. Itu kalau kita ingin supaya konflik agraria sungguh dapat diurai.
Hal berikutnya adalah penuntasan program ”kebijakan satu peta” dan ”kebijakan satu data”. Program itu penting dituntaskan untuk kejelasan dan keakuratan data kepemilikan serta peruntukan mulai dari satu bidang lahan hingga ibaratnya satu hutan di satu puncak gunung tertentu. Yang juga penting adalah bagaimana agar data itu dapat diakses oleh siapa pun.
Demi kepastian, tidak ada salahnya untuk mengadopsi teknologi blockchain dalam urusan pertanahan. Inovasi teknologi itu kiranya dapat menekan potensi pemalsuan dalam pencatatan kepemilikan tanah. Kepastian dalam dokumentasi kepemilikan tanah kiranya dapat banyak memangkas potensi konflik agraria.
Saat ini, nyaris seluruh calon pemimpin negeri ini memimpikan Indonesia menjadi negara maju. Mimpi itu kiranya sekadar menjadi mimpi jika kita gagal menuntaskan konflik agraria di tanah kita sendiri.