Masyarakat Surabaya patut mewaspadai dan mengantisipasi gangster yang terus melibatkan anak dan remaja.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Aparatur terpadu di Surabaya, ibu kota Jawa Timur, mewaspadai kembali peningkatan aktivitas gangster yang melibatkan anak dan remaja untuk berbuat kejahatan serta membahayakan keselamatan masyarakat.
Perlunya peningkatan kewaspadaan itu terlihat dari munculnya sejumlah aktivitas gangster sejak awal tahun. Mereka berkonvoi dengan sepeda motor dan sebagian membawa senjata tajam berupa pedang dan celurit. Sudah ada orang yang terluka akibat diserang gangster atau terlibat tawuran.
Pada Minggu (14/1/2024) selepas pukul 23.00, hampir 100 orang yang mengenakan atribut perguruan silat menyerang dan melukai dua remaja yang sedang nongkrong di Jalan Tunjungan. Penyerangan itu cuma karena seorang korban mengenakan jaket tudung yang dipinjam dari orang lain dan terdapat nama perguruan silat berbeda.
Sehari kemudian, petugas gabungan menangkap 139 remaja yang mengaku gabungan dari Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik saat hendak berkonvoi di Jalan Banyuurip. Kelompok ini diduga hendak berkonvoi sebagai balasan peristiwa pengeroyokan di Jalan Tunjungan malam sebelumnya.
Petugas membawa mereka yang semua remaja ke kantor polisi dan membolehkan pulang jika dijemput orangtua. Sebanyak 66 sepeda motor yang digunakan kelompok ini ditahan sementara untuk diperiksa kelengkapan surat-suratnya.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Kota Surabaya Ajun Komisaris Besar Hendro Sukmono mengatakan, dari pengeroyokan di Jalan Tunjungan, petugas menangkap tiga warga Sidoarjo. Seorang ditetapkan sebagai tersangka yang berinisial AN dan mengaku menyerang dua korban. ”Dua orang lagi berinisial NA dan YL masih berstatus saksi,” katanya, Kamis (18/1/2024).
Masih terkait gangster, Kepolisian Sektor Sukomanunggal menahan tiga orang sebagai tersangka tawuran antarkelompok di Jalan Raya Darmo Harapan, Selasa (10/1/2024). Ketiganya ialah TGR (20), JJ (17), dan MA (16). Dua remaja dititipkan ke balai pemasyarakatan karena dalam status anak berkonflik dengan hukum.
Saat berkelompok, muncul keberanian lebih dan merasa jagoan atau superior meskipun kemudian disalurkan ke tindakan yang keliru atau malah melanggar hukum.
Menurut Kepala Polsek Sukomanunggal Komisaris Zainur Rofik, ketiga orang itu ditangkap dengan barang bukti membawa celurit, pedang, atau corbek. Mereka yang hendak tawuran ada 14 orang dari kedua pihak. Sebanyak empat orang yang menjadi tersangka berasal dari gangster Tim Barat Kacau yang mencoba menanggapi tantangan gabungan gangster (Akatsuki, Halu, dan All Star) yang dikirim lewat media sosial Instagram.
”Yang lainnya dipulangkan, tetapi dikenai wajib lapor seminggu tiga kali dan orangtua berkomitmen mengawasi aktivitas mereka,” kata Zainur.
Dari ketiga tersangka, ada seorang dewasa, yakni TGR, yang diduga sebagai pemimpin gangster yang terus mencoba merekrut anggota baru untuk eksistensi kelompok pembuat onar tersebut.
Secara terpisah, Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi mengatakan akan terus mendorong patroli gabungan untuk mencegah aktivitas konvoi kelompok remaja berkembang menjadi aksi anarkistis. Sosialisasi oleh aparatur ke sekolah-sekolah juga ditempuh tentang ajakan kepada siswa-siswi tidak terlibat kenakalan, apalagi kejahatan.
”Anak-anak yang terjaring operasi dan merupakan warga Surabaya akan dikenai sanksi, misalnya kerja sosial dan keluarganya mendapat pengawasan,” kata Eri.
Dosen sosiologi sekaligus Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Bagong Suyanto, mengatakan, keberadaan gangster di perkotaan merupakan turunan dari situasi di masa lalu, bahkan saat negeri belum berdiri. Akan selalu ada kelompok masyarakat yang memberontak atau melawan situasi dan kondisi sosial.
Anak dan remaja terlibat gangster diduga karena lemahnya pengawasan dan pembinaan dalam keluarga. Menurut Bagong, keluarga merupakan komunitas pertama dan utama dalam pendidikan karakter dan sosial seseorang. Dalam aktivitas kelompok, akan meningkat keberanian karena bersama-sama dan serasa senasib.
”Saat berkelompok, muncul keberanian lebih dan merasa jagoan atau superior meskipun kemudian disalurkan ke tindakan yang keliru atau malah melanggar hukum,” kata Bagong.