Di era digital ini, ada kelompok-kelompok yang memiliki keterbatasan, dari lingkungan bermasalah, mungkin tidak terlalu pandai atau kreatif, sehingga sulit untuk dapat menciptakan lapangan kerjanya sendiri.
Oleh
KRISTI POERWANDARI
·4 menit baca
Polsek Tarumajaya
Ilustrasi gangster. Kepolisian Sektor Tarumajaya, pada Selasa (24/8/2021) di Bekasi, menunjukkan barang bukti sepeda motor dan senjata tajam yang digunakan para kelompok gangster Brother Stress 2018, saat melukai seorang ketua RW di Desa Segara Makmur, Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, pada 18 Agustus 2021.
Beberapa lama ini warga di lokasi-lokasi berbeda diresahkan oleh kawanan anak muda yang menyebut dirinya gangster. Mereka bukan saja saling tawuran melainkan juga melakukan tindakan yang berbahaya bagi masyarakat luas. Misalnya membegal pengendara di jalan dengan kekerasan. Mereka membuat senjata tajamnya sendiri dan memamerkannya di media sosial untuk menunjukkan eksistensi kelompok (misalnya pada Kompas, 19/2/2022).
Berbagai kajian telah disampaikan mengenai fenomena anak-anak muda menjadi kelompok gangster. Tetapi masih menjadi pertanyaan, apakah kajian itu sungguh-sungguh menyumbang bagi pengembangan program untuk mengatasi persoalan?
Tentu persoalannya sangat kompleks. Bagaimanapun, di benak saya, terpikir salah satu tema penting. Yakni bahwa manusia merupakan makhluk yang fitrahnya adalah untuk bekerja dan bertransendensi, dan kesulitan untuk dapat mengaktualisasikan hal itu mungkin berpindah dalam perilaku agresi dan destruksi. Betulkah demikian?
Makna dan tujuan hidup
Saya menemukan dua laporan penelitian, yang meski tidak dilakukan di Indonesia, tampaknya dapat memberikan sedikit kejelasan tentang apa yang terjadi dan perlu dilakukan.
Ali Eryılmaz (2017) mencoba membandingkan kelompok laki-laki (usia antara 19–26 tahun) pelaku pelanggaran hukum (50 orang) vs bukan pelaku pelanggaran (50 orang) di Turki, mengenai bagaimana mereka memaknai hidup dan menetapkan tujuan hidup. Tindak pelanggaran yang pernah dilakukan berkisar pada pencurian, menyerang dan melukai orang lain, menjual narkoba, merampok, hingga melakukan kekerasan seksual.
Bila tidak difasilitasi dan dicarikan langkah awal, mereka kalah dan mungkin menghadirkan masalah dalam masyarakat.
Eryılmaz menyusun kuesioner sederhana, dan secara umum, partisipan yang tidak melakukan pelanggaran memberikan jawaban mengenai tujuan hidup yang lebih tinggi daripada yang pernah melakukan pelanggaran, baik dalam hal keberhasilan karir, relasi, dan minat pribadi.
Dari wawancara juga terungkap tema yang relatif berbeda. Partisipan yang bukan pelaku pelanggaran menyampaikan jawaban yang lebih kaya dari berbagai dimensi, dengan tema yang lebih positif. Yang paling banyak disampaikan mengenai makna hidup yaitu hubungan yang positif dengan orang lain, lalu tema-tema lain seperti nilai-nilai spiritual, dapat melakukan hal-hal bermakna, serta untuk terus mengembangkan diri.
Sebaliknya, pelaku pelanggaran menjawab dalam kalimat singkat dengan dimensi tunggal. Hampir setengahnya mengaku tidak menemukan atau tidak paham arti hidup. Jawabannya antara lain, “tidak tahu”, “Saya sekarang hidup tapi nanti mati juga, jadi tidak ada arti khusus sih”, serta “saya tidak bisa mengarahkan hidup saya, saya tidak memperoleh kesenangan, jadi ya hidup tidak ada artinya sih”.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Warga melintasi mural kebhinnekaan di Jaticempaka, Kota Bekasi, Jawa Barat, Sabtu (12/2/2022).
Satu tema jawaban diistilahkan oleh Eryılmaz sebagai ‘seleksi alam’. Contoh jawabannya, “Uang itu berbicara dan berkuasa. Jadi kalau punya uang ya kamu berkuasa, kalau tidak punya tidak bisa apa-apa.” Tema lain yang khas adalah bahwa hidup itu keras, yang lemah akan tersingkir (“Saya harus mengumpulkan barang bekas sejak kecil, jadi hidup itu berat. Ya harus berjuang saja biar tidak mati dan tetap hidup.”). Satu tema lain adalah “Makna hidup itu adalah untuk dapat bergaul dengan orang yang baik, dan menjauh dari tindak kriminal.”
Kita perlu merenungi jawaban itu dalam konteks hidup mereka, yang cenderung ada di lingkungan yang tidak terorganisasi, berkekurangan, dan kurang menyediakan nilai-nilai serta model peran positif. Mereka melihat cukup banyak contoh kesulitan hidup dan cara-cara menyelesaikan masalah dengan kekerasan atau perilaku melanggar hukum.
Program kerja
Bekerja atau beraktivitas yang bertujuan memberi kesempatan untuk belajar, mengembangkan keterampilan, sekaligus menghadirkan perasaan bermakna. Individu menghayati diri lebih positif, memperoleh penghargaan dari orang lain, dan dapat mengembangkan ikatan sosial dengan orang lain.
Tampaknya orang muda dari lingkungan yang kurang kondusif perlu memperoleh fasilitasi untuk dapat mengembangkan makna dan tujuan hidup yang lebih bermakna. Satu yang penting adalah dengan penyediaan pekerjaan.
Mengenai ini, penelitian Rebecca Oswald (2021) dapat memberikan masukan berguna. Oswald melakukan penelitian pada remaja (16-18 tahun) mantan pelaku tindak kriminal, yang memperoleh program kerja dan disupervisi selama 6 bulan di Inggris.
ARSIP PRIBADI
Kristi Poerwandari
Menyediakan program kerja ternyata memang memiliki implikasi sangat baik. Para partisipan mengaku tidak dapat membayangkan harus kembali ke situasi ketika mereka ‘cuma tidur-tiduran, atau nongkrong di pinggir jalan’. Mereka mengatakan: “Ketika bangun pagi, ingin terus ada sesuatu yang dapat dilakukan.”
Tugas yang diberikan oleh program yang diteliti Oswald adalah di alam terbuka, yang lebih bersifat manual dan memerlukan tenaga fisik. Misalnya mengecat, membuat pagar, atau memasang tembok. Para partisipan ternyata memang lebih menyukai pekerjaan seperti itu. Barangkali pendidikan dan ketrampilan yang terbatas mempengaruhi, selain bahwa pekerjaan demikian menghadirkan citra peran maskulin yang positif dalam konteks kehidupan anak-anak muda tersebut.
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
Sejumlah anak muda di industri rumah tangga Suryamedja Group di Desa Kalikajar, Purbalingga, Jawa Tengah memproduksi truk mainan, Kamis (25/11/2021). Produksi per hari mencapai 300 unit dan selama pandemi omsetnya melesat antara Rp 100 juta hingga Rp 500 juta sebulan.
Pembelajaran yang kita peroleh adalah, di era digital ini, ada kelompok-kelompok yang memiliki berbagai keterbatasan, dari lingkungan bermasalah, mungkin tidak terlalu pandai atau kreatif, sehingga sulit untuk dapat menciptakan lapangan kerjanya sendiri. Bila tidak difasilitasi dan dicarikan langkah awal, mereka kalah dan mungkin menghadirkan masalah dalam masyarakat.
Program juga perlu disesuaikan dengan kelompok sasaran, mungkin untuk mengisi aktivitas yang tidak semuanya mengacu pada internet dan teknologi tinggi. Memang tidak mudah. Semoga pemerintah dan masyarakat dapat bekerja sama menyelesaikan berbagai tantangan di alam hidup yang makin kompleks ini.