Hajriansyah dan Arif Rahman Hakim, Dua Pilar Kampung Buku
Hajriansyah dan Arif Rahman Hakim mendirikan Kampung Buku Banjarmasin untuk membangun gerakan literasi.
Berangkat dari kegelisahan terhadap perkembangan literasi di Kalimantan Selatan, Hajriansyah (45) dan Arif Rahman Hakim (33) mendirikan Kampung Buku Banjarmasin. Lewat kampung buku yang dibentuk lima tahun lalu, mereka berusaha membangun minat membaca, menulis, dan berpikir kritis.
Kampung Buku Banjarmasin di Jalan Sultan Adam, Banjarmasin Utara, Kota Banjarmasin, dipadati sejumlah anak muda, Rabu (10/1/2024) malam. Berbalut hawa dingin sehabis hujan, obrolan dan diskusi sekelompok anak muda di kampung buku berlangsung hangat. Sebagian lagi sibuk dengan laptopnya. Ada pula yang sekadar menyesap kopi di sana.
Di Kampung Buku Banjarmasin terdapat kios buku, perpustakaan kecil, kedai kopi, dan kedai makanan. Sambil berdiskusi serius atau mengobrol ringan, orang bisa menikmati makanan dan minuman, membaca ataupun membeli buku, serta melihat-lihat karya lukisan yang dipajang.
”Kampung buku menjadi ruang alternatif untuk nongkrong. Tempat ini terbuka bagi siapa saja yang mau belajar, berdiskusi, berkesenian, mencari informasi, hingga menggelar pameran kecil-kecilan,” kata Hajriansyah.
Baca juga: Hariyono dan Literasi di Sudut Taman
Kampung Buku Banjarmasin berada di lahan milik orangtua Hajriansyah dan resmi terbentuk pada 10 Juli 2019. Inisiator pembentukannya adalah Arif Rahman Hakim. Hajriansyah serta beberapa rekan seniman dan pegiat literasi di Kalsel menyambut baik dan mendukung ide pembentukan kampung buku.
”Ada lima orang yang merintis kampung buku ini dari awal,” ujar Hajriansyah.
Menurut Arif, orang-orang yang mendirikan kampung buku punya pengalaman hidup di luar Kalsel. Mereka dulunya kuliah di Pulau Jawa.
”Kami ingin menghadirkan ruang alternatif untuk berkumpul dan berdiskusi. Kebetulan kami juga sempat berjualan buku secara online (daring), jadi sekalian ingin punya tempat jualan buku sekaligus tempat nongkrong,” katanya.
Arif mengusulkan nama Kampung Buku Banjarmasin. Dinamakan demikian karena ingin menghidupkan kultur kampung di tempat ini. Kampung bisa disebut bagian terkecil dari negara Indonesia, yang terbangun secara kultural. Warganya akrab satu sama lain, ikatan kekeluargaannya kuat, dan hidup bergotong royong.
Kampung buku ini harus tetap hidup dengan program-programnya yang memberi manfaat kepada orang lain.
Siapa saja yang datang ke kampung buku (kambuk) kemudian disebut sebagai warga kambuk. ”Ketika nongkrong di sini, orang bisa merasakan suasana kampung dan punya rasa memiliki sebagai warga kambuk. Dari situ, kami mencoba bersama-sama membangun literasi di Kalsel, khususnya di Banjarmasin,” katanya.
Kampung Buku Banjarmasin memiliki slogan ”Membaca Literasi Kehidupan”. Secara filosofis, ujar Arif, hidup kita adalah literasi, apa yang kita lakukan dan segala macamnya.
”Kampung buku secara filosofis dan secara luas tidak hanya berkaitan dengan teks atau buku. Di sini juga tempat orang membicarakan tentang kehidupan manusia,” katanya.
Karena itu, kampung buku memiliki sejumlah program dalam menggerakkan literasi. Misalnya, lewat kelas menulis, kelas filsafat, kelas lukis, obrolan kontekstual, bincang literasi, diskusi umum, dan ngaji ugahari. Kegiatan kelas diadakan seminggu sekali dan bisa berlangsung selama tiga bulan. Sementara itu, kegiatan bincang literasi dan diskusi biasanya diadakan sebulan sekali.
”Salah tujuan pendirian kampung buku adalah membuka akses untuk kemajuan literasi. Sebab, persoalan kurangnya minat baca atau keengganan menulis bisa jadi karena ketiadaan akses untuk mendapatkan bacaan dan juga untuk mengasah keterampilan menulis,” kata Arif, yang juga dosen Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lambung Mangkurat.
Ruang diskusi
Hajriansyah menuturkan, peluncuran Kampung Buku Banjarmasin pada 2019 ditandai diskusi tentang seni pertunjukan. Diskusi kemudian menjadi agenda rutin kampung buku di samping kegiatan kelas. Kegiatan diskusi rutin di kampung buku sampai kini, yaitu bincang literasi dan obrolan kontekstual.
Bincang literasi sering kali dibuat dalam format bedah buku. Ruang ini hadir untuk mengapresiasi buku-buku karya penulis lokal Kalsel ataupun buku-buku dari penulis luar yang mengulas tentang seluk-beluk kehidupan di Kalsel. Buku yang diperbincangkan beragam, fiksi maupun non-fiksi, yang diterbitkan skala lokal maupun nasional.
Adapun obrolan kontekstual diselenggarakan untuk membahas tema-tema khusus yang dibicarakan secara mendalam. Ruang diskusi ini terbuka bagi para akademisi, peneliti, pegiat seni budaya, dan orang-orang yang bergerak di komunitas. Ruang diskusi ini juga bisa menjadi wadah untuk mempresentasikan proyek yang sedang berjalan ataupun karya-karya yang telah dihasilkan.
Baca juga: DC Aryadi, Penebar Tunas Literasi
”Kontribusi kampung buku untuk perkembangan literasi di Kalsel mungkin tidak signifikan dirasakan, tetapi tetap besar. Kampung buku telah melahirkan penulis-penulis yang namanya cukup dikenal di Kalsel serta membuka ruang untuk menyalurkan pikiran,” kata Hajriansyah.
Setelah lima tahun berdiri, menurut Hajriansyah, tujuan awal mendirikan kampung buku sebagian besar sudah tercapai, terutama dalam konteks memberi ruang diskusi dan ruang ekspresi budaya. Namun, dalam menumbuhkan minat baca dan mengoleksi buku dirasakan masih kurang. Hal itu terlihat dari lesunya penjualan buku.
”Kalau berharap pada hasil penjualan buku tentu berat mempertahankan kampung buku ini. Untuk operasional saja, seperti bayar tagihan listrik dan air, tidak cukup. Karena itu, sebagian rezeki saya dari usaha dan pekerjaan lain digunakan untuk menyokong kampung buku ini,” ujarnya.
Tetap hidup
Hajriansyah selaku pembakal atau kepala kampung buku berkomitmen mempertahankan kampung buku untuk mendukung perkembangan literasi di Kalsel. Terlebih, kampung buku berada di lokasi yang sangat strategis. Di sekitarnya terdapat kampus dan sekolah.
”Kampung buku ini harus tetap hidup dengan program-programnya yang memberi manfaat kepada orang lain,” kata Hajriansyah yang dikenal sebagai pelukis dari Banjarmasin.
Arif sependapat, sebagian besar tujuan pendirian kampung buku dalam konteks pengembangan literasi sudah tercapai. Namun, tantangannya kini, yaitu bagaimana agar kampung buku memiliki usaha yang kuat dan berkelanjutan sehingga bisa menopang keberadaannya.
Baca juga: Anwar “Jimpe” Rachman Oase Literasi dari Timur
”Sampai saat ini, kami masih mengandalkan Bang Hajriansyah sebagai tulang punggung kampung buku,” ujarnya.
Ibarat kue, lanjut Arif, kampung buku merupakan potongan kecil dalam dunia literasi di Kalsel. Meski demikian, kampung buku turut menopang tiga pilar literasi, yaitu membaca, menulis, dan berpikir kritis. ”Semua kegiatan yang dilakukan di kampung buku diarahkan untuk menopang tiga pilar literasi tersebut,” katanya.
Selama ini, menurut Hajriansyah, kampung buku telah berkolaborasi dengan berbagai kalangan dan komunitas untuk memajukan literasi. Ia pun mulai merencanakan kolaborasi dan kerja sama dengan lembaga filantropi atau pendanaan untuk mendukung keberlanjutan kampung buku agar pilar-pilar literasi tetap tersokong.
Hajriansyah
Pekerjaan : Penulis dan Seniman
Pendidikan :
- S-1 Pendidikan Seni Rupa Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST), Yogyakarta
- S-2 Program Studi Akhlak dan Tasawuf Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari, Banjarmasin
- S-3 Pendidikan Agama Islam UIN Antasari, Banjarmasin
Arif Rahman Hakim
Pekerjaan : Dosen Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lambung Mangkurat
Pendidikan :
- S-1 Sastra Inggris Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum (Unipdu) Jombang
- S-2 Ilmu Antropologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta