Anwar “Jimpe” Rachman Oase Literasi dari Timur
Di tengah lekatnya kesan Makassar sebagai sarang unjuk rasa berakhir rusuh, Anwar “Jimpe” Rachman (43) mencoba menawarkan alternatif. Ia berobsesi mematahkan “cap miring” itu melalu kegiatan literasi. Didirikannya ruang baca, penerbitan, lalu mengajak kaum awam meneliti dan menarasikan kota ini melalui buku dan blog.
Separuh dari ribuan koleksi bukunya merupakan hasil riset dan kurasi sejarah Bugis-Makassar dan Mandar yang bercorak maritim. Tak heran bila para peneliti seputar sosial-budaya lokal Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat menjadikan Jimpe dan koleksinya sebagai mitra dan rujukan.
Rak-rak buku berjejer ketika Kompas menapak teras rumah Jimpe, Senin pekan lalu, di Jalan Abdullah Daeng Sirua, Makassar. Koleksinya beragam, mulai dari komik Naruto hingga novel karya penulis lokal hingga penulis asing terkenal.
Rumah sederhana berlantai satu itu bersisian dengan kantor kelurahan. Di sekitarnya tumbuh masif bangunan rumah toko, rumah kos-kosan, mal, dan kampus perguruan tinggi. Di impitan itulah Jimpe membangun aktivitas literasi. Ruang baca ini laksana oase di tengah gerahnya cuaca pantai kota Makassar serta hiruk-pikuk dan deru klakson kendaraan.
Siang itu, dua anak muda sedang membaca buku di teras. Di depannya, dapur kecil kafe baru saja dibuka. Kopi dan buku menjadi teman yang cocok untuk mengobrol. Dia membuka pintu lebar-lebar bagi siapa saja yang ingin membaca di rumahnya yang disulap menjadi perpustakaan. Bagi Jimpe, perpustakaan itu harusnya riuh. Perpustakaan adalah tempat berkumpul, diskusi, adu gagasan, pameran bahkan merancang pergerakan.
Di impitan itulah Jimpe membangun aktivitas literasi. Ruang baca ini laksana oase di tengah gerahnya cuaca pantai kota Makassar serta hiruk-pikuk dan deru klakson kendaraan.
“Kampung Buku ini adalah etalase untuk menggali inspirasi dan menggerakkan literasi dalam arti lebih luas,” ujar sarjana Hubungan Internasional FISIP Universitas Hasanuddin, Makassar, ini.
Kampung Buku berawal ketika Jimpe dan istrinya, Fitriani A Dalay (37), memilih pindah dari rumah mertua ke rumah peninggalan keluarganya Jalan Daeng Sirua, tahun 2008. Rumah itu kemudian menjelma Kampung Buku dengan perpustakaan, penerbitan, hingga kini kafe kecil. Kampung Buku menjadi alternatif nongkrong di tengah gedung perbelanjaan, mal, dan hotel yang tumbuh pesat di Makassar. Rumah Jimpe seperti menjadi ruang publik.
Energi positif
Bagi Jimpe ada banyak cara untuk membangkitkan dan menyalurkan energi positif anak-anak muda agar tak terjerumus tawuran, vandalisme, dan narkoba. Jimpe mengajak mereka meneliti masalah sosial dan budaya. Hasil amatan dan riset ditulis melalui blog dan buku, dan sebagian berupa film dokumenter.
Dibarengi aktivitas penerjemahan, kurasi, dan publikasi, lahirlah seabrek literatur tentang manusia dan aspek sosial-budaya Bugis, Makassar, dan Mandar -- tiga suku yang mendiami jazirah selatan dan barat Pulau Sulawesi.
Kiprah Jimpe di dunia literasi berawal tahun 2005 ketika ia bergabung dengan kawan-kawannya mengelola penerbit “Ininnawa” (dalam bahasa lokal berarti harapan, cita-cita, dan niat baik). Berbekal pengalaman jurnalisitik dan dunia tulis menulis, Jimpe fokus kajian-kajian kebudayaan lokal. Dia berperan sebagai penulis, editor, dan juga kurator.
“Kami ingin kajian-kajian tentang Sulawesi membumi di kawasan ini,” ujar Jimpe. Dia menyadari pentingya transliterasi atau alih bahasa terhadap buku-buku tentang wilayah ini yang sebagian besar ditulis oleh peneliti luar negeri. Dalam amatan Jimpe, hingga awal tahun 2000-an, narasi tentang Sulawesi lebih banyak terbit berdasarkan perspektif dari luar Sulawesi.
Kami ingin kajian-kajian tentang Sulawesi membumi di kawasan ini.
“Kami ingin mengimbangi narasi tunggal itu,” tekad Jimpe. Buku The Voyage to Marege’: Pencari Teripang dari Makassar di Australia (2017), misalnya. Buku karya karya C Campbell Macknight ini terbit pertama kali dalam bahasa Inggris pada 1976 dengan judul asli \'The Voyage to Marege\': Macassan Trepangers in Northern Australia\'.
Setelah lebih dari 40 tahun menjadi rujukan bagi peneliti asing dan lokal, buku itu kembali diterbitkan ulang oleh Ininnawa disertai suntingan dengan bahasa kekinian.
Suara warga
Jimpe dan komunitasnya ingin menawarkan jati diri baru Kota Makassar: kota literasi. Baginya, literasi juga bearti, bagaimana mengundang orang lain mengalami sesuatu yang baru dan memperluas wawasan. Kaum awam dimintanya terjun ke lapangan lalu menuliskan amatannya tentang kotanya, Makassar.
Pada 2005, Jimpe dan kawan-kawan menerbitkan buku Makassar Nol Kilometer. Buku ini mengupas kota itu dari berbagai perspektif: kuliner, ruang publik, hingga bahasa. Belakangan, pada 2012, Makassar Nol Kilometer menjadi situs bagi warga mencurahkan pikirannya tentang Makassar dan Sulawesi Selatan.
Perhatian Jimpe terhadap literasi dimulai sejak duduk di bangku SMP di Kabupaten Sidrap, Sulsel. Saat itu, ia gemar membaca, mengarang, dan menulis puisi. Bakatnya turun dari sang ayah, Abdul Rachman Tang, seorang veteran pejuang dan kepala desa yang turut menulis dalam buku “Selayang Pandang Sidrap”.
Ketika masih mahasiswa, pada 1999, Jimpe bersama sejumlah kawan mendirikan Tanah Indie, lembaga nirlaba yang fokus pada kajian, diskusi, pameran, hingga penerbitan. Tahun itu, Jimpe punya pemikiran nyeleneh, bekerja dari rumah karena tidak suka kerja kantoran. Dia sempat menjadi jurnalis selama 2,5 tahun.
Tahun itu, Jimpe punya pemikiran nyeleneh, bekerja dari rumah karena tidak suka kerja kantoran. Dia sempat menjadi jurnalis selama 2,5 tahun.
Jimpe tak kenal lelah menyebarluaskan “virus” literasi di Makassar. Dalam penelitian bersama teman-teman di Tanah Indie bekerja sama dengan British Council pada 2015, Jimpe menemukan fakta baru. Kota Makassar sejatinya punya akar literasi. Tradisi penulisan aksara lontara Bugis-Makassar, misalnya, sudah ada sejak abad ke-17.
“Ini identitas Makassar. Kami sudah tawarkan kepada pemerintah setempat. Namun, yang dipilih, Makassar sebagai kota kuliner. Padahal, setiap kota punya kuliner khas,” ucapnya.
Anwar “Jimpe” Rachman
Lahir: Balikpapan, 5 November 1975
Istri: Fitriani A Dalay (37)
Anak: Jasmine Isobel HB (9)
Aktivitas:
- Direktur Penerbitan Ininnawa
-Pendiri Tanah Indie
-Pendiri Kampung Buku
-Kurator Jakarta Biennale (2015)