Hariyono dan Literasi di Sudut Taman
Hariyono sudah lama jatuh cinta kepada buku. Kecintaannya itu ia tularkan kepada banyak orang, terutama kepada anak-anak, remaja, dan mahasiswa, lewat acara Sabtu Membaca di taman atau kedai kopi.
Siang itu, Hariyono tidak segera menyahut ketika Kompas memanggil-manggilnya dari pintu yang setengah terbuka. Mungkin karena suara panggilan itu tenggelam oleh suara kendaraan yang lalu lalang di Jalan Bendungan Sutami, Malang, Jawa Timur. Hingga panggilan kesekian, dia baru sadar ada tamu.
”Waah sepurane, Mas. Lagek ngerti lek Mas wes teko,” kata Hari Pendek, sapaan akrab Hariyono, meminta maaf karena terlambat menyadari tamunya datang.
Dia lalu bercerita lagi bahwa sedang sibuk memilih puluhan buku untuk disumbangkan ke temannya asal Papua dan akan menggelar diskusi bertema ekoliterasi di Malang. Selain menyumbang buku, Hari juga diundang sebagai pembicara di dalam diskusi tersebut. Baginya, siapa pun yang menggerakkan literasi harus didukung. Hitung-hitung juga untuk menambah teman berjuang.
Tahun ini memasuki tahun keenam Hari menggelar Sabtu Membaca, sebuah gerakan penyadaran tentang pentingnya membaca. Sabtu Membaca dia gelar di Taman Slamet, Kelurahan Gading Sari, Kecamatan Klojen, Kota Malang, pada pukul 09.00-14.00 WIB. Awalnya digelar mulai pukul 08.00, tetapi pada jam yang sama tempat itu digunakan ibu-ibu senam pagi, Hari mengalah.
Baca Juga: Ade Dwi Cahyo Putra, Menebar Cahaya lewat Alquran Braille
Sebelum digelar di Taman Slamet, Sabtu Membaca pernah digelar di Hutan Kota yang diapit Jalan Merbabu dan Jalan Malabar. Namun, Hari tidak betah di sana lantaran banyak nyamuk. Begitulah cara Hari mencari titik lowong untuk membangun Sabtu Membaca sebagai gerakan literasi.
Dari sisi upaya memancing pengunjung, Hari harus menggunakan strategi khusus mengingat hasrat untuk membaca di negeri ini masih demikian rendah. Hari, misalnya, memasang buku-buku resep masakan untuk menarik ibu-ibu yang main ke taman serta buku menggambar dan mewarnai untuk memikat anak-anak kecil yang datang bersama ibunya. Strategi ini cukup efektif mendatangkan massa dan kemudian mereka biasanya juga membaca buku-buku lain.
Suatu hari, seorang bocah celingukan setelah menggambar dan mewarnai. Rupanya dia kehilangan ibunya. Hari ikut mencari dan mendapati ibu bocah tadi sedang asyik selfi. ”Dikira kami tempat penitipan anak, kali,” seloroh Hari.
Namun, peristiwa itu menunjukkan kepada Hari bahwa warga yang datang telah percaya bahwa Sabtu Membaca itu bagus dan aman, termasuk untuk anak.
Masih tentang menarik perhatian pengunjung, Hari proaktif memancing tema diskusi. Pada satu kesempatan, dia melihat beberapa perempuan usia sekolah jalan-jalan di taman lalu dia ajak mampir. Mereka mengeluh karena buku-buku yang ada atau tema diskusinya terlalu serius. ”Kalau enggak suka diskusi buku, ayo bahas pacaran saja,” ajak Hari agar mereka tidak pergi.
Lalu mengalirlah diskusi tentang pacaran atau hubungan laki-laki dan perempuan yang sehat. Anak-anak itu menceritakan pengalamannya satu per satu. Hari menyerap informasi tersebut lalu menjadikan tema diskusi pada hari-hari berikutnya. Dari diskusi itu, dia menyadari ternyata ia gagap dengan pola pergaulan remaja sekarang sehingga diskusi tadi menjadi kesempatan untuk sama-sama belajar. Dengan cara itulah, antara lain, Sabtu Membaca tumbuh dan berhasil mendatangkan puluhan pembaca setiap Sabtu.
Awalnya Gabut
Sabtu Membaca lahir dari kelowongan waktu Hari dan rekannya, Prita Yulianti, mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial Jurusan Sejarah Universitas Negeri Malang. Saat itu, Prita tengah menyelesaikan skripsi, tetapi banyak waktu luang. Suatu hari, Prita bertanya kepada Hari apa yang bisa mereka lakukan bersama-sama yang berguna bagi banyak orang?
”Ngedekno perpus, ah?” respons Hari sekaligus mencetuskan ide untuk mendirikan perpustakaan.
Prita langsung menyambar ide Hari karena kebetulan keduanya gemar membaca dan punya banyak buku. Keduanya lalu mengumpulkan buku masing-masing dan diangkut dengan tas besar yang biasa digunakan untuk mendaki gunung. Jumlahnya tak kurang dari 100 judul buku. Dengan sepeda motor, Hari membonceng Prita mencari tempat untuk Sabtu Membaca pada 2017.
Setahun kemudian, Prita lulus dan pulang ke Jakarta. Hari sempat ragu hendak meneruskan atau berhenti, tetapi akhirnya dia teruskan karena kadung cinta dengan buku. Lagi pula, di Taman Slamet pasti ada teman, setidaknya para penjual makanan yang memang kerap mangkal di sana. Di lokasi Sabtu Membaca, Hari gamang lagi oleh hal-hal kecil. Misalnya, biasanya Prita membelikan sarapan dan dia menunggu buku-buku atau sebaliknya.
Baca Juga: Ignasius Neno Naisau, Jalan Tani Naga Karang
”Enggak terpikir bakal sendirian, tetapi sudah kadung jalan setahun. Lama-lama terbiasa. Sampai sekarang tetap sendiri, tetapi banyak teman-teman yang datang untuk menemani,” kata Hari.
Bagi Hari, kecintaannya terhadap buku telah membuatnya bertekad untuk menularkan kepada banyak orang, terutama anak-anak, remaja, dan mahasiswa.
Hari jatuh cinta kepada buku, kata dia, karena kebetulan. Selepas putus sekolah dari bangku SMP kelas II, suatu saat Hari membaca koran tentang genosida di dunia dan mendapatkan informasi bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami genosida. Dia penasaran dengan peristiwa itu dan tergerak untuk mencari sumber bacaan yang lebih memadai. Waktu itu tahun 2000, kebetulan dia bekerja di sebuah warung internet sehingga punya akses untuk mencari buku-buku secara daring.
Buku-buku itu lalu dia unduh dan cetak. Salah satunya adalah Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto karya John Roosa. Sampai sekarang, cetakan buku ini masih dia simpan. Dia juga bersentuhan dengan buku-buku Tan Malaka. Dari sana, dia bersentuhan dengan dunia wacana dan mahasiswa, lantas sering diajak diskusi ke kampus-kampus di Malang. Lalu, kenalan dengan tokoh-tokoh literasi, seperi Eko Cahyono pendiri Perpustakaan Anak Bangsa dan Ratna Indraswari Ibrahim, seorang sastrawan terkemuka di Malang. Dalam aktivitas literasi itulah, Hari bertemu Prita.
Di rumahnya yang mungil di Jalan Bendungan Sutami, Hari menyandarkan hidup kepada buku dan kopi. Sebagian buku dia jual, sebagian lagi dia donasikan untuk dibaca secara gratis. Pada malam hari, dia membuka kedai mungilnya. Toko buku sekaligus kedai kopi itu dia beri nama Bintang Kecil. ”Katanya aku ini kecil, tetapi bintang. Bintang, tetapi kecil,” kelakar Hari saat ditanya latar belakang penamaan toko dan kedainya itu.
Tidak banyak keuntungan yang dia dapat dari kedai. Pelanggan yang minum kopi paling hanya tujuh atau delapan orang sehari. Buku yang laku belum tentu satu per pekan. Meskipun demikian, Hari tetap bisa menjalankan dan mendanai gerakan Sabtu Membaca secara mandiri. ”Mungkin karena saya masih hidup sendiri,” ujar pria yang masih melajang ini.
Hari memang bintang karena terus memberikan sinar bagi dunia literasi yang masih redup.
Hariyono
Nama sapaan: Hari Pendek Lahir: Mei 1979 Pendidikan: SMP Muhammadiyah 13 sampai kelas II Pekerjaan: Pendiri Sabtu Membaca