”Dhaup ageng” atau pernikahan agung di Kadipaten Pakualaman, Yogyakarta, turut membawa pesan ihwal pelestarian budaya.
Oleh
MOHAMAD FINAL DAENG, HARIS FIRDAUS
·5 menit baca
Alunan gamelan mengiringi suasana khidmat yang tercipta di tratag Bangsal Sewatama, Rabu (10/1/2024). Bangunan megah berbentuk pendopo di Pura Pakualaman, Yogyakarta, tersebut menjadi saksi berlangsungnya momen istimewa hari itu. Selain merayakan pertemuan dua insan dalam ikatan perkawinan, acara ini juga membawa pesan pelestarian kekayaan budaya.
Dari arah timur bangsal, Bendoro Pangeran Haryo (BPH) Kusumo Kuntonugroho (27) berjalan perlahan dalam iring-iringan. Kusumo adalah sang pengantin pria, putra bungsu Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Paku Alam X dan Gusti Kanjeng Bendoro Raden Ayu Adipati (GKBRAA) Paku Alam. Paku Alam X merupakan pemimpin di Kadipaten Pakualaman sekaligus Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Pada saat bersamaan, dari arah barat, sang pengantin perempuan, Laily Annisa Kusumastuti (27), juga berjalan dalam iring-iringan. Laily adalah putri pertama dari Tri Wibowo dan almarhumah Wijayatun Handrimastuti.
Kusumo dan Laily, yang memakai busana basahan, bertemu tepat di tengah-tengah, sesuai nama upacara yang sedang mereka jalani, yakni panggih. Ini merupakan upacara adat mempertemukan kedua mempelai, yang beberapa jam sebelumnya menjalani akad nikah di Masjid Agung Pakualaman. Ini sekaligus menandai pertama kalinya mereka bertemu sebagai pasangan suami-istri.
Dalam adat Jawa, panggih merupakan momen sakral pada upacara pernikahan. Karena itu, sejumlah tata cara adat pun menyertai, salah satunya tarian Durbala Singkir yang mengiringi perjalanan kedua mempelai saat menuju titik pertemuan. Tarian ini memiliki makna untuk menyingkirkan kekuatan-kekuatan jahat yang dapat mengganggu.
Ada pula balangan gantal atau saling melempar gantal di antara kedua mempelai. Gantal adalah lintingan daun sirih yang diikat dengan benang lawe berwarna putih. Balangan gantal mengandung sejumlah makna, di antaranya mawas diri, kelanggengan, kesejahteraan, dan kebijaksanaan.
Upacara panggih sekaligus menjadi salah satu puncak upacara dhaup ageng atau pernikahan agung yang rangkaiannya telah berlangsung sejak 3 Januari 2024 itu. Sebagai salah satu pilar budaya di DIY, Kadipaten Pakualaman menjalankan penuh seluruh pakem tradisi dan budaya Jawa dalam hajatan penting ini.
”Seluruh rangkaian adat dalam upacara pernikahan ini dilaksanakan secara lengkap, dari awal sampai akhir,” ujar Kanjeng Mas Tumenggung Widyo Hadiprojo, salah satu panitia Dhaup Ageng Kadipaten Pakualaman.
Bahkan, menurut Widyo, ada sejumlah upacara adat yang sudah jarang dilakukan di masyarakat umum, tetapi diselenggarakan dalam dhaup ageng. Salah satunya adalah bucalan. Bucalan berasal dari kata bucal atau buang.
Upacara yang digelar sebagai tahapan awal dhaup ageng itu dimaknai sebagai upaya membuang atau menyingkirkan semua rintangan dan gangguan secara metafisik ataupun nyata dengan memohon perlindungan Tuhan agar seluruh rangkaian acara berjalan lancar.
Tradisi lain yang sudah jarang digelar adalah nyengker atau pingit yang berlaku bagi calon pengantin perempuan. Pada dhaup ageng kali ini, calon pengantin perempuan menjalani nyengker sejak dua hari sebelum akad nikah atau sejak Senin (8/1/2024).
Batik khusus
Selain aspek adat istiadat, dhaup ageng Kadipaten Pakualaman juga mengusung kekayaan wastra Nusantara dalam batik yang dikenakan. Nyi Mas Tumenggung Sestrorukmi, panitia Dhaup Ageng Kadipaten Pakualaman lainnya, mengungkapkan, batik yang dikenakan oleh pengantin, keluarga, panitia, dan abdi dalem sudah disiapkan sejak dua tahun lalu.
Sedikitnya terdapat 11 motif batik baru yang diciptakan khusus untuk dhaup ageng ini. Seluruh motif batik itu diciptakan GKBRAA Paku Alam. Tema utama motif batik dalam dhaup ageng adalah Indra Widagda, yang terinspirasi dari Bathara Indra yang memiliki karakter cendekiawan, cerdas, dan suka ilmu pengetahuan.
Menurut GKBRAA Paku Alam, karakter Bathara Indra memiliki kecocokan dengan BPH Kusumo Kuntonugroho yang suka belajar dan memperdalam ilmu pengetahuan. Kusumo saat ini sedang menempuh program doktoral di Departemen Bioteknologi Osaka University, Jepang. Sementara Laily merupakan lulusan Program Pendidikan Profesi Dokter Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Seluruh rangkaian acara dhaup ageng pada Rabu ditutup oleh resepsi hari pertama yang mengundang 1.500 tamu. Hadir sejumlah menteri, pejabat tinggi negara, dan duta besar negara sahabat. Wakil Presiden Ma’ruf Amin hadir pada acara midodareni, Selasa (9/1/2024) malam.
Seluruh rangkaian adat dalam upacara pernikahan ini dilaksanakan secara lengkap, dari awal sampai akhir.
Tiga pemimpin kerajaan trah Mataram Islam juga hadir saat resepsi, yakni Sultan Hamengku Buwono X, Pakubuwono XIII, dan KGPAA Mangkunegara X. Sebanyak 30 perwakilan kerajaan di Nusantara pun datang, dengan 17 di antaranya dihadiri langsung oleh raja masing-masing kerajaan.
Resepsi juga mengundang tiga pasangan calon presiden-calon wakil presiden. Calon wakil presiden nomor urut 3, Mahfud MD, tampak menghadiri akad nikah dan calon presiden nomor urut 1, Anies Baswedan, hadir pada resepsi.
Resepsi masih akan berlanjut pada hari kedua, Kamis (11/1/2024). Acara yang juga digelar di Pura Pakualaman itu mengundang sebanyak 4.000 tamu.
Sekretaris Jenderal Majelis Adat Kerajaan Nusantara (MAKN) Raden Ayu Minak Gusti Angkonan Dalom Yani Kuswodidjoyo, yang hadir pada resepsi, mengatakan, Paku Alam X adalah salah satu deklarator yang mendirikan MAKN. Lembaga ini bertujuan menjaga dan merawat budaya leluhur.
Lebih jauh dia pun mengungkapkan kekaguman dengan rangkaian upacara dhaup ageng yang masih kental berbalut tradisi dan adat istiadat. ”Ini semua juga bagian dalam rangka merawat budaya leluhur,” ucapnya.
Rektor Universitas Pembangunan Nasional (UPN) ”Veteran” Yogyakarta M Irhas Effendi, yang juga hadir dalam resepsi, menyebut dhaup ageng itu merupakan bagian dari pelestarian budaya. ”Acaranya mencerminkan budaya Yogyakarta yang tidak ditemui di daerah lain,” ujarnya.
Bagi Irhas, dhaup ageng ini juga memancarkan aura kesakralan yang kuat sehingga memunculkan kekhidmatan bagi yang menyaksikan langsung. Dia pun berharap tradisi ini terus dilestarikan oleh generasi-generasi selanjutnya.