Sidang Perdana Kerusuhan Demo Rempang, Hakim Batasi Kehadiran Keluarga Terdakwa
Hakim Pengadilan Negeri Batam membatasi kehadiran keluarga terdakwa saat sidang perdana kasus kerusuhan demonstrasi Pulau Rempang. Kuasa hukum terdakwa keberatan dengan pembatasan itu.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS — Pengadilan Negeri Batam, Kepulauan Riau, menggelar sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan terhadap 35 terdakwa kasus kerusuhan demonstrasi terkait konflik di Pulau Rempang. Dalam sidang pada Kamis (21/12/2023) itu, hakim membatasi kehadiran keluarga terdakwa dengan alasan menjaga keamanan.
Hakim Ketua David P Sitorus menyatakan, kehadiran keluarga para terdakwa dibatasi untuk menjaga keamanan sidang. Ia tidak ingin terjadi kerusuhan seperti saat demonstrasi warga Pulau Rempang di depan Kantor Badan Pengusahaan (BP) Batam pada 11 September 2023.
”Ada dibatasi rupanya? Oke, saya yang perintahkan itu. Anda keberatan atau tidak? Saya tidak mau kantorku dilempari seperti kalian melempari BP Batam,” kata David menjawab pertanyaan kuasa hukum terdakwa soal pembatasan kehadiran keluarga.
David menyatakan, dalam perkara ini, majelis hakim tidak menangani sengketa kepemilikan lahan di Rempang. Majelis hakim hanya menangani sidang terkait orang-orang yang didakwa melakukan perusakan gedung dan penyerangan terhadap petugas saat demonstrasi pada 11 September.
”(Sengketa lahan di Rempang) itu urusan lain. Saya tegaskan di sini saya orangnya keras. Saya tidak pernah mencampurkan,” ujar David.
Sidang perdana dengan agenda pembacaan surat dakwaan itu dibagi menjadi tiga sesi. Kepala Kejaksaan Negeri Batam I Ketut Kasna Dedi menjelaskan, dalam sesi pertama, dihadirkan seorang terdakwa bernama Iswandi. Ia didakwa melakukan penghasutan sehingga para pendemo melakukan perusakan.
Adapun pada sesi kedua dihadirkan delapan terdakwa dan pada sesi ketiga dihadirkan 26 terdakwa. Sebanyak 34 orang itu didakwa merusak gedung BP Batam dan menyerang aparat saat bertugas.
Salah satu kuasa hukum terdakwa, Noval Setiawan, mengatakan, prinsip utama peradilan bersih dan independen adalah terbuka untuk umum. Oleh karena itu, pada sidang selanjutnya, ia meminta PN Batam tidak membatasi keluarga terdakwa yang ingin hadir.
”Kami menyayangkan pernyataan majelis bahwa dia yang memerintahkan (pembatasan). Kami keberatan mengenai hal itu, seharusnya sidang dibuka seluas-luasnya,” kata Noval.
Penggusuran
Kericuhan saat demonstrasi pada 11 September merupakan imbas dari konflik lahan antara warga Pulau Rempang dan BP Batam. Warga menolak rumahnya digusur untuk proyek Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City.
Kami keberatan mengenai hal itu, seharusnya sidang dibuka seluas-luasnya.
Menurut rencana, pada tahap I proyek tersebut, akan dibangun kawasan industri terintegrasi di lahan 2.300 hektar. Lima kampung tua yang terdampak pembangunan tahap I adalah Pasir Panjang, Belongkeng, Pasir Merah, Sembulang Tanjung, dan Sembulang Hulu.
Pemerintah akan memindahkan ratusan keluarga di lima kampung tua tersebut ke Kampung Tanjung Banun yang juga terletak di Pulau Rempang. Namun, sampai sekarang pembangunan perumahan relokasi belum juga dimulai.
Warga Pasir Panjang, Ishak (57), menyatakan, warga tidak menolak pembangunan PSN Rempang Eco City. Yang ditolak oleh sebagian besar warga adalah rencana penggusuran kampung-kampung tua di Pulau Rempang.
”Ini, kan, seperti tidak ada mendung, tetapi petirnya turun. Semua serba buru-buru, tiba-tiba entah dari mana meledak rencana pengosongan kampung,” kata Ishak pada 5 Oktober lalu.
Pada 7 Oktober, anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Partai Golkar, Nusron Wahid, mengatakan, pembangunan PSN di Rempang harus dilakukan secara humanis. Pemerintah didesak membangun dulu rumah relokasi, baru meminta warga untuk pindah.
”Pembangunan itu untuk manusia, bukan manusia untuk pembangunan. Artinya, manusianya dulu diurus, ditempatkan yang baik dan dicarikan tempat yang sesuai. Itu dulu diselesaikan, baru kemudian membuat rencana investasi,” kata Nusron (Kompas, 9/10/2023).