Relokasi Ubah Kemandirian Nelayan Rempang Jadi Bergantung pada Bantuan
Relokasi akan menyebabkan warga Rempang yang hidup mandiri sebagai nelayan jadi bergantung bantuan sosial pemerintah.
Matahari menjelang terbenam saat Ahad (63) berjalan dari pantai menenteng ember berisi ikan dingkis. Dia memandang lurus ke depan tak memedulikan mata warga sekitar yang mengamati setiap langkahnya.
”Orang kampung kalau ngomong kan pedih. Kata-katanya kasar, kami yang sudah pindah dibilang pengkhianat atau apalah,” kata Ahad, Jumat (20/10/2023).
Keluarga Ahad adalah salah satu dari sekitar 30 keluarga di Kampung Pasir Panjang, Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau, yang bersedia direlokasi untuk Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City. Sejak dua minggu lalu, Ahad telah pindah ke rumah sewa di Pulau Batam.
Di kampung yang warganya direlokasi akan menjadi kawasan industri terintegrasi seluas 2.300 hektar untuk tahap awal. Lima kampung tua yang terdampak pembangunan awal itu adalah Pasir Panjang, Belongkeng, Pasir Merah, Sembulang Tanjung, dan Sembulang Hulu.
Pemerintah akan memindahkan lebih dari 600 keluarga di lima kampung tua itu ke dua titik relokasi. Namun, sampai sekarang pembangunan perumahan relokasi belum juga dimulai.
Untuk warga yang setuju relokasi, pemerintah beri uang untuk sewa rumah. Nilainya Rp 1,2 juta per bulan. Lalu, uang tunggu Rp 1,2 juta. ”Kalau kami tak kerja payah juga nanti. Uang tunggu Rp 1,2 juta per bulan itu kan kalau dibagi jadinya Rp 40.000 per hari. Kalau pengeluaran lebih dari itu ya kami tekor,” ujar Ahad.
Ahad memutuskan kembali lagi ke rumahnya di Pasir Panjang beberapa hari terakhir. Ia kembali menangkap ikan dan menjual buah-buahan hasil kebun. Ahad akan tinggal di kampung selama tujuh hari sebelum bertolak lagi ke Batam.
Ia mengaku tidak betah jika terus-menerus hanya berdiam diri di rumah sewa di Batam. Tak nyaman dengan lingkungan baru kehidupan di kota. ”Waduh pening juga kalau diam di rumah terus. Saya sebenarnya pernah kena stroke jadi harus sering bergerak. Tapi kalau di Batam kan saya banyakan baring, badan dan pikiran jadi seret,” ujarnya.
Ahad mendukung penuh rencana pemerintah mengembangkan Pulau Rempang lewat PSN Rempang Eco City. Harapannya, pembangunan itu akan mengangkat nasib anak dan cucunya. Ia rela menjadi ”batu pertama” asalkan kehidupan anak cucu akan lebih baik.
Ahad sebenarnya tebersit ragu proyek itu bisa sejahterakan masyarakat Rempang. Jangan-jangan proyek itu hanya akan bikin kaya orang luar daerah atau warga asing.
Warga yang menerima tawaran relokasi dianggap pengkhianat, sedangkan yang menolak disebut provokator.
Warga Pasir Panjang lainnya, Ishak (57), menyesalkan langkah pemerintah yang tiba-tiba mau menggusur warganya sendiri. Akibatnya, rencana relokasi terkait proyek Rempang Eco City menimbulkan konflik antarwarga. ”Warga yang menerima tawaran relokasi dianggap pengkhianat, sedangkan yang menolak disebut provokator,” katanya.
Ia sendiri menolak relokasi karena kehidupannya telah lekat dengan kampung halaman. Nenek moyangnya turun-temurun tinggal di sana.
Ishak mengetahui ada lima keluarga yang sudah direlokasi dan pindah ke Batam. Namun, mereka akhirnya kembali lagi ke kampung. Kepulangan warga seperti yang dilakukan Ahad bikin Ishak semakin yakin bertahan di kampung merupakan keputusan terbaik.
”Penghasilan kami dari menangkap gonggong (siput laut) atau cari rengkam (sejenis rumput laut) pun dalam seminggu bisa lebih dari Rp 1,2 juta. Itu belum lagi kalau kami menangkap ikan di tengah sana,” ujarnya.
Mengubah pola hidup
Kepala Perwakilan Ombudsman Kepri Lagat Parroha Patar Siadari, Senin (23/10/2023), menyatakan, Badan Pengusahaan (BP) Batam tidak memitigasi dampak relokasi warga Rempang secara serius. Ganti rugi uang seolah mampu menyelesaikan semua persoalan.
”Bayangkan warga itu dari nelayan lalu sekarang jadi tidak punya pekerjaan dan tidak ada aktivitas. Tidak mudah mengubah pola hidup warga. BP Batam enggak mikir bahwa yang dipindahkan ini manusia,” kata Lagat.
Kepala Biro Humas, Promosi, dan Protokol BP Batam Ariastuty Sirait menanggapi hal itu. Pihaknya berencana memberi pelatihan untuk berdayakan warga di hunian sementara. BP Batam akan bekerja sama dengan Pemerintah Kota Batam untuk penyelenggaraannya.
Peneliti Sajogyo Institute, Eko Cahyono, menilai pemerintah tidak mempertimbangkan karakter sistem penghidupan warga Rempang sebelum melakukan relokasi. Warga yang dulu dapat hidup mandiri sebagai nelayan kini jadi bergantung dari santunan pemerintah.
”Bantuan itu sifatnya jangka pendek. Namun, yang dilakukan dengan berkebun dan menangkap ikan di Rempang itu sudah terbukti dapat menghidupi secara jangka panjang,” ujar Eko.
Baca juga: Proyek Kejar Tayang di Rempang
Eko menjelaskan, dalam soal Rempang, pemerintah menyederhanakan hubungan masyarakat dengan tanahnya semata hanya bersifat ekonomistik. Dengan cara pandang itu, persoalan memindahkan manusia dianggap bisa diselesaikan dengan sekadar ganti rugi.
Padahal, menurut Eko, hubungan manusia dengan tanah memiliki lapisan sosial, ekonomi, ekologi, bahkan spiritual. Penggusuran warga Rempang akan membuat orang-orang tercerabut dari identitas yang telah dibangun selama ratusan tahun.
”Penggusuran warga Rempang atau yang disebut pemerintah sebagai penggeseran adalah marjinalisasi. Itu meminggirkan hak rakyat atas tanah,” katanya.
Pembangunan PSN Rempang Eco City yang dilakukan secara terburu-buru membuat banyak hal diterabas. Pendekatan yang dipakai pun bersifat legal-positifistik. Warga dianggap tidak memiliki hak atas tanah karena tidak memiliki sertifikat. Padahal, warga secara turun-temurun telah bermukim di Rempang sejak 1834, jauh sebelum RI merdeka.
Paradigma itu sebenarnya warisan kolonial. Melalui Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) yang dikeluarkan tahun 1870, pemerintah kolonial menetapkan asas Domein Verklaring yang menyatakan bahwa semua tanah yang tidak bisa dibuktikan sebagai eigendom (milik) seseorang dianggap sebagai domein atau milik negara. Berikutnya, tanah-tanah itu bisa disewakan kepada pengusaha (Kompas, 20/9/2023).
Baca juga: Menggugat Dalih Pembangunan Rempang
Juga Pasal 33 UUD 1945 menjelaskan aset-aset vital negara seperti air, bumi, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat. Pandangan Moh Hatta dkk dalam buku Penjabaran Pasal 33 UUD 1945 menyatakan hal itu bertujuan agar tidak terjadi pengisapan manusia terhadap manusia lain seperti pada era penjajahan.
”Watak kebijakan pembangunan di Rempang punya cita rasa kolonial. Selain mengandung benih domein verklaring, pemerintah juga telah mengingkari mandat konstitusi,” ujar Eko.