Pembangunan PSN Rempang Eco City dinilai dilakukan secara terburu-buru. Warga diminta meninggalkan kampungnya, sementara pembangunan rumah relokasi belum dimulai dan dokumen amdal masih dalam penyusunan.
Oleh
PANDU WIYOGA
·4 menit baca
BATAM, KOMPAS — Warga Rempang, Batam, Kepulauan Riau, menilai Proyek Strategis Nasional Rempang Eco City dilakukan secara terburu-buru. Pada tahap I, pemerintah akan menggusur lima kampung tua untuk membangun kawasan industri terintegrasi. Padahal, pembangunan rumah relokasi belum dimulai dan analisis mengenai dampak lingkungan masih dalam penyusunan.
Salah satu warga, Amlah (105), Kamis (5/10/2023), mengatakan, satu jengkal pun tidak akan bergeser dari tempat tinggalnya di Kampung Pasir Panjang, Pulau Rempang. Pasir Panjang adalah salah satu dari lima kampung tua yang akan terdampak pembangunan tahap I Rempang Eco City.
”Aku sudah tinggal di sini 100 tahun lebih. Coba kamu rasakan, kamu marah tak kalau kampung kamu diambil orang? Tentu marah, tentu tak suka,” kata Amlah.
Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City bakal dibangun di Pulau Rempang dengan nilai investasi ratusan triliun rupiah. Nota kesepahaman itu ditandatangani Badan Pengusahaan (BP) Batam, Pemerintah Kota Batam, dan PT Makmur Elok Graha (MEG) pada 2004.
Dalam perkembangannya, ada nota kesepahaman yang ditandatangani Kementerian Investasi dan Xinyi International Investments Limited pada 28 Juli 2023. Tahap konstruksi awal untuk investasi senilai 11,6 miliar dollar AS atau Rp 174 triliun itu awalnya direncanakan dimulai pada November 2023.
Pada tahap I akan dibangun kawasan industri terintegrasi di lahan 2.300 hektar. Lima kampung tua yang terdampak pembangunan tahap I adalah Pasir Panjang, Belongkeng, Pasir Merah, Sembulang Tanjung, dan Sembulang Hulu.
Pemerintah akan memindahkan 950 keluarga di lima kampung tua tersebut ke Kampung Tanjung Banun yang juga terletak di Pulau Rempang. Namun, sampai sekarang pembangunan perumahan relokasi belum juga dimulai.
”Dia (pemerintah) belum buatkan rumah ganti. Orang-orang yang sudah pindah itu disewakan rumah (oleh pemerintah) di Batam. Aku ini sudah tua, cobalah kamu pikir sendiri,” ujar Amlah.
Warga lain, Ishak (57), menyatakan, warga tidak menolak pembangunan PSN Rempang Eco City. Yang ditolak oleh sebagian besar warga adalah rencana penggusuran kampung-kampung tua di Pulau Rempang.
”Ini, kan, seperti tidak ada mendung, tetapi petirnya turun. Semua serba buru-buru, tiba-tiba entah dari mana meledak rencana pengosongan kampung,” kata Ishak.
Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Partai Golkar, Nusron Wahid, Sabtu (7/10/2023), mengatakan, pembangunan PSN di Rempang harus dilakukan secara humanis. Pemerintah didesak membangun dulu rumah relokasi, baru meminta warga untuk pindah.
”Pembangunan itu untuk manusia, bukan manusia untuk pembangunan. Artinya, manusianya dulu diurus, ditempatkan yang baik dan dicarikan tempat yang sesuai. Itu dulu diselesaikan, baru kemudian membuat rencana investasi,” ucap Nusron.
Saat ini, BP Batam menyiapkan dua lokasi relokasi di Tanjung Banun, Pulau Rempang, dan Dapur 3, Pulau Galang. Pembangunan hunian relokasi ditargetkan selesai pada 2024.
Aku sudah tinggal di sini 100 tahun lebih. Coba kamu rasakan, kamu marah tak kalau kampung kamu diambil orang?
Selagi menunggu proses pembangunan, warga diberikan opsi untuk tinggal di rumah singgah yang disediakan BP Batam atau menerima uang sewa Rp 1,2 juta per keluarga. Selain itu, warga juga diberi uang tunggu Rp 1,2 juta per kepala.
”Orang digusur lalu diganti dengan uang indekos sambil menunggu proses pembangunan. Digusurnya pasti, pembangunan relokasinya tidak ada kepastian. Kalau tiba-tiba batal dibangun bagaimana,” kata Nusron.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau Boy Even Sembiring juga menilai, pembangunan PSN Rempang Eco City dilakukan dengan amat terburu-buru. Dokumen amdal masih dalam penyusunan, tetapi upaya menggusur warga sudah dimulai.
”Proyek ini dilakukan secara tertutup. Penyusunan amdal baru disampaikan ke publik setelah dipertanyakan oleh Walhi,” ujar Boy.
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia di Batam, Jumat (6/10/2023), mengatakan, pemerintah akan terus berupaya meyakinkan warga agar bersedia untuk digeser. Ia berjanji hak-hak rakyat akan diperhatikan.
”Amdal lagi diproses oleh BP Batam. Amdal itu begini, lho, begitu ini sudah clear sambil paralel dengan amdal. Tujuannya agar kami bisa mengakomodasi apa yang menjadi aspirasi rakyat sehingga kehadiran investasi menjadi subyek dan obyek bagi masyarakat yang ada di Batam dan khususnya di Rempang,” kata Bahlil.
Puluhan warga, mayoritas perempuan, menyambut kunjungan Bahlil dengan beragam spanduk penolakan relokasi. Beberapa di antaranya menangis ketika memohon agar pemerintah jangan menggusur kampung yang telah mereka tinggali secara turun-temurun sejak ratusan tahun.
”Tugas kami meyakinkan mereka, tugas kami bicara baik-baik dengan mereka. Yang namanya kami geser orang, kami pindahin dari rumah A ke rumah B pasti prosesnya butuh waktu. Kami semua akan berupaya terus untuk meyakinkan,” ujar Bahlil.
Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, dalam tulisannya di Kompas, 14 September 2023, menyatakan, dengan paradigma dagang, sebidang tanah bisa dibarter sebidang tanah di tempat lain. Tapi, tanah bukan sekadar barang dagangan seperti yang ada di kepala pedagang. Tanah, bagi yang empunya, adalah soal kehidupan.
Menurut Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Walhi Parid Ridwanuddin, sebenarnya proyek-proyek kontroversial di Kepri saling terhubung. Selain Rempang Eco City, selama ini warga Kepri juga menyuarakan kekhawatiran mereka terhadap kebijakan pemerintah yang akan kembali membuka ekspor pasir laut dan mengizinkan kapal eks asing kembali beroperasi.
”Percepatan proyek-proyek kontroversial itu adalah implementasi dari Undang-Undang Cipta Kerja. Masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil amat rentan terdampak krisis iklim. Alih-alih melakukan mitigasi, pemerintah atas nama investasi justru mempercepat kerusakan lingkungan dan mengorbankan kehidupan rakyat,” ucap Parid.