Bunuh 12 Orang, Dukun Pengganda Uang Banjarnegara Dituntut Hukuman Mati
Dukun pengganda uang asal Banjarnegara, Slamet Tohari, dituntut hukuman mati. Dia dinilai terbukti membunuh 12 korban penipuan penggandaan uang.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·3 menit baca
—
BANJARNEGARA, KOMPAS — Slamet Tohari (46), terdakwa kasus penggandaan uang dan pembunuhan 12 orang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, dituntut hukuman mati. Jaksa penuntut umum menilai tidak ada hal yang meringankan Slamet dalam kasus tersebut.
Tuntutan itu disampaikan jaksa dalam sidang di Pengadilan Negeri Banjarnegara, Kamis (21/12/2023). Sidang dipimpin majelis hakim yang diketuai Niken Rochayati dengan anggota Tomi Sugianto dan Arief Wibowo.
Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Banjarnegara, Nasruddin, menyatakan, ada beberapa hal yang memberatkan Slamet. Salah satunya perbuatannya dinilai menimbulkan keresahan yang meluas bagi masyarakat.
”Perbuatan terdakwa termasuk dalam kriteria perkara penting berskala nasional serta menarik perhatian media massa nasional dan masyarakat luas,” kata Nasruddin saat membacakan tuntutan.
Seperti diberitakan sebelumnya, Slamet Tohari mengaku sebagai dukun pengganda uang. Ia berjanji kepada para korbannya bisa menggandakan uang hingga miliaran rupiah. Namun, para korban yang terus menagih hasil penggandaan uang itu kemudian dibunuh dengan cara diracun lewat minuman yang dicampur potas.
Jenazah para korban itu kemudian dikubur di sebuah kebun di Banjarnegara. Kasus ini terungkap pada April 2023. Berdasarkan pemeriksaan polisi, total ada 12 korban yang dibunuh Slamet.
Nasruddin memaparkan, perbuatan Slamet sangat sadis dan telah menimbulkan korban jiwa 12 orang. ”Perbuatan terdakwa menimbulkan penderitaan yang mendalam dan berkepanjangan bagi keluarga para korban. Terdakwa juga telah menikmati hasil tindak pidana,” ujarnya.
Selain itu, Nasruddin menyebut, Slamet juga pernah terlibat kasus uang palsu pada 2019. Di sisi lain, jaksa menilai tidak ada hal yang meringankan bagi Slamet. ”Hal yang meringankan nihil,” kata Nasruddin.
Dalam persidangan, Slamet didampingi penasihat hukum yang ditunjuk kepolisian, yaitu Ahmad Raharjo dan Heri Mulyono. Atas tuntutan yang disampaikan jaksa, Ahmad Raharjo menyatakan akan menyiapkan pleidoi atau pembelaan.
”Hemat kami, jaksa juga seharusnya mempertimbangkan hal-hal yang meringankan. Itu, kan, tetap harus ada nurani juga. Kami meminta waktu dua minggu untuk memberikan pleidoi,” kata Ahmad.
Perbuatan terdakwa menimbulkan penderitaan yang mendalam dan berkepanjangan bagi keluarga para korban.
Dari 12 korban pembunuhan Slamet, hingga saat ini baru ada sembilan orang yang teridentifikasi. Sembilan korban itu adalah Paryanto asal Sukabumi, Jawa Barat; Kuwat Santosa dari Sleman, DI Yogyakarta; Suheri, Riani, Irsyad, dan Wahyu Triningsih asal Lampung; Mulyadi Pratama asal Palembang, Sumatera Selatan; serta Okta Ali Abrianto dan Theresia Dewi asal Magelang, Jawa Tengah.
Berdasarkan penyidikan kepolisian, para korban meninggal akibat menenggak air yang dicampur potasium. Berdasarkan pemeriksaan tim Bidang Kedokteran dan Kesehatan Polda Jateng, pada tubuh Paryanto, salah satu korban, ditemukan zat sianida di otak besar, otak kecil, paru-paru, lambung, dan batang otak.
Para korban yang mendatangi Slamet umumnya terjerat utang dan berharap mendapatkan uang dengan cara cepat. Mereka dijanjikan bisa mendapatkan uang miliaran rupiah jika menyerahkan mahar puluhan juta rupiah.
Paryanto, misalnya, diminta menyerahkan mahar Rp 70 juta dan dijanjikan bisa mendapatkan uang hasil penggandaan Rp 5 miliar. Ketika uang yang dijanjikan Slamet tak kunjung cair, para korban menagih terus. Slamet pun akhirnya membunuh sejumlah korban dan mengubur jenazah mereka di kebun (Kompas.id, 26/9/2023).