Pempek Lemak, ”Besak”, dan Murah di Kampung Bangsawan Palembang
Sebagai pusat perdagangan sejak lampau, Palembang menarik minat beragam suku dan bangsa. Hal itu mewarnai kehidupan di Palembang, termasuk kulinernya.
Libur panjang di depan mata. Mereka yang berlibur ke Palembang, Sumatera Selatan, wajib mengunjungi dua pilihan kuliner terbaik Palembang. Pempek dan martabak.
Ada anekdot di antara orang Palembang, pempek terbaik adalah yang lemak (enak), besak (besar), dan murah. Pempek seperti itu bisa ditemui di warung-warung kecil yang tidak setenar pempek waralaba besar dengan tempat megah. Salah satunya di kawasan Depaten, kampungnya para keturunan bangsawan Palembang.
Itu yang dirasakan Kompas saat menjajal pempek di kawasan Depaten, Selasa (12/12/2023). Di antara banyak warung pempek di sana, yang patut dicoba adalah Pempek Jimmy Devaten di Jalan Depaten Lama, Kelurahan 27 Ilir, Kecamatan Ilir Barat II, Palembang.
Baca juga : Pempek, dari Makanan Tentara Sriwijaya ke Makanan Rakyat
Warung itu berada 1,6 kilometer ke arah barat daya dari Jembatan Ampera, ikon Palembang. Bangunan warung sangat sederhana, berukuran panjang lebih kurang 5 meter dan lebar sekitar 3 meter. Tempat makan hanya tersedia empat meja dengan daya tampung tak lebih dari 15 orang.
Biar sederhana, warung itu memiliki sajian pempek yang lengkap. Ada varian pempek kecil, mulai dari lenjer, telur, adaan, pistel, kerupuk/keriting, tahu, dan kulit.
Ada pula pempek lenjer besar, telur besar alias kapal selam, lenggang, panggang, dan otak-otak. Selain itu, ada varian pempek berkuah kaldu, mulai dari model ikan, model gandum, dan tekwan.
Semua pempek itu dibuat dari ikan gabus, salah satu ikan yang paling cocok untuk diolah menjadi pempek. Ikannya sangat terasa, tetapi tidak menimbulkan rasa dan aroma amis.
Itu indikator utama yang menentukan cita rasa pempek. ”Kejel keras sudah biaso, asak bae iwaknyo teraso, digoreng pake minyak kelapo, jadi nambah lemak rasonyo,” bunyi lirik lagu ”Pempek Lenjer” karya Karel Simon.
Ukuran pempek di Pempek Jimmy Devaten relatif besar dengan harga seperempat hingga setengah dari harga rata-rata pempek waralaba besar. Semua varian pempek kecil dihargai Rp 2.000 per buah.
Otak-otak Rp 2.500 per buah, panggang Rp 3.000 per buah, lenggang Rp 10.000 per porsi, pempek kapal selam Rp 10.000 per porsi, dan pempek lenjer besar Rp 20.000 per porsi.
Adapun model gandum Rp 5.000 per porsi, model ikan Rp 10.000 per porsi, dan tekwan Rp 10.000 per porsi. ”Nah, inilah kendak wong Palembang. Kalu makan pempek harus lemak, besak, dan murah,” ujar Robi (34), warga Palembang, sambil menyantap pempek di Pempek Jimmy Devaten.
Baca juga : Narasi Akademik Pempek Palembang Belum Kuat
Faktor cuko
Hal lain yang spesial dari Pempek Jimmy Devaten adalah punya cuko yang kental dengan rasa pedas, gurih, serta asam seimbang. Adapun cuko bukan sekadar kuah untuk pelengkap pempek, melainkan jadi faktor pembeda.
Ada kepercayaan di kalangan orang Palembang, pempek premium menjadi kurang enak kalau cukonya tidak sedap, pempek biasa menjadi enak kalau cukonya sedap, dan pempek premium menjadi sempurna kalau bersanding cuko yang sedap.
Apalagi untuk orang Palembang, setiap gigitan pempek harus ditutup dengan menghirup cuko. ”Ada seni tersendiri dalam meracik gulo merah, bawang putih, dan cabe untuk menjadi cuko. Setiap warung pempek, mereka punyo rahasia dapur dewek-dewek untuk membuat cuko,” kata Jimmy Firmansyah, pemilik Pempek Jimmy Devaten.
Dengan segala kelebihannya, Pempek Jimmy Devaten memiliki pelanggan setia dari masyarakat setempat hingga dari luar Sumsel. Mereka bisa menghabiskan 15-30 kilogram bahan ikan yang setara dengan 1.500-3.000 pempek kecil dalam sehari.
”Sebagian pempek habis untuk makan di tempat, sebagian lagi untuk dibawa pulang, dan sebagian lainnya untuk dikirim ke luar Palembang maupun Sumsel,” ujar Jimmy.
Baca juga : Mengecap Lezatnya Akulturasi Pempek Palembang
Secara keseluruhan, kawasan Depaten akan memberikan pengalaman makan pempek yang otentik sebagaimana kebiasaan orang Palembang. Lagi pula, Depaten adalah salah satu perkampungan paling tua di Palembang.
Depaten berasal dari kata dipatihan atau adipatihan karena menjadi tempat bermukimnya beberapa adipati atau bangsawan tinggi Kesultanan Palembang Darussalam, antara lain Pangeran Adipati II, adik kandung Sultan Mahmud Badaruddin II (berkuasa 1804-1821).
Layaknya makanan India, martabak HAR disantap dengan kuah kari yang dibuat dari rempah asli India, beberapa bumbu lokal, kentang, dan daging sapi.
Hingga kini, mayoritas orang yang bermukim di Depaten merupakan keturunan dari para bangsawan tersebut. Jejak fisiknya bisa dilihat dari berbagai bentuk rumah warga yang berkelas, terutama rumah-rumah kayu dengan arsitektur khas.
”Sebelum Pasar 26 Ilir dibanjiri oleh warung pempek, sebenarnya sentra kuliner pempek berada di sini,” ujar Jimmy yang duduk di bagian hubungan masyarakat pada Asosiasi Pengusaha Pempek Palembang periode 2018-2022.
Menurut pemerhati sejarah Palembang, Yudhy Syarofie, pempek adalah kuliner perekam jejak peradaban Palembang sejak masa Kerajaan Sriwijaya (abad VII-XIII) dan lambang keterbukaan masyarakatnya.
Semula pempek dikenal dengan sebutan kelesan atau teknik mengawetkan sagu yang dahulu banyak tumbuh dan menjadi makanan pokok di Palembang. Karena terinspirasi pendatang asal China dalam membuat bakso, kelesan kemudian diolah dengan ikan dari sungai-sungai yang mengelilingi Palembang.
Sebaliknya, cuko dipercaya mendapatkan pengaruh China dalam penambahan bawang putih dan pengaruh Jawa dalam penggunaan tamarinda atau asam jawa. ”Belakangan, kelesan lebih dikenal dengan sebutan pempek karena dijual oleh apek, sebutan untuk orang China tua di Palembang,” kata Yudhy.
Baca juga : Mencecap Lezatnya Pempek ”Jelata” di Pinggir Sungai Musi
Martabak HAR
Selain pempek, kuliner lain yang patut dicoba kalau berkunjung ke Palembang adalah martabak HAR. Martabak HAR adalah martabak khas tambi, sebutan untuk orang India di Palembang.
Adapun HAR merupakan singkatan dari nama pendiri warung pertama kuliner tersebut, yaitu Haji Abdul Rozak, seorang saudagar asal Kerala, India bagian selatan, yang merantau hingga wafatnya di Palembang.
Martabak HAR pertama kali dijual pada 1947 di Toko Kopi HAR di Jalan Kebumen yang berada di kawasan Pasar 16 Ilir, persisnya sekitar 200 meter ke arah timur laut dari Jembatan Ampera. Namun, karena perkembangannya, martabak HAR membuka sejumlah cabang.
Salah satu yang terbesar berada di Simpang Sekip di pinggir Jalan Jenderal Sudirman, persisnya 2,8 kilometer ke arah barat laut dari Jembatan Ampera.
Menu orisinal martabak HAR adalah martabak dengan isian telur ayam yang kini dihargai Rp 26.000 per porsi dan martabak isian telur bebek seharga Rp 30.000 per porsi.
Kini martabak HAR punya menu baru berupa martabak isian sayur plus telur ayam seharga Rp 32.000 per porsi dan martabak isian sayur plus telur bebek seharga Rp 37.000 per porsi.
Ada pula menu spesial telur ayam dicampur daging sapi cincang seharga Rp 55.000 per porsi dan spesial telur bebek dicampur daging sapi cincang seharga Rp 60.000 per porsi.
Layaknya makanan India, martabak HAR disantap dengan kuah kari yang dibuat dari rempah asli India, beberapa bumbu lokal, kentang, dan daging sapi.
Berbeda dengan kebanyakan kuah kari dari daerah lain, martabak HAR menyajikan kari yang lebih lembut secara rasa dan aroma untuk menyesuaikan lidah orang Palembang.
Baca juga : Semerbak Kisah Martabak
”Sebelumnya, saya tidak pernah makan martabak dengan kuah kari karena saya kira tidak cocok. Tapi, karena dibuat lebih lembut, kuah kari di sini terasa pas disantap dengan martabak,” tutur Tia (29), warga Banda Aceh, Aceh, yang baru pindah ke Palembang dua bulan terakhir.
Penyesuaian rasa itu membuat martabak HAR cepat diterima oleh masyarakat setempat. Di cabang Simpang Sekip, misalnya, mereka bisa menjual sekitar 500 porsi martabak per hari.
Sebagian besar pembeli adalah warga lokal. Itu bisa dilihat dari cara makan mereka yang biasanya langsung membasahi martabak dengan kuah kari dan acar kecap dengan irisan cabai rawit.
”Jam padat konsumen terjadi hampir di semua waktu makan, pagi, siang, dan malam hari. Martabak HAR dianggap makanan pengganti nasi. Itu mungkin karena bahan bakunya gandum dan ada isian telur sehingga bisa memberikan efek kenyang lebih lama,” ujar Manajer Martabak HAR Budi.
Saking populernya di masyarakat, martabak HAR banyak diduplikasi oleh warung-warung kecil. Yudhy mengatakan, sedikitnya ada 280 jenis kuliner Palembang berupa makanan berat dan ringan.
Mayoritas kuliner itu lahir dari akulturasi masyarakat lokal dengan suku, bangsa, ras, ataupun etnis pendatang.
Ada pengaruh dari Jawa, Arab, India, dan China yang datang untuk berdagang di Palembang serta pengaruh dari Belanda di era penjajahan. ”Selain pempek dan martabak HAR, ada juga nasi samin atau nasi minyak khas Palembang yang berasal dari kalangan Arab,” kata Yudhy.
Budayawan Palembang, Ali Hanafiah, menuturkan, sebagai pusat perdagangan yang berkembang sejak lampau, Palembang menarik minat beragam suku, bangsa, ras, ataupun etnis untuk berdatangan.
Penduduk lokal pun terbiasa berinteraksi dengan para pedatang. Keterbukaan itu memberikan banyak warna terhadap berbagai lapisan kehidupan di Palembang, termasuk kulinernya.
Baca juga : Menikmati Aliran Musi di Pasar 16 Ilir Palembang