Keajaiban Kecil dari Sampah yang Terpilah di Bandung
Ibu-ibu di Cipanjalu memilah sampah untuk ditukar dengan barang-barang berguna di pasar barter. Pasar itu juga membantu warga meningkatkan penghasilan tambahan dan mempererat hubungan sosial.
Ibu-ibu di Desa Cipanjalu, Kecamatan Cilengkrang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, perlahan paham bahwa sampah berharga jika dipilah. Satu per satu keajaiban kecil mereka alami. Tidak hanya memberi tambahan uang, pemilahan sampah itu mempererat hubungan sosial dan literasi warga.
Komarsih (38), warga Kampung Cilalareun, Desa Cipanjalu, membuat iri tetangganya, Minggu (26/11/2023). Pagi itu, dia berhasil mendapatkan wajan teflon berwarna merah. Barangnya memang tidak baru, tetapi kondisinya masih layak dipakai.
”Alus euy, urang pas beak koina (Bagus, saya pas habis koinnya),” kata salah seorang ibu paruh baya dalam bahasa Sunda.
”Wah, milik (rezeki) euy,”” kata ibu lainnya. Ia mengelus lapisan antilengket yang masih kesat.
”Lumayan jang nakol salaki mun bangor (untuk hukum suami kalau nakal),” kata Komarsih berkelakar mencairkan suasana.
Ibu-ibu Desa Cipanjalu tidak sedang ikut demo masak. Tidak ada juga pasar murah bahan kebutuhan pokok di sana. Pagi itu, mereka datang demi acara bertajuk ”Pasar Barter” di halaman Plastavall Solution di Cilalareun.
Selain Plastavall, acara ini diinisiasi Toko Nol Sampah dan Nitipatala. Semuanya adalah komunitas yang fokus pada pengurangan dan pengolahan timbulan sampah.
Berbagai barang sumbangan donatur terpajang di sana, mulai dari baju, tas, mainan anak hingga tempat makan bayi. Sebagian besar barang bekas.
Namun, ada beberapa barang baru yang belum dipakai pemiliknya. Label harga merek yang masih terpasang di barang itu menjadi buktinya.
Barang-barang itu bisa dibawa pulang warga setelah ditukar dengan sampah terpilah. Sebagai media tukar, warga mendapat ”koin”, dari tutup botol bekas. Jumlah koin tergantung dari banyak atau sedikitnya sampah yang dibawa.
Barang yang ditawarkan terbagi dalam tiga nominal berbeda. Selain setara 1 koin per item, ada juga barang bernilai lima koin per item dan tujuh koin per item.
Yuye Ernawati (32), warga Cilalareun lainnya, misalnya, membawa sekitar 2 kilogram sampah plastik. Isinya gelas dan botol minuman sampai bekas mi instan dan kopi yang dihargai 35 koin.
”Saya tukar dengan empat baju dewasa dan satu baju anak. Lumayan, satunya kalau beli di pasar bisa Rp 100.000-Rp 200.000. Di sini satu baju ini harganya 7 koin,” ujar Yuye memperlihatkan baju jins yang sengaja diambil untuk suaminya.
”Hadiah untuk suami yang ikut pilah sampah di rumah,” katanya.
Pendiri Plastavall, Adora Beata Bethari (29), mengatakan, pasar barter kali ini adalah yang kelima. Sebelumnya, acara serupa digelar dua kali di 2021 dan dua kali di 2022.
Beata mengakui, barter barang dengan sampah dipilah mungkin bukan hal baru. Namun, saat digelar di Cipanjalu, maknanya terasa berbeda.
Cipanjalu adalah desa yang berada di dataran tinggi Bandung Utara. Letaknya sekitar 20 kilometer dari pusat Kota Bandung.
Sebagian besar warga bekerja di sektor pertanian. Ada juga warga yang bekerja sebagai pedagang kecil-kecilan.
Berada di dataran tinggi, kawasan itu tidak jauh dari sentra usaha penyaluran air bersih. Konsumennya warga Kota Bandung yang sulit mendapat air bersih.
Baca juga: Pasca-kebakaran TPA Sarimukti, Sampah Kota Bandung Menumpuk di Jalan
Meski begitu, untuk urusan sanitasi dan pengolahan sampah, Cipanjalu masih harus berjuang lebih keras.
Meski tidak jauh dari pusat kota, belum ada tempat penampungan sementara (TPS). Akibatnya, sebagian warga masih terpaksa membakar atau membuangnya ke sungai.
”Sejak 2018, kami bekerja sama dengan sebagian warga untuk mengolah dan memilah sampah ketimbang dibuang begitu saja. Selain pasar barter, ada juga bank sampah, edukasi pemilahan sampah organik, hingga bimbingan pendidikan lewat program Education Club’s Impact. Sampah berharga jika dikelola,” kata Beata.
Komarsih awalnya tidak pernah mengira, sampah yang dikumpulkan di rumah memberinya banyak pengalaman baru. Saat menjadi nasabah bank sampah, misalnya, ia beberapa kali mendapat minyak goreng tanpa harus mengeluarkan uang.
”Lumayan, minyak bisa dipakai untuk buat gorengan hingga tiga hari. Setelah laku terjual, untungnya bisa berlipat-lipat,” kata Komarsih yang menjual gorengan di warung beromzet Rp 100.000 per hari di depan teras rumahnya.
Selain itu, dia juga dibuat bangga saat anaknya dipuji percaya diri berbahasa Inggris di sekolah. Komarsih yakin semua itu didapat setelah anaknya ikut bimbingan belajar di Plastavall.
”Dia ikut sepuluh kali pertemuan belajar di sana. Jadwalnya siang sampai sore setiap hari Sabtu. Syaratnya bawa sampah terpilah,” kata Komarsih merujuk program Education Club’s Impact. Total ada sedikitnya 20 siswa yang ikut program itu. Pengajarnya adalah para sukarelawan.
Kota Bandung, misalnya, sudah beberapa kali merasakan dampak buruk pengolahan sampah yang tidak ideal. Sanjungan legendaris ’Bandung Lautan Api’ dengan mudah berubah jadi ejekan ’Bandung Lautan Sampah’.
Keajaiban
Di usia senja, Eka (60), buruh tani, juga merasakan keajaiban kecil dari sampah yang terpilah. Dia mengatakan, kemarau panjang membuatnya banyak kehilangan kesempatan kerja.
Tanpa hujan, pemilik lahan enggan mengolah lahan karena takut merugi. Kalaupun ada, mereka memilih tenaga yang lebih muda.
”Biasanya sebulan bisa dapat lebih dari Rp 1 juta. Saat kemarau kurang dari Rp 500.000 per bulan,” katanya.
Tanpa pekerjaan, dia coba memanfaatkan waktu luang untuk mengambil sampah plastik dan memilahnya di rumah. Dia mendapatkannya di mana saja, baik dari tetangga maupun diambil di jalan. Dalam sebulan, ia bisa menambah penghasilan setidaknya Rp 50.000.
”Biasanya ada pengepul sampah yang datang ke rumah. Namun, karena sekarang ada pasar barter saya sengaja kumpulkan untuk disetor ke sini,” kata Eka memperlihatkan beberapa helai pakaian yang ia dapatkan.
Namun, Beata mengatakan, pasar barter dan beragam program lainnya lebih dari sekadar mendapatkan barang baru atau rupiah tambahan. Semuanya bagian dari edukasi warga untuk memperlakukan sampah.
Keberadaannya bisa sangat berharga. Namun, jika dibiarkan begitu saja akan sangat berbahaya.
Kota Bandung, misalnya, sudah beberapa kali merasakan dampak buruk pengolahan sampah yang tidak ideal. Sanjungan legendaris ”Bandung Lautan Api” dengan mudah berubah jadi ejekan ”Bandung Lautan Sampah”.
Hal itu merujuk sampah yang menumpuk dan tidak terangkut di berbagai kawasan. Terjadi pada 2006 dan 2010, polemik sampah muncul lagi tahun ini akibat kebakaran di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti terbakar.
Terbakar di bulan Agustus 2023 dan mulai padam di akhir September, musibah itu menunjukkan kerentanan kota menghadapi krisis sampah. Kini, beberapa bulan berselang, dampaknya masih terasa. Sekitar 1.200 ton sampah per hari dari Kota Bandung belum sepenuhnya bisa diangkut ke TPA.
Langkah jangka pendek, seperti pengangkutan menggunakan alat berat hingga melibatkan banyak pihak, tidak terlalu banyak membantu. Sampah yang diproduksi warga dan dibuang sembarangan lebih cepat menumpuk di berbagai titik.
Baca juga: Lautan Sampah Kota Bandung, Tebar Bau Busuk hingga Mematikan Usaha Warga
Proses panjang
Di Cipanjalu, waktu panjang itu terbukti teruji. Setelah lebih kurang lima tahun mendapat paparan edukasi dan literasi tentang sampah, sedikit demi sedikit perubahan itu mulai terlihat.
Meski masih ada warga yang membakar sampah residu karena sulit didaur ulang, 109 peserta Pasar Barter 2023 membawa sampah terpilah sesuai bentuk dan bahannya.
Tidak ada sampah basah yang dibawa warga ke lokasi pasar. Total ada 303,35 kilogram sampah yang bisa dicegah dibakar atau dibuang ke sungai.
Semuanya berbeda dibandingkan penyelenggaraan perdana di tahun 2021. ”Di pasar barter perdana, masih ada warga bawa sampah basah hingga pembalut,” kata Siska Nirmala (35), pendiri Toko Nol Sampah.
Kali ini, peserta pasar barter juga tidak bernafsu mengambil semua barang yang ditawarkan. Warga cenderung mengambil yang diperlukan. Barang-barang dari merek ternama dari Jepang hingga Spanyol tidak membuat mereka silau.
Saat pasar itu berlangsung, percakapan warga yang menyarankan tetangganya untuk mengambil yang diperlukan saja pun jamak terdengar. Tujuannya, agar mereka tidak menambah sampah di rumah.
”Milih nu perlu we. Tong engke jadi runtah da teu kapake (Pilih yang diperlukan saja. Jangan nanti malah jadi sampah baru),” kata salah seorang warga kepada temannya yang galau hendak menukarkan tujuh koinnya dengan tas besar berwarna coklat.
”Enya, mending simpen heula koinna. Bisi engke kaluar deui nu alus (Iya, lebih baik simpan dulu koinnya. Mungkin nanti keluar barang bagus lainnya),” kata warga lain menimpali.
Tidak berapa lama, kesabaran itu berbuah hasil. Satu sepatu merek asal Spanyol ukuran 38 dikeluarkan penyelenggara pasar barter. Warnanya merah muda. Di pasaran, harga barunya mencapai Rp 500.000.
”Saya mau, tujuh koin ya. Lumayan jang (untuk) zumba,” kata si ibu yang galau tadi. Kali ini dia yakin dan puas dengan pilihannya.
”Ceuk saya ge naon (Kata saya juga apa). Alus pan (bagus kan),” kata rekannya yang tadi memberi saran itu ikut bahagia.
Ketekunan dan kegembiraan pada Minggu pagi di Cipanjalu memperlihatkan betapa upaya mengurangi sampah bukanlah proses yang instan. Perjalanan panjang butuh ditempuh demi mendobrak keterbatasan literasi dan akses yang tersedia dalam menghadapi persoalan sampah setiap hari.
Baca juga: Siska Nirmala Bertualang Kampanye Nol Sampah