Pascakebakaran TPA Sarimukti, Sampah Kota Bandung Menumpuk di Jalan
Kuota pembuangan sampah di Bandung berkurang 50 persen pascakebakaran TPA Sarimukti sehingga sampah menumpuk di pinggir jalan.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Kuota pembuangan sampah Kota Bandung menuju Tempat Pembuangan Akhir atau TPA Sarimukti berkurang hingga 50 persen sehingga daya angkut terbatas. Sampah warga lalu menumpuk di sebagian tempat, termasuk di pinggir jalan raya.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Bandung Dudy Prayudi menyatakan, sampah yang dibuang warga di pinggir jalan raya terus diangkut. Namun, karena kuota yang terbatas, sampah yang terus berdatangan itu belum bisa diangkut seluruhnya.
Menurut Dudy, kuota pengiriman sampah Kota Bandung ke TPA Sarimukti di Kabupaten Bandung Barat hanya 628 ton per hari atau setara 150 ritase. Jumlah ini hanya separuh dari total pengiriman sampah per hari sebelumnya yang mencapai 1.200 ton.
Pembatasan ini terjadi setelah TPA Sarimukti terbakar pada Agustus 2023. Meskipun sekarang kebakaran di TPA ini sudah tertangani, pemerintah tetap membatasi jumlah sampah yang masuk ke sana.
Keterbatasan itu, lanjut Dudy, membuat pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk membatasi sampah yang masuk ke tempat pembuangan di setiap wilayah, terutama sampah organik. Namun, masyarakat masih saja ada yang tetap mencampur sampah dan sengaja membuangnya di pinggir jalan.
”Fenomena ini terjadi karena tempat pembuangan sampah (TPS) di Kota Bandung hanya menerima residu. Namun, di lapangan tidak semua warga melakukan itu sehingga membuat mereka membuangnya di pinggir jalan,” ujarnya.
Kami berharap ada kesadaran dari masyarakat agar tidak membuang sampah di pinggir jalan karena saat ini serba terbatas.
Menurut Dudy, para petugas tetap mengangkut sampah-sampah yang ada di pinggir jalan setiap hari. Namun karena keterbatasan kuota, tidak semua sampah bisa diangkut, sementara sampah terus menumpuk karena warga masih membuangnya di sana.
”Kami berharap ada kesadaran dari masyarakat agar tidak membuang sampah di pinggir jalan karena saat ini serba terbatas. Kesadaran warga untuk pemilahan sampah di hulu juga terus kami tingkatkan dan berupaya mengolah sampah mulai dari masyarakat,” ujarnya.
Kesadaran dan kebiasaan mengolah sampah, terutama organik, di tingkat masyarakat diharapkan bisa tercapai di tengah status kedaruratan sampah di Kota Bandung hingga 26 Desember 2023. Dudy berujar, jika warga mampu mengolah sampah organik, potensi pengurangan sampah yang dibuang ke TPA Sarimukti mampu berkurang hingga 50 persen.
Pengelolaan sampah dari hulu ini, lanjut Dudy, dilakukan secara berjenjang dan berskala. Di tingkat lingkungan, pengomposan dan pemanfaatan maggot untuk mengolah sampah organik melibatkan masyarakat hingga aparat kewilayahan.
Dalam skala kota, pemerintah meningkatkan kapasitas TPS 3R (reduce, reuse, recycle) untuk mengolah sampah organik. Dudy juga menyatakan, lahan TPS Sementara Gedebage juga disiapkan menjadi TPS Terpadu (TPST). Semua pengolahan ini ditargetkan rampung Desember 2023.
”Per Desember 2023 nanti, TPA Sarimukti hanya mau menampung sampah residu sehingga sampah organik harus bisa diolah dari hulu. Mekanisme pengolahan mulai dari tingkat RW hingga tingkat kota dengan target pengolahan sampah organik keseluruhan di Kota Bandung mencapai 500 ton per hari,” ujarnya.
Penjabat Wali Kota Bandung Bambang Tirtoyuliono menyatakan, pihaknya memastikan pengolahan sampah bisa dilakukan dari hulu ke hilir. Pemerintah Kota Bandung juga tengah membuka peluang kerja sama dengan Kabupaten Sumedang dengan membuka Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPSA) Cibeureum.
”Ada opsi di TPSA Sumedang dan kami tengah membuka peluang di sana. Kami juga sudah memastikan pengelolaan sampah juga dilakukan di kluster-kluster, seperti di pasar, pendidikan, rumah sakit, mal, dan restoran,” paparnya.
Yoyo (75), salah satu warga yang berjualan di Pasar Cicadas, Kota Bandung, berharap persoalan sampah ini teratasi. Tumpukan sampah di sisi Jalan Ahmad Yani dekat pasar tersebut mulai mengganggu aktivitasnya sehari-hari.
”Kalau habis hujan, baunya semakin tajam. Apalagi posisi lapak saya dekat dengan tumpukan sampah. Bahkan, dalam sehari tidak ada orang yang membeli dagangan saya karena tidak mau lewat sini,” ujarnya.