Lautan Sampah Kota Bandung, Tebar Bau Busuk hingga Mematikan Usaha Warga
Sampah menumpuk di tepian jalan di wilayah Kota Bandung. Pemkot Bandung meminta warga memilah sampah agar bisa diolah.
Tumpukan sampah yang belum juga surut di sejumlah titik membuat warga Kota Bandung, Jawa Barat, gusar. Sampai Selasa (7/11/2023) kemarin, gunungan sampah mudah ditemukan di sudut-sudut kota ini. Di sekitar Pasar Cicadas, misalnya, sampah membuat para penjual tidak nyaman. Penghasilan mereka terpuruk di tengah hidup yang serba sulit.
Wajah keriput Wito (74), pedagang mi ayam di Pasar Cicadas, kusut saat menghalau lalat yang mengerubungi lapaknya, Minggu (5/11/2023) sore. Rombongan serangga itu datang dari tumpukan sampah yang hanya berjarak sekitar 5 meter dari gerobak mi ayam miliknya.
Dengungan sayap serangga kecil itu berbaur dengan desing knalpot yang memadati ruas jalan yang ada di hadapannya. Angin yang berembus dari tumpukan itu juga membawa aroma sampah yang menusuk.
Jauh dari ideal, tumpukan sampah itu menurunkan omzet jualannya. Sebelumnya, Wito bisa menjual 100 mangkok mi ayam dari sore hingga tengah malam. Namun, dalam beberapa pekan terakhir, dia hanya bisa menjual kurang dari 50 mangkok. Satu mangkok dijual Rp 15.000-Rp 20.000 bergantung isiannya.
”Semenjak sampah menumpuk, saya lebih capek mengusir lalat daripada melayani pembeli. Apalagi kalau sudah habis hujan, baunya lebih parah. Kalau sudah begitu, pembeli bisa berkurang setengahnya,” kata Wito lesu.
Kondisi ini membuat Wito semakin gamang menjalani hari-hari senjanya. Dia kini hanya tinggal berdua dengan istrinya yang menderita penyakit Parkinson. Anak-anaknya berada di luar kota.
”Semoga saja masalah sampah ini cepat teratasi. Namun, setiap sampah diangkut petugas, ada saja orang yang buang sampah di sana malam harinya. Biasanya mereka bawa motor terus membuang kantong keresek ke tumpukan sampah itu,” ujarnya sambil menunjuk tumpukan sampah.
Baca juga: Pascakebakaran TPA Sarimukti, Sampah Kota Bandung Menumpuk di Jalan
Edi Suharyadi (55), petugas parkir di sisi Jalan Ahmad Yani dekat Pasar Cicadas, juga kerap melihat hal yang sama. Para pembuang sampah itu menggunakan sepeda motor hingga mobil. Saat mendekati tumpukan sampah, mereka berjalan pelan lalu membuang berkantong-kantong sampah di sana.
Edi berujar, para petugas yang berjaga di sana pun diakali. Para pembuang sampah ini baru beraksi lewat tengah malam saat jalanan tidak diawasi petugas kewilayahan hingga satuan polisi pamong praja.
”Kalau malam biasanya ada petugas yang berjaga dan tidak ada warga yang membuang sampah. Tapi saat petugas pulang, bunyi kantong sampah yang dibuang kembali terdengar,” kata Edi.
Tidak selesai
Sampah-sampah ini mulai menumpuk sejak pertengahan Agustus 2023 saat Tempat Pembuangan Akhir Sarimukti di Kabupaten Bandung Barat terbakar. Selama hampir dua bulan, TPA yang melayani pengelolaan sampah di Bandung Raya ini tidak beroperasi maksimal.
Bahkan, di pekan awal kebakaran, TPA Sarimukti ditutup dan tidak memberikan layanan sehingga sampah di kawasan aglomerasi tersebut menumpuk di berbagai titik. Kota Bandung yang memproduksi sampah lebih dari 1.200 ton sehari menjadi kelimpungan.
Sampah bertumpuk di mana-mana. Tempat pembuangan sampah (TPS) tutup berminggu-minggu. Masalah sampah di Kota Bandung belum juga rampung saat TPA Sarimukti kembali beroperasi dengan kuota terbatas.
Baca juga: Pemerintah Kabupaten/Kota Diminta Tangani Sampah di Bandung Raya
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Bandung Dudy Prayudi menyatakan, pembatasan kuota pembuangan sampah di TPA Sarimukti tetap dilakukan meskipun status darurat di fasilitas milik Provinsi Jabar itu telah dicabut. Kondisi ini berdampak pada pengelolaan sampah yang terbatas di Kota Bandung.
”Saat ini Kota Bandung mendapat kuota 628 ton per hari atau setara 150 ritase. Karena itu, pengangkutan sampah juga menjadi terbatas. Kami juga membersihkan sampah-sampah yang ada di jalan, tetapi warga tetap membuangnya di sana,” ujarnya.
Pengelolaan yang masih bermasalah ini membuat Kota Bandung masih dalam status kedaruratan sampah hingga 26 Desember 2023. Pemerintah juga membentuk Satuan Tugas Penanganan Darurat Bencana Sampah Kota Bandung yang dengan anggota yang berasal dari berbagai sektor.
Kesadaran warga
Menurut Dudy, aksi warga yang membuang sampah di pinggir jalan ini terjadi setelah pemerintah menerapkan aturan sampah organik tidak dibuang di TPS. Warga diharapkan bisa memilah sampah organik sejak dari rumah sehingga sampah yang bisa dibuang di TPS tinggal residu.
”Tapi belum semua warga telah memilah sampah dari rumah sehingga di TPS sampah mereka tidak diterima. Karena itu, sebagian warga ada yang membuang sampah di pinggir jalan,” ujarnya.
Karena itu, Dudy berharap kesadaran warga memilah sampah bisa ditingkatkan. Apalagi, pengolahan sampah organik dianggap mampu mengurangi produksi sampah yang akan diantar ke TPA Sarimukti.
”Dari 1.200 ton produksi sampah harian Kota Bandung, lebih dari 50 persen berasal dari sampah organik. Karena sampah-sampah lama belum terangkut, TPA Sarimukti masih menerima sampah tercampur hingga akhir Desember 2023. Setelah itu, tidak menerima lagi sampah organik,” ujarnya.
Jika pengolahan sampah organik belum bisa dilakukan dari sumbernya, Dudy khawatir pengelolaan sampah di Kota Bandung akan mengalami kesulitan. Karena itu, strategi pemilahan sampah organik perlu dilakukan dari hulu hingga ke hilir.
Dari tingkat masyarakat, kata Dudy, sosialisasi pemilahan terus dilakukan. Fasilitas pengolahan, mulai dari pengomposan hingga pemanfaatan magot, disiapkan di tingkat lingkungan perumahan hingga kelurahan.
Baca juga: Pesta Pora Lalat di Gunung Sampah Bandung Raya
Fasilitas pengolahan sampah di sejumlah TPS juga disiapkan. Dudy berujar, terdapat 10 titik TPS 3R (reduce, reuse, recycle) dengan pengolahan sampah yang ditingkatkan dengan target 10 ton per hari. Di samping itu, pemerintah juga tengah menyiapkan TPS Terpadu di Gedebage yang akan mengolah sampah organik.
”Target pengolahan sampah di tingkat kelurahan mencapai 1 ton per hari. Dengan semua fasilitas yang ada, diharapkan 500 ton sampah organik di Kota Bandung bisa diolah dan tidak dibuang ke TPA,” ujarnya.
Strategi darurat
Berbagai rencana untuk menangani permasalahan sampah di Kota Bandung ini diharapkan bisa mencapai target. Namun, menurut Direktur Eksekutif Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan (YPBB) David Sutasurya, pemerintah perlu memikirkan strategi darurat untuk menangani sampah saat ini.
YPBB adalah organisasi yang fokus terhadap pengelolaan sampah secara zero waste yang masuk dalam Forum Bandung Juara Bebas Sampah (BJBS). Forum ini ambil bagian dalam Satgas Penanganan Darurat Bencana Sampah Kota Bandung.
Satgas yang dibentuk, ujar David, harus dimaksimalkan dengan keterlibatan berbagai pihak. Salah satunya dengan memaksimalkan petugas kebersihan di lapangan yang sebelumnya tidak bekerja saat TPS tutup karena TPA Sarimukti kebakaran.
Jadi, saat ini sudah bukan saatnya edukasi, melainkan penegakan hukum yang tegas sehingga warga mau memilah sampahnya.
Menurut David, berdasarkan perhitungan kebutuhan tenaga kerja untuk mengolah sampah organik di Kota Bandung mencapai 1.271 orang. Setiap pekerja mampu mengolah 5 ton per hari sehingga jumlah sampah yang tertangani mencapai 254,21 ton.
”Strategi pemerintah saat ini seharusnya tidak langsung memikirkan pembangunan sarana permanen, apalagi hanya dengan mengandalkan pengelolaan dari masyarakat. Namun, perlu ada strategi pengolahan secara darurat yang padat karya,” ujarnya.
Di samping itu, penegakan hukum juga menjadi hal yang penting untuk mempercepat kebiasaan masyarakat dalam memilah sampah. Menurut David, ketegasan aturan sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 9 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Sampah.
“Dalam perda sudah ditulis, pemilahan sampah organik dan sampah lainnya harus dilakukan setiap orang. Jadi, saat ini sudah bukan saatnya edukasi, melainkan penegakan hukum yang tegas sehingga warga mau memilah sampahnya,” ujar David.
Penegakan hukum hingga penanganan darurat ini diharapkan bisa mengurangi sampah-sampah yang menumpuk di tengah keterbatasan pengolahan. Jika tidak, sampah di pinggir jalan akan terus menggunung. Tidak hanya bau dan tidak sedap dipandang, keberadaannya rawan mematikan masa depan orang di sekitarnya.