Pancasila sebagai dasar negara perlu terus dihidupi dengan keteladanan konkret dalam keluarga, masyarakat, hingga kepemimpinan nasional.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·3 menit baca
PURWOKERTO, KOMPAS — Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara Indonesia perlu terus dihidupkan lewat keteladanan, baik di tingkat keluarga, masyarakat, maupun kepemimpinan nasional. Dari sana diharapkan, Pancasila bisa menjawab tantangan zaman serta memperkokoh kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hal itu mengemuka dalam Sosialisasi Pembinaan Ideologi Pancasila bersama DPR RI dengan tema ”Aktualisasi Nilai-nilai Pancasila di Tengah Arus Globalisasi”. Sosialisasi yang digelar di Purwokerto, Selasa (14/11/2023), itu menghadirkan anggota DPR RI Komisi II Dito Ganinduto, Direktur Pengkajian Implementasi Pembinaan Ideologi Pancasila Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Irene Camelyn Sinaga, dosen FISIP Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Ahmad Sabiq, serta Ahmad Muttaqin dan Agus Sunaryo dari UIN Saifuddin Zuhri Purwokerto.
”Masalahnya banyak, misalnya, orang-orang yang seharusnya bisa memberikan teladan tentang Pancasila kemudian malah tergelincir dalam korupsi. Ini persoalan,” kata Ahmad Sabiq.
Sabiq mengatakan, diperlukan langkah konkret untuk terus menghidupkan Pancasila, yaitu lewat wacana publik. Mengutip Azyumardi Azra, Sabiq menyampaikan, menjadikan Pancasila sebagai wacana publik merupakan tahap awal krusial untuk pengembangan kembali Pancasila sebagai ideologi terbuka, yang dapat dimaknai terus-menerus, sehingga tetap relevan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
”Menjadi wacana umum artinya tidak hanya dibicarakan dalam forum-forum sosialisasi BPIP ini, tapi juga di tingkatan masyarakat, tingkat keluarga,” katanya.
Menurut Sabiq, sosialisasi yang paling mengena adalah di tingkat keluarga, yakni bagaimana bapak dan ibu menyosialisasikan Pancasila kepada anak-anaknya.
”Paling tidak, orangtua memastikan anak-anak itu hafal Pancasila. Kemudian juga bisa memahami makna-makna Pancasila, nilai-nilai inti Pancasila mulai dari ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial,” paparnya.
Lebih dari itu, contoh keteladanan konkret juga perlu ditingkatkan supaya kian banyak generasi muda meresapi dan mengamalkan Pancasila. ”Omong ketuhanan, tapi tidak pernah shalat, misalnya, tentu tidak akan digople (Jawa: diperhatikan). Omong kemanusiaan, tapi di masyarakat sewenang-wenang, ya pasti tidak diindahkan. Omong persatuan, tapi dia ini suka memecah-belah di tahun-tahun politik, misalnya. Dakwah yang paling utama adalah dakwah dengan perilaku, dengan teladan. Termasuk juga mendakwahkan Pancasila,” tuturnya.
Ahmad Muttaqin menyebutkan, dalam memaknai Pancasila dibutuhkan cara yang baru dan segar atau kekinian. ”Memaknai Pancasila itu harus ditransformasikan dalam bentuk yang baru. Pertama, cara memaknai Pancasila itu dengan dialogis. Bagaimana Pancasila itu didialogkan dengan konteks yang dimiliki masyarakat,” tutur Muttaqin.
Ia memberi contoh bagaimana pencari ikan di sungai kehilangan pekerjaan tatkala sungai rusak tercemar akibat penambangan galian C. Sang pencari ikan itu tidak bisa bernegosiasi dengan pemodal galian C dan hanya pasrah dengan keadaan.
”Pancasila terus hadir atau tidak pada masyarakat pencari ikan ini. Kemudian keadilan sosial bagaimana, kerakyatannya di mana, persatuannya di mana,” katanya.
Lemahnya keteladanan
Adapun Irene berpandangan, Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi yang disusun oleh pendiri negara pada 1945, saat ini mengalami sejumlah problem. Problem itu, antara lain, lemahnya keteladanan, semakin maraknya sikap dan perilaku yang mengedepankan nilai negatif, serta kurangnya apresiasi terhadap praktik baik.
”Wawasan kebangsaan kita masih pada peta. Wawasan kebangsaan kita masih pada perspektif kita di dalam buku pelajaran geografi atau IPS. Kalau kita tidak berinteraksi langsung, bagaimana saya bisa mengetahui Merauke, kalau saya tidak pernah bertemu dengan orang Merauke,” tutur Irene.
Sementara Dito menyampaikan, nilai-nilai Pancasila penting diterapkan di tengah perubahan dunia yang begitu cepat, khususnya dalam era globalisasi. ”Pancasila tidak hanya sekadar semboyan, ia adalah panduan yang harus kita gunakan dalam menghadapi perubahan-perubahan ini,” katanya.