Manggala Agni Pantang Pulang Sebelum Langit Sumsel Cerah Lagi
Pasukan Manggala Agni bertarung memadamkan kebakaran lahan gambut di Desa Jungkal, Sumsel. Mereka bertaruh nyawa, menahan rindu pada keluarga hingga menyepi dari keramaian saat melawan api dan asap selama berbulan-bulan.
Di balik kobaran api dan asap kebakaran lahan gambut di Desa Jungkal, Kecamatan Pampangan, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, pasukan Manggala Agni setia menjadi garda terdepan mengakhiri bencana itu. Meski dihantui risiko besar dan bertalu rindu anak-istri, anggota ”panglima api” itu pantang pulang sebelum langit Sumsel kembali cerah.
Baru saja usai makan siang, tidak ada waktu bersantai bagi tiga kelompok Manggala Agni di Desa Jungkal, Selasa (7/11/2023). Kelompok yang masing-masing terdiri atas tiga orang itu bergegas melanjutkan pemadaman kebakaran gambut.
Pasukan yang identik berseragam merah-merah itu berpencar. Mereka membasahi perimeter atau area penyekatan sekaligus area aman. Tanahnya harus menjadi bubur sebelum pemadaman menembus ke bagian tanah lebih dalam guna memadamkan api.
Baca juga: Kebakaran Nyaris Padam, Kualitas Udara Palembang Membaik
Tugas yang dimulai sekitar pukul 13.30 itu berakhir menjelang magrib atau sekitar pukul 17.00. Wajah dan perlengkapan alat pelindung diri (APD) dari ujung kepala hingga kaki sudah kumal terpapar debu hitam efek residu pekat asap kebakaran.
Energi sudah pasti terkuras habis. Semua menjadi bukti kerasnya usaha mereka hari itu.
Kompas merasakan kerasnya pengabdian itu. Saat ikut operasi pemadaman, bergerak dengan kaus, celana jeans, serta sepatu bot saja, sudah sangat melelahkan.
Itu karena harus melalui semak belukar yang rapat. Semua mesti dilakukan untuk masuk lokasi kebakaran. Bahkan, langkah terasa lebih berat ketika berjalan di atas vegetasi gambut yang baru terbakar.
Kebakaran di lokasi ini menyumbang polusi asap terbesar di Sumsel, terutama ke arah Palembang dan sekitarnya. Bahkan, asap mencapai provinsi tetangga, seperti Jambi dan Riau.
Sementara itu, beban pasukan Manggala Agni jauh lebih berat. Mereka wajib menggunakan peralatan lebih lengkap. Ada api hingga asap pekat di depan mata yang harus dihadapi.
Oleh karena itu, helm, seragam, dan celana panjang tebal wajib dipakai. Mereka juga mengenakan bot antipanas yang tebal dan berat.
Beban itu ditambah selang tebal yang harus dibawa dengan tekanan air besar. Jadi, bisa dibayangkan bagaimana sesaknya tubuh mereka.
”Yang paling berat itu hausnya. Tenggorokan rasanya kering sekali kalau tugas waktu matahari terik. Untungnya, hari ini, cuaca agak mendung. Asap tidak terlalu pekat dan api sudah banyak yang padam,” ujar Anson (43), anggota Manggala Agni dari Daerah Operasi (Daops) Sumatera XVI/Lahat. Siang itu, dia bertugas sebagai pemegang nozel selang atau alat pengontrol aliran keluar air.
Kebakaran terparah
Dari total 100.000 hektar hutan dan lahan terbakar di Sumsel sepanjang Januari-Oktober 2023, kejadian terparah ada di Desa Jungkal. Operasi pemadaman sudah dimulai sejak 9 September 2023. Namun, kebakaran tetap meluas hingga 5.000 ha.
”Kebakaran di lokasi ini menyumbang polusi asap terbesar di Sumsel, terutama ke Palembang dan sekitarnya. Bahkan, asap mencapai provinsi tetangga, seperti Jambi dan Riau,” ujar Kepala Balai Pengendalian Perubahan Iklim dan Kebakaran Hutan dan Lahan Wilayah Sumatera di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ferdian Krisnanto.
Kebakaran di Desa Jungkal terbilang sulit diatasi. Kondisinya berupa lahan gambut dalam, rata-rata 6 meter.
Situasi semakin sulit karena sumber air untuk pemadaman minim. Angin kencang juga berubah-ubah arah. Hujan dengan intensitas tinggi dan merata belum juga turun.
Oleh karena itu, butuh usaha ekstra dan totalitas dari pasukan Manggala Agni untuk memadamkannya. Dengan segala perjuangan pasukan Manggala Agni, proses pemadaman di sana mencapai 90 persen hingga Selasa (7/11/2023).
”Jika cuaca tidak terlalu terik, pemadaman ditargetkan tuntas dalam sepekan ke depan. Kalau hujan turun deras dan merata, pemadaman diyakini lebih cepat,” kata Ferdian.
Baca juga: Operasi Teknologi Modifikasi Cuaca di Sumsel Kembali Diperpanjang
Kepala Manggala Agni Daops Sumatera XVII/OKI Edi Satriawan mengatakan, pemadaman kebakaran lahan gambut, terlebih lahan gambut dalam di Desa Jungkal, harus dilakukan dengan strategi khusus. Metodenya tidak sama dengan lahan mineral.
Di lahan gambut, Manggala Agni tidak bisa langsung menyerang api. Alasannya, lahan gambut menyimpan udara atau oksigen dan bahan bakaran di dalam permukaannya.
Untuk itu, pemadamannya harus bertahap. Caranya dimulai dengan membasahi perimeter hingga tanahnya menjadi bubur. Baru kemudian, masuk lebih dalam guna menyerang api.
Kalau menyerang api lebih dahulu, petugas berisiko terjebak di tengah kepungan asap dan api. Padahal, saat ada angin kencang, api berpotensi membesar.
Tak heran, pemadaman kebakaran di Desa Jungkal cukup lama. Apalagi lokasi yang terbakar juga luas, dengan panjang sekitar 3 kilometer dan lebar kurang lebih 6 km.
”Kami harus memadamkan dengan sangat hati-hati dan terukur agar operasinya efektif dan aman untuk para petugas di lapangan,” tutur Edi.
Tepikan rindu
Tidak hanya fisik, mental personel Manggala Agni juga diuji. Demi tugas, mereka rela menunda rindu. Anak-istri mesti ditinggal dalam waktu cukup lama.
Anson, misalnya, sudah bertugas 1,5 bulan di Desa Jungkal. Dia bertugas bersama 59 rekan-rekannya.
Selama itu, rasa rindu Anson pada anak-istri tak terbendung. Apalagi dua anaknya masih kecil-kecil. Anak pertamanya, perempuan berusia 10 tahun, sedangkan yang kedua adalah lelaki berusia 5 tahun.
Baca juga: Tiga Lokasi Karhutla di Ogan Komering Ilir Penyumbang Kabut Asap Terbesar di Sumsel
Untuk pulang sebentar saja sulit dilakukan. Waktu rehat yang tersedia hanya 1-2 hari. Padahal, waktu tempuh Desa Jungkal ke pusat kota Kabupaten Lahat mencapai 7 jam 30 menit.
Di sisi lain, jaringan telekomunikasi di Jungkal belum ideal. Sinyal terbaik saat dia harus naik ke menara pantau milik perkebunan, tidak jauh dari kamp Manggala Agni di sekitar lokasi kebakaran. Oleh karena itu, Anson mesti menepikan dulu rasa rindu itu.
”Sebelum ke sini, saya sudah jelaskan kepada anak-istri bahwa ini tugas negara. Kalau tugas sudah selesai, insya Allah berkumpul lagi,” ujar Anson yang telah 17 tahun 6 bulan menjadi anggota Manggala Agni. Dia setia meski statusnya pegawai non-ASN alias honorer.
Akan tetapi, sekuat apa pun menahannya, rasa rindu itu tidak bisa ditutupi. Diiringi tembang-tembang lawas dari penyanyi Ratih Purwasih, anggota Manggala Agni Daops Sumatera XVII/OKI, Muhadi (32), menjadi melankolis saat bercerita tentang tiga anaknya.
Anak pertamanya laki-laki berusia 9 tahun dan kedua adalah perempuan berusia 6 tahun. Anak ketiga ialah laki-laki berusia 2 tahun.
”Lagi pula, tugas ini juga demi keluarga, khususnya anak dan kedua orangtua saya. Mereka kelompok paling rentan terpapar asap kebakaran lahan. Jadi, saya berusaha memadamkan kebakaran di sini agar mereka tidak lebih lama terpapar asap,” ungkap Muhadi yang telah 7 tahun 4 bulan menjadi pegawai honorer Manggala Agni.
Jauh dari keramaian
Beban mental juga bertambah saat pasukan Manggala Agni harus menyepi dari keramaian. Lokasi kebakaran di Desa Jungkal, misalnya, berada sekitar 30 km ke arah timur-timur laut dari ibu kota OKI, Kayuagung. Jaraknya sekitar 100 km ke arah tenggara Palembang.
Hanya ada jalan tanah atau jalan perkebunan menuju lokasi tersebut. Aksesnya cuma bisa ditembus menggunakan mobil gardan ganda. Durasinya sekitar 1 jam 30 menit hingga 2 jam dari Kayuagung atau sekitar 3 jam dari Palembang.
Tidak ada perkampungan di sekitar lokasi tersebut. Yang ada hanya kamp berupa tiga tenda barak dan sejumlah tempat tidur lipat untuk pasukan Manggala Agni.
Untuk makan, mereka masak sendiri meski sesekali datang makanan dari Markas Manggala Agni Daops XVII Sumatera/OKI. Tempat ibadah, serta mandi, cuci, dan kakus juga dibuat darurat.
”Sebenarnya, semua ini tidak seberapa dibandingkan cibiran masyarakat awam. Di media sosial, kami sempat membaca ada yang menganggap kami tidak bekerja sehingga kebakaran terus terjadi. Ada yang justru mendukung pembukaan lahan dengan membakar. Sedih mengetahui itu. Kami di sini bertaruh nyawa dan meninggalkan anak-istri serta orangtua,” kata Muhadi.
Meski harus bertaruh nyawa, jauh dari keluarga, dan fasilitas istirahat jauh dari kata nyaman, pasukan Manggala Agni tetap setia berjibaku dengan api. Mereka pantang pulang sebelum langit Sumsel terbebas dari asap kebakaran.