Kebakaran Nyaris Padam, Kualitas Udara Palembang Membaik
Kualitas udara di Palembang dan sekitarnya terus membaik dalam tiga hari terakhir. Hal itu tidak lepas dari hujan yang turun cukup deras di Palembang dan proses pemadaman kebakaran gambut di Desa Jungkal nyaris tuntas.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·5 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Kualitas udara di Palembang dan sekitarnya terus membaik atau hampir tidak ada kabut asap dari kebakaran hutan dan lahan dalam tiga hari terakhir. Hal itu tidak lepas dari hujan yang cukup deras di Palembang dan sekitarnya, serta proses pemadaman kebakaran gambut di Desa Jungkal, Kecamatan Pampangan, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, nyaris tuntas.
Berdasarkan pantauan Kompas, langit Palembang kembali membiru dan udara terasa segar sejak Senin (6/11/2023). Kabut asap memang masih ada, tetapi sangat tipis sehingga tidak berdampak terhadap jarak pandang. Bau asap kebakaran pun hampir tidak tercium sama sekali. Situasi itu terus bertahan hingga Selasa (7/11/2023) dan Rabu (8/11/2023).
Hal itu diperkuat dengan data Konsentrasi Partikulat PM 2.5 dari Stasiun Klimatologi Kelas I Sumsel. Setelah berada di angka 44,42 mikrogram/meter kubik pada Minggu (5/11/2023), nilai rata-rata harian konsentrasi partikulat PM 2.5 di Palembang turun menjadi 35,93 mikrogram/meter kubik atau di bawah 55,5 mikrogram/meter kubik yang artinya berkualitas sedang mulai Senin (6/11/2023).
PM 2.5 yang merupakan indikator adanya partikel kecil padat seperti residu kebakaran di udara itu berada di angka 37,84 mikrogram/meter kubik pada Selasa (7/11/2023). Karena itu, nilai rata-rata harian konsentrasi partikulat PM 2.5 di Palembang dua hari terakhir menjadi yang paling baik sepanjang sebulan terakhir.
Grafik serupa ditunjukkan laman Ispu.menlhk.go.id. Setelah masih berada di kisaran 114-108, yang artinya tidak sehat pada pukul 00.00-06.00, Minggu (5/11/2023), Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) di Palembang menurun ke kisaran 77-74 atau berkualitas sedang pada pukul 00.00-07.00 yang menjadi waktu rawan datangnya kabut asap mulai Senin (6/11/2023).
ISPU Palembang kembali menurun menjadi sekitar 65 pada pukul 00.00-07.00, Selasa (7/11/2023), dan tetap sekitar 65 pada pukul 00.00-07.00, Rabu (8/11/2023). Dengan begitu, Palembang tidak lagi masuk 10 besar daerah dengan kualitas udara terburuk di Tanah Air.
Jadi, potensi penurunan kualitas udara masih ada karena titik api di OKI belum padam semuanya. (Wandayantolis)
Namun, kualitas udara Palembang dan sekitarnya berpeluang kembali terkontaminasi polusi kabut asap. Itu karena potensi hujan cenderung menurun dalam tiga-lima hari mendatang, terutama di OKI yang titik apinya paling banyak dari total sekitar 100.000 hektar lahan yang terbakar di Sumsel selama Januari-Oktober 2023.
”Jadi, potensi penurunan kualitas udara masih ada karena titik api di OKI belum padam semuanya,” ujar Koordinator Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Sumsel Wandayantolis saat dihubungi dari Palembang, Rabu (8/11/2023).
Dua faktor
Kepala Balai Pengendalian Perubahan Iklim dan Kebakaran Hutan dan Lahan Wilayah Sumatera Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ferdian Krisnanto di tengah tugas memantau pemadaman kebakaran gambut di Desa Jungkal, Selasa (7/11/2023), mengatakan, membaiknya kualitas udara Palembang dan sekitarnya tidak lepas karena turun hujan cukup deras tiga hari terakhir. Hujan menjadi penghalang asap masuk ke suatu wilayah.
Faktor lain yang membuat kualitas udara membaik karena proses pemadaman kebakaran gambut di Desa Jungkal sudah mencapai 90 persen dari total kurang lebih 5.000 hektar lahan yang terbakar. Sejauh ini, kebakaran di sana menjadi yang terparah sekaligus penyumbang polusi asap terbesar di Sumsel, khususnya ke arah Palembang dan sekitarnya. Bahkan, asap itu mencapai provinsi tetangga, seperti Jambi dan Riau.
Sejak kebakaran di sana terpantau pada akhir Agustus dan operasi pemadaman dimulai pada 6 September, kebakaran gambut di Desa Jungkal sulit diatasi. Hal itu karena kebakaran terjadi di gambut yang dalam, rata-rata 6 meter. Selain itu, sumber air untuk pemadaman semakin berkurang, angin kencang dan arahnya berubah-ubah, serta hujan deras merata dan berintensitas lama belum turun.
”Kalau dilihat dari citra satelit, kebakaran gambut di Desa Jungkal menjadi penyumbang asap ke sebagian besar wilayah Sumsel, terutama yang memengaruhi kualitas ISPU di Palembang dan sekitarnya beberapa hari lalu. Laju penyebaran asap dari Jungkal ke Palembang bisa hanya sekitar dua jam,” kata Ferdian.
Oleh karena itu, jika kebakaran di Desa Jungkal bisa dituntaskan dalam waktu dekat, bisa berefek signifikan untuk mencegah polusi asap kembali menyelimuti Palembang dan sekitarnya. Ferdian memprediksi, jika cuaca tidak terlalu terik, proses pemadaman itu bisa dituntaskan dalam sepekan ke depan.
Jika turun hujan deras dan merata, pemadaman itu bisa tuntas jauh lebih cepat. ”Dari awal, kami fokus melakukan pemadaman di Jungkal karena sumber asap terbesar berasal dari sini. Kalau kita mengobati (memadamkan kebakaran) di tempat lain tanpa mengobati luka utama yang ada di sini lebih dahulu, sumber asap akan terus dinamis (tidak benar-benar tuntas),” tutur Ferdian.
Kepala Manggala Agni Daops Sumatera XVII/OKI Edi Satriawan menuturkan, pemadaman kebakaran lahan gambut, terlebih untuk lahan gambut dalam di Desa Jungkal, harus dilakukan dengan strategi khusus yang tidak sama dengan lahan mineral. Di lahan gambut, Manggala Agni tidak bisa langsung menyerang api seperti di lahan mineral.
Itu karena lahan gambut menyimpan udara atau oksigen dan bahan bakaran di dalam permukaannya. Untuk itu, pemadamannya harus bertahap dimulai dengan pembasahan perimeter atau pembasahan area aman hingga tanahnya menjadi bubur. Baru kemudian, masuk lebih dalam guna menyerang api. Jika menyerang api lebih dahulu, itu berisiko membuat petugas terjebak di tengah kepungan asap dan api yang berpotensi membesar saat muncul angin kencang tiba-tiba.
Tak heran, pemadaman kebakaran di Desa Jungkal cukup lama. Apalagi lokasi yang terbakar berupa gambut dalam dan cukup luas mencapai 5.000 hektar, panjang sekitar 3 kilometer dan lebar 6 kilometer. ”Kami harus melakukan pemadaman dengan sangat hati-hati dan terukur agar operasinya efektif dan aman untuk para petugas di lapangan,” ujar Edi.
Anson, anggota Manggala Agni dari Daops Sumatera XVI/Lahat, menyampaikan, berbeda dengan lahan mineral yang bertahan keras, petugas pemadam tidak bisa menjamah lahan gambut dengan mudah. Itu karena lahan gambut ada rongga di bawah permukaannya.
Jika telah terbakar dan dibasahi, gambut akan lebih rawan ambles dan bisa membuat petugas pemadam terperosok ke dalamnya. Biasanya, di bawah permukaan yang baru terbakar, masih ada api yang aktif ataupun air yang mendidih.
Risiko lainnya yang bisa mengancam keselamatan, bahkan nyawa adalah potensi pohon tumbang karena akarnya sudah rapuh. ”Pemadaman lahan gambut sangat melelahkan dan berisiko tinggi. Kalau tidak punya pengalaman yang memadai, pemadaman di sini sangat berbahaya,” kata Anson.