Dari Sagu ke Sawah, Kini Tercemar Tambang
Sagu di Sulawesi Tenggara telah banyak ditebang untuk dijadikan sawah. Namun, kini sawah banyak yang dirusak oleh tambang nikel. Nikel yang harusnya menyejahterakan justru membuat kemiskinan baru bagi masyarakat.
Dua puluh tahun lalu, pohon-pohon sagu di Desa Tondowatu, Kecamatan Motui, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, itu ditebangi, digantikan dengan sawah. Kini, air dan tanah di sawah-sawah itu telah tercemar limbah tambang dan produksi padi terus merosot.
Hamparan sawah di Desa Tondowatu itu berbatasan dengan pabrik smelter nikel. Dari persawahan itu, cerobong smelter yang hanya berjarak sekitar 500 meter terlihat jelas mengeluarkan jelaga. Sementara itu, perbukitan yang mengelilingi desa ini banyak yang dijadikan areal penambangan nikel.
Nasrul (33), salah satu petani penggarap sawah di Tondowatu, mengeluh dengan merosotnya hasil sawahnya seiring dengan beroperasinya smelter lima tahun terakhir. ”Saya tidak tahu apakah terkait langsung, tetapi hasil panen kami memang terus merosot,” kata Nasrul, yang ditemui Sabtu (2/9/2023).
Nasrul mengeluh dengan merosotnya hasil sawahnya seiring dengan beroperasinya smelter lima tahun terakhir.
Nasrul telah menjadi petani penggarap sawah di Tondowatu sejak 10 tahun lalu. Sebelumnya, dia bertani di Pinrang, Sulawesi Selatan. ”Tertarik ke sini karena dulu hasil sawah di sini masih bagus. Pengairannya juga lancar,” katanya.
Menurut Nasrul, dulu dirinya biasa menanam padi dua kali dalam setahun. ”Awal menanam padi di sini hasilnya lumayan, bisa mendapat 4-5 ton gabah per hektar,” katanya.
Namun, beberapa tahun terakhir, hasil panenan padi merosot tajam. ”Panen terakhir pada Juni 2023 lalu hanya dapat 2 ton gabah. Daun padi sering tertutup jelaga. Saluran irigasi juga tertutup sedimentasi. Hama juga semakin banyak. Karena harus bagi hasil, kami sudah merugi sekarang,” katanya.
Baca juga: Rawan Pangan di Kepulauan
Menurut Nasrul, mampatnya saluran irigasi menyebabkan pembuangan air kurang lancar. ”Begitu hujan sebentar, langsung tergenang. Kalau tanaman padi masih kecil bakal mati, harus tanam ulang. Sudah tiga tahun begini terus,” katanya.
Penurunan hasil padi juga dikeluhkan Ketua Kelompok Tani Sipatuo, Desa Tondowatu, Andi Samsudin (59). ”Semua anggota kelompok tani mengeluhkan penurunan hasil sawah,” katanya.
Andi juga berasal dari Pinrang dan memiliki lahan sawah seluas 1,5 hektar. ”Saya mulai pindah ke sini tahun 1996. Dulu di sini lahan sagu. Awalnya dibuka untuk tambak dan sebagian menjadi sawah. Saya mulai bertani sejak 2007,” katanya.
Menurut Andi, selain pencemaran, penurunan produksi juga disebabkan sulitnya para petani mendapatkan pupuk.
Andi menduga, penurunan hasil padi karena lingkungan yang tercemar, selain juga aliran air yang tersendat. ”Jangankan di sawah, di rumah juga kalau ada angin dari pabrik, napas terasa sesak. Kalau hujan, atap rumah jadi hitam,” katanya.
Menurut Andi, selain pencemaran, penurunan produksi juga disebabkan sulitnya para petani mendapatkan pupuk.
”Setiap mau tanam, kami sudah mengisi RDKK (rencana definitif kebutuhan kelompok), tapi sudah tiga tahun terakhir kami tidak kebagian pupuk. Sepertinya memang kami semakin dipersulit untuk menanam padi,” katanya.
Baca juga: Jalan Panjang Mewujudkan Kemandirian Pangan
Tidak layak
Untuk mengetahui kondisi persawahan ini, kami berinisiatif mengambil sampel air dan tanah di sekitar persawahan Desa Tondowatu. Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Kendari, Yulius Barra’ Pasolon (64) membantu pengambilan sampel ini dan membawa ke laboratorium di kampusnya untuk diperiksa.
Hasil pemeriksaan menunjukkan, kadar padatan tersuspensi total (TSS) sangat tinggi, yakni mencapai 100 miligram per liter (mg/l). Sementara itu, total dissolved solid (TDS) atau jumlah zat padat terlarut pada air mencapai 412 mg/l.
Kadar TSS merupakan padatan yang terdapat pada larutan, tetapi tidak terlarut, dapat menyebabkan larutan menjadi keruh, dan tidak dapat langsung mengendap pada dasar larutan. Sementara TDS merupakan padatan yang terlarut dalam larutan, baik berupa zat organik maupun anorganik.
”Total benda terlarut ini menonjol, kemungkinan pengaruh dari aktivitas lalu lintas dan cemaran dari erosi serta run off dari tambang-tambang di sekitar persawahan,” katanya.
Menurut Yulius, secara umum kondisi lingkungan persawahan di kawasan ini bisa dianggap tidak layak lagi untuk pertanian.
Menurut Yulius, perlu analisis unsur mikro untuk mengetahui benda terlarut ini, yang diduga sebagian merupakan cemaran logam. ”Perlu dibawa ke laboratorium lain,” katanya.
Namun, menurut Yulius, secara umum kondisi lingkungan persawahan di kawasan ini bisa dianggap tidak layak lagi untuk pertanian. ”Tingkat kekeruhan airnya sangat tinggi karena banyaknya total benda terlarut, kalau untuk tambak bisa mematikan ikan-ikan. Untuk sawah masih bisa, tapi hasilnya kurang baik. Selain itu, air ini juga memicu pendangkalan saluran, persis seperti keluhan petani yang mengalami sumbatan saluran irigasi,” katanya.
Baca juga: Ke Dapur Warga untuk Merasakan Pangan Lokal
Alih fungsi lahan
Kepala Dinas Pertanian Konawe Gunawan Samad mengatakan, wilayah sekitar kawasan smelter sebelumnya merupakan salah satu dari 26 kecamatan sentra beras di Konawe. Kecamatan tersebut adalah Morosi, Kapoiala, dan Bondoala, dengan luas lahan pertanian yang berbeda-beda.
”Wilayah sawah paling luas ada di Morosi, yaitu 600 hektar, di tiga desa. Kalau di dua kecamatan lainnya sudah tidak begitu banyak karena memang ada alih fungsi lahan untuk kawasan industri. Kami juga sedang mendata jumlah pastinya,” ujar Gunawan.
Ia menambahkan, hasil panen padi di tiga kecamatan sekitar smelter telah mengalami penurunan produksi. Salah satunya adalah akibat serangan hama dan dampak kemarau panjang yang terjadi.
Terkait dengan pencemaran di kawasan industri, Gunawan mengakui, hal tersebut memang terjadi. Penyuluh di lapangan telah beberapa kali melaporkan adanya gangguan air hingga penyempitan saluran air ke sawah.
”Air yang tercemar itu tentunya akan memengaruhi hasil pertanian, termasuk juga penyempitan saluran akibat pembangunan kawasan industri. Kami juga sudah sampaikan hal ini kepada pihak teknis dan ke pihak perusahaan,” ujarnya.
Sejumlah langkah dilakukan untuk mengantisipasi berkurangnya hasil panen petani. Selain bantuan pupuk, pihaknya memberikan bantuan benih tahan hama hingga bantuan alat pertanian. Hal itu agar petani tetap bisa menanam dan menikmati hasil panen.
Ke depan, pihaknya tetap memfokuskan kegiatan ke lahan pertanian yang masih produktif di kawasan ini. Sebab, pertanian merupakan salah satu sektor utama masyarakat agar bisa mendorong sektor lain yang berkembang.
Faktanya, sawah-sawah yang dikepung tambang dan smelter nikel itu kini semakin merana. Para petani pun juga terus merugi. Tak hanya di Tondowatu, dampak pertambangan dan smelter terjadi di banyak tempat di Provinsi Sulawesi Tenggara.
Faktanya, sawah-sawah yang dikepung tambang dan smelter nikel itu kini semakin merana. Para petani pun juga terus merugi.
Di Kabupaten Kolaka, para petani juga memprotes ratusan hektar lahan sawah mereka yang rusak akibat lumpur tebal dari pertambangan nikel. Sawah yang menjadi tumpuan hidup puluhan tahun telah rusak.
Di Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan, konflik lahan antara petani dan tambang juga terjadi. Warga berupaya mempertahankan lahan perkebunan mete, cengkeh, dan kelapa mereka di tengah ekspansi tambang nikel. Meski warga telah menang terkait aturan tata ruang, penerobosan lahan terus terjadi.
Direktur Walhi Sultra Andi Rahman menyampaikan, tambang telah menggerus sektor pertanian yang merupakan tulang punggung ekonomi masyarakat. Berulang kali, dampak pertambangan begitu merusak sawah hingga tambak masyarakat.
”Selama ini kami melihat dampak negatif tambang jauh lebih besar. Satu contoh kasus di Kolaka beberapa waktu lalu, bertahun-tahun warga mengolah sawah dengan hasil yang memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, tetapi rusak seketika akibat lumpur pertambangan. Belum di wilayah lain, seperti Morosi, Kabaena, dan wilayah lainnya,” kata Andi.
Pertambangan nikel, katanya, selalu didalilkan untuk investasi dan meningkatkan ekonomi. Namun, fakta di lapangan, masyarakat di Sultra justru hanya merasakan dampak buruknya. Di sisi lain, nikel merupakan sumber daya yang terbatas dan suatu saat akan habis.
Nikel yang harusnya menyejahterakan justru membuat kemiskinan baru bagi masyarakat.
Nikel yang harusnya menyejahterakan justru membuat kemiskinan baru bagi masyarakat. ”Sultra itu dikenal Bumi Anoa, tapi kalau hewannya habis, tanamannya habis, apakah kita akan menjadi Bumi Nikel? Lalu, kalau nikel habis, kita jadi daerah apa?” tanyanya.
Yulius Pasolon mengatakan, penambangan dan industri smelter seharunya tidak mengorbankan pertanian. ”Dulu sagu-sagu ditebang untuk sawah, sekarang sawah dirusak industri. Di tengah krisis pangan seperti sekarang ini, seharusnya industri tidak boleh merusak ketahanan pangan,” katanya.
Baca juga: Candu Beras dan Mi Instan di Kepulauan
Peliputan ini didukung Rainforest Journalism Fund-Pulitzer Center