Kisah Para Perempuan Tangguh Penakluk Ombak dari Kepulauan Maluku
Di Kepulauan Maluku, banyak perempuan menembus lautan. Kemandirian diwariskan melalui lagu hingga cerita rakyat.
Oleh
Tim Kompas
·4 menit baca
Mentari Tuhumury (22) berjalan tanpa alas kaki mendekati perahunya saat matahari belum benar-benar menyinari Desa Urimessing, Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon, Maluku, Minggu (3/9/2023). Tubuhnya jadi mungil ”ditelan” perahu dengan panjang 7,5 meter. Ia menarik sendiri tali starter perahu 15 PK miliknya, hingga mesin berderu, perahu pun bergerak. Perburuan Mentari mencari ikan dimulai.
Pergelangan tangan kirinya terlihat dilapisi daun sebagai obat tradisional lantaran keseleo saat mengendarai motor. Meski linu, Mentari masih fasih mengemudi perahu.
Mentari membelah laut, menerjang ombak dengan tinggi 1,5 meter hingga bunyi benturan lambung depan perahu dengan ombak memekik. Namun, Mentari tak bergeming. ”Ini masih biasa, kemarin itu yang tinggi (ombak),” katanya santai.
Setibanya di rumpon setelah sekitar satu jam melaut, Mentari tak buang waktu. Ia langsung bermanuver dengan perahunya sambil menarik pancing ikan dekat rumpon.
Jika ikan melimpah, ia bisa membawa pulang 35 tuna kecil dan cakalang setelah melaut lebih dari 10 jam. Satu cakalang berukuran 2–5 kilogram, sedangkan tuna bisa lebih dari itu. Sebaliknya, jika kurang beruntung, ia hanya mendapatkan maksimal 15 ikan. Seekor ikan cakalang dijual Rp 70.000–Rp 80.000, sedangkan tuna kecil bisa Rp 250.000 per ekor.
Sebagai satu-satunya anak perempuan dari enam bersaudara, Mentari tak manja. Ia sudah terbiasa melaut bermil-mil jauhnya. Tubuh mungilnya pun bisa mengangkat tuna dengan berat 30 kg sendirian.
Kepiawaian Mentari melaut diajarkan ayahnya sejak usia tujuh tahun. Saat berusia 14 tahun, mahasiswa Jurusan Keperawatan di Universitas Kristen Indonesia Maluku itu sudah bisa melaut sendiri.
Meski sudah lama melaut, seperti nelayan perempuan pada umumnya, ia belum mendapatkan pengakuan sebagai nelayan. Padahal, pengakuan itu bisa membantunya mengakses asuransi nelayan hingga bantuan. Apalagi, bodi perahu yang ia andalkan telah miring. Risiko melaut pun mengintainya setiap saat melaut.
”Pernah mama bilang berhenti saja (melaut). Apalagi, saya sudah operasi usus dan payudara. Saya bilang, tidak apa, sudah terbiasa untuk mama dan papa. Saya masih mau melaut. Sampai kapan pun. Biar sudah kerja,” ujar Mentari yang beberapa jarinya terluka goresan tali pancing.
Kisah perempuan nelayan yang berani membelah lautan untuk membantu kehidupan keluarga juga dijumpai di Halmahera Tengah, Maluku Utara. Nur Tapitapi (64), di Desa Lelilef Sawai, Weda Tengah, Halteng, misalnya. Ia pun tak jarang membawa perahu hingga ke tengah Teluk Weda untuk mencari ikan.
Meski usianya tak lagi muda, ia masih lincah membawa perahu bermotor sekaligus memancing ikan di tengah ombak untuk makanan sehari-hari keluarganya.
Suami-istri nelayan
Kehidupan Nur bersama suaminya, Abdullah Ambar (65), melaut tetap bertahan meski aktivitas pertambangan nikel yang mengepung desanya berdampak negatif pada populasi ikan di teluk. Ia pun tetap melaut meski tak sedikit nelayan perempuan di desanya sudah meninggalkan laut akibat dampak dari pertambangan itu.
Selain Nur, Marsolina Kokene (50), warga desa tetangga Lelilef, yakni Gemaf, Weda Utara, juga tetap melaut. Bersama suaminya, Max Sigoro (53), mereka terbiasa melaut dengan perahu terpisah agar hasil tangkapan lebih banyak. Marsolina mendayung perahu kecilnya sekitar satu jam dari pesisir sedangkan Max bergerak lebih jauh dan lebih lama dengan perahu bermotornya.
”Sejak kawin sudah mulai bawa perahu sendiri untuk membantu ekonomi keluarga,” ungkap ibu dari dua anak ini.
Hasil melaut yang tak menentu, apalagi setelah perusahaan pertambangan beroperasi di wilayah itu, membuat Max dan Marsolina harus sama-sama menerjang ombak untuk mencari ikan. Jadi, saat Max tak dapat hasil, keluarga ini bisa berharap pada hasil tangkapan Marsolina, atau sebaliknya saat Marsolina tak berhasil menangkap ikan.
”Kami berdua harus turun ke laut agar yang penting anak-anak bisa sekolah,” tutur Marsolina. Kini, meski kedua anaknya sudah dewasa dan mandiri, ia dan Max tetap melaut demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Menurut antropolog dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ternate, Murid Tonirio, perempuan di banyak wilayah di Maluku dan Maluku Utara terkenal sebagai pekerja keras, mandiri, dan dalam keluarga, sudah biasa ikut menopang perekonomian keluarga.
Perempuan sebagai tulang punggung keluarga bahkan diwariskan ke generasi penerus melalui berbagai lagu tradisional hingga cerita rakyat.
Sebagai contoh, Nen Te Idar, cerita tentang seorang perempuan lansia yang hidup sebatang kara tetapi tak pernah mau merepotkan tetangganya. Ia mencari ikan sendiri, menanam jagung dan ubinya sendiri. Kemudian di Maluku Utara, terdapat istilah dodi au atau teman hidup. Selayaknya teman, laut maupun ladang menjadi ”area bermain” pasangan suami dan istri dengan perannya masing-masing.
”Jika suami tak kerja pun, perempuan bisa mencari sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya,” ungkap Murid.