Pinjam Perahu demi Bisa Melaut
Kekayaan laut di Papua dan Kepulauan Maluku belum mendatangkan kesejahteraan bagi nelayan setempat. Lingkaran kemiskinan yang membelit mereka begitu sulit terputus.
Air laut sedang surut saat Geradus Salay (36) terduduk lesu di sudut rumahnya di Kampung Besi Tua, Kelurahan Siwalima, Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku, Senin (25/9/2023) petang. Dengan tatapan kosong, ia memandangi 2 kilogram telur ikan terbang dari hasilnya melaut semalam. Harga jual tangkapan itu hanya Rp 200.000, yang harus dibagi lagi kepada pemilik perahu motor serta rekannya sesama nelayan.
Saat bersamaan, pikirannya masih kusut memikirkan biaya operasional melaut yang hampir Rp 1 juta, jauh di atas penghasilan mereka kali ini. Biaya operasional itu dipinjam dari pemodal. ”Jadi, ibaratnya kami masih berutang,” ujarnya.
Meski sudah 17 tahun menjadi nelayan, Geradus belum mampu membeli kapal atau setidaknya perahu motor. Perahu yang ia gunakan saat ini dengan kekuatan mesin 55 tenaga kuda (PK) dipinjam dari pemodal. Ia bekerja dengan perjanjian, hasil tangkapan dibagi dengan skema 50 persen untuk pemodal dan selebihnya dibagi rata untuk semua awak yang ikut melaut.
Banyak nelayan di Aru berburu telur ikan terbang pada Mei-Oktober. Inilah saatnya mencari uang, termasuk harus meminjam perahu orang lain. Mereka melaut sejauh 20-40 mil laut (37-74 kilometer). Mereka menggunakan cara tradisional dengan menebar rumput laut sebagai medium tempat ikan bertelur. Penghasilan per bulan Rp 2 juta.
Penghasilan Geradus bisa lebih besar jika ia memiliki perahu motor sendiri. Hasil tangkapan tak perlu dibagi dengan orang lain. Sayangnya, ia tak memiliki kemampuan finansial untuk membeli bodi perahu seharga Rp 40 juta ditambah mesin Rp 50 juta. ”Jangankan beli kapal, untuk biaya hidup sehari-hari saja pas-pasan,” katanya.
Geradus juga belum mempunyai rumah. Saat ini, ia dan keluarga menempati rumah panggung milik pemerintah desa. Kendati 15 tahun mereka tinggal tanpa membayar sewa, setiap tahun ia wajib menyiapkan dana cadangan untuk perbaikan rumah itu. Biaya perbaikan bisa mencapai Rp 1 juta, tergantung kerusakan.
Rumah panggung di atas laut rawan rusak dihantam ombak ketika musim angin barat, yakni mulai Desember hingga Maret. Apalagi, bangunan berbahan kayu dengan ukuran 7 meter x 6 meter itu sudah berusia setengah abad. Banyak bilah papan sudah keropos. Jika sedang terjadi pasang tinggi, rumah kebanjiran.
Baca juga: Ironi Kemiskinan Wilayah Pesisir yang Kaya Potensi Ekonomi Kelautan
Geradus juga tidak lepas dari jerat utang. Ketika cuaca buruk, ia beralih menjadi tukang bangunan dengan upah Rp 100.000 per hari. Namun, kesempatan itu tidak datang setiap hari. Jatah bekerja tergantung kebutuhan mandor. Adapun istrinya tidak punya pekerjaan tetap. ”Istri sesekali diminta jadi tukang urut,” ucapnya.
Berjarak sekitar 6 km dari Kampung Besi Tua, warga di sekitar Pantai Marbali di Desa Wangel, Kecamatan Pulau-Pulau Aru, cuma bisa jadi penonton di tengah masifnya penangkapan ikan di sana. Sampan mungil yang mereka miliki tak cukup tangguh untuk bersaing dengan kapal-kapal jumbo dari luar daerah.
Alhasil, banyak nelayan beralih menjadi pemburu batu karang. Mereka membongkar bongkahan batu karang di tengah laut. Karang dibawa ke darat untuk dipecah-pecah lalu dijual menjadi bahan fondasi bangunan. Selvi (38), istri nelayan, mengatakan, dalam sehari mereka menghasilkan dua karung pecahan batu karang. Setiap karungnya dijual Rp 20.000.
Deretan karung berisi batu karang berjejer di pinggir pantai yang sebagian telah terkikis abrasi. Pembongkaran karang menjadi ancaman serius bagi ekosistem laut karena karang merupakan habitat berbagai jenis ikan. ”Ini terpaksa karena kami tidak punya pilihan,” kata Selvi.
Tokoh pemuda Kabupaten Aru, Johan Djamanmona, mengatakan, besarnya potensi sumber daya laut berpeluang membuka jalan bagi masyarakat setempat untuk meningkatkan kesejahteraan hidup. Syaratnya, potensi dikelola secara berkeadilan dengan memberdayakan nelayan-nelayan lokal yang miskin.
Di luar bulan-bulan itu malah sering pulang kosong. Tidak ada yang didapat.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, tingkat kemiskinan di Kabupaten Aru pada 2020 mencapai 26,26 persen. Jumlah itu lebih tinggi dibandingkan rata-rata Provinsi Maluku sebesar 17,44 persen dan rata-rata nasional yang sebesar 10,19 persen. Hal ini menjadi ironi di tengah potensi Laut Aru yang sangat kaya. Potret kemiskinan yang terekam tiga tahun silam itu hingga kini tak banyak berubah.
Kemiskinan yang dialami nelayan kecil di sentra perikanan berlangsung turun temurun. Fahmi Sirun (25), warga Pulau Doom, Kota Sorong, Papua Barat Daya, terpaksa putus kuliah karena kesulitan orangtua untuk membiayai pendidikannya. Ia kini menjadi nelayan dengan menumpang perahu nelayan lain di kampungnya.
Hasil dari melaut sering kali tak optimal. Jika sedang ”musim panen” ikan, antara November dan Februari setiap tahunnya, dia sesekali bisa meraup hingga Rp 500.000, tetapi sering kali hanya Rp 50.000. ”Di luar bulan-bulan itu malah sering pulang kosong. Tidak ada yang didapat,” ujarnya.
Untuk menambal kebutuhan sehari-hari beserta istri dan dua anak balita, Fahmi sesekali menjadi tukang becak di Doom. Praktis, uang yang didapat itu tak bisa dipakai untuk membeli perahu. Harga satu unit perahu beserta mesin 15 PK adalah Rp 50 juta, jauh dari jangkauan penghasilan Fahmi.
Nelayan senior di Doom, Abdul Rajak Sulawesi (58), mengatakan, kesejahteraan nelayan kian tergerus mulai sekitar tahun 1990 lantaran terjadi penangkapan ikan dengan cara destruktif, seperti menggunakan bom dan racun. Bukti hancurnya habitat ikan, seperti kerusakan karang, masih terlihat hingga sekarang.
Baca juga: Masa Depan Lumbung Ikan Terancam
Kondisi itu semakin diperparah dengan banyaknya nelayan dari luar daerah yang mencari ikan di lepas pantai di sekitar Pulau Doom. Mereka datang dari berbagai tempat di Pulau Jawa dan Sulawesi dengan menggunakan alat tangkap yang bisa menangkap ikan dalam jumlah banyak. Akibatnya, kebanyakan ikan sudah habis terjaring di tengah laut, tak ada lagi yang mendekati pesisir.
Hilang di laut
Tekanan hidup yang dialami nelayan miskin ini membuat banyak dari mereka memaksakan diri melaut di tengah cuaca buruk. Asrun (36), nelayan Desa Kenari, Kecamatan Morotai Utara, Kabupaten Pulau Morotai, Maluku Utara, Kamis (31/8/2023) petang, disambut gembira keluarga dan warga setelah selamat dari amukan gelombang Samudra Pasifik yang ganas.
Sekitar enam jam melaut, Asrun seorang diri mengemudi perahu dua mesin berkekuatan 15 PK menerjang ombak tinggi Samudra Pasifik. Perahu berukuran 2 gros ton itu diisi dengan beberapa boks penyimpan ikan, jeriken bensin, serta makanan secukupnya. Tidak ada baju pelampung. Ia mencapai jarak 32 mil laut (59 km) dari pangkalan.
Memancing tuna di jarak sejauh itu sama seperti bertaruh nyawa. Padahal, kecelakaan kapal dan hilangnya nelayan asal Morotai di Samudra Pasifik sudah kerap berulang. Pada pertengahan Juli 2023, dua nelayan asal Desa Sangowo ditemukan tim Kantor Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) Ternate setelah dua hari hilang saat melaut di perairan Desa Bido, tak jauh dari tempat tinggal Asrun.
Baca juga: Tuna yang Sudah ”Mati” di Laut Kami
Akhir Agustus 2023, seorang nelayan asal Desa Pandanga juga ditemukan setelah tujuh hari hilang saat melaut di perairan Pulau Zum-Zum. Belum berhenti di situ, pada awal September 2023, dua nelayan asal Desa Loleo kembali hilang. Setelah operasi pencarian ditutup, mereka ditemukan di perairan Kepulauan Palau, utara Papua.
Kekayaan laut di perairan Papua dan Kepulauan Maluku tak berbanding lurus dengan kesejahteraan nelayan di sekitarnya. Nelayan tak punya perahu, hasil tangkapan tak cukup menutupi modal, dan mereka kerap bertaruh nyawa di tengah laut. Jerat kemiskinan membuat mereka merana meniti kehidupan. (NDU/TAM/NIA/IDO/APA/ENG/FRN)