Di tengah minimnya dukungan pemerintah, nelayan miskin yang mencari penghidupan di perairan Papua dan Kepulauan Maluku menjadikan tengkulak sebagai sandaran hidup mereka.
Oleh
Tim Kompas
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah minimnya dukungan pemerintah, nelayan miskin yang mencari penghidupan di perairan Papua dan Kepulauan Maluku menjadikan tengkulak sebagai sandaran hidup mereka. Dari tangan tengkulak, mereka mendapat bantuan modal usaha, biaya operasional melaut, hingga akses untuk menjual tangkapan.
Sebagaimana temuan Kompas selama melakukan liputan Jelajah Laut Papua Maluku sepanjang Juni hingga September 2023, hampir semua nelayan miskin mengaku bergantung pada tengkulak. Bahkan, ada yang menganggap tengkulak hadir sebagai penyelamat kehidupan keluarga mereka. Relasi bisnis itu sudah mengakar.
Ramli Jaguna (42), nelayan tuna asal Desa Sangowo, Kecamatan Morotai Timur, Kabupaten Pulau Morotai, Maluku Utara, salah satu contohnya. Sudah 15 tahun menjadi nelayan, ia masih menumpang perahu kerabatnya. Jika beruntung, ia memperoleh Rp 100.000 sekali melaut, tetapi kerap kali tak sampai separuhnya. Bahkan, tak jarang justru dia tidak menuai hasil sama sekali.
Setiap melaut, mereka harus berutang kepada tengkulak untuk membeli bahan bakar dan makanan. Utang itu dibayar ketika mereka menjual tangkapan kepada tengkulak dimaksud. Harga jual pun ditentukan tengkulak.
Ketika tidak melaut akibat cuaca buruk, mereka kembali berutang kepada tengkulak untuk kebutuhan sehari-hari. Utang mereka pun menumpuk. ”Kalau hari ini kosong, tidak dapat ikan, ya, besok masih boleh ambil balik (berutang) lagi ke bapak angkat (sebutan bagi tengkulak di Morotai). Pokoknya sampai dapat ikan, baru bayar,” kata Ramli.
Kompas menemui Kahar Lastori, salah satu dibo-dibo atau tengkulak tuna di Desa Sangowo, Kecamatan Morotai Timur. Kahar sudah delapan tahun menjadi tengkulak. Ia bekerja sama dengan PT Harta Samudera, satu-satunya perusahaan yang mengelola Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu di Pulau Morotai.
Kahar membeli ikan tuna dari nelayan dengan rata-rata harga Rp 50.000 per kilogram dan menjual ke perusahaan dengan harga Rp 55.000 per kg. Kini Kahar mengelola total 80 kapal di mana 20 unit di antaranya miliknya sendiri. Ia menjadi salah satu pengusaha sukses.
Menurut Kahar, kerja tengkulak adalah melayani. Ia melayani para nelayan dengan memberikan kebutuhan, mulai dari bahan bakar, oli, hingga uang rokok nelayan. Tujuannya agar nelayan terus menjual tuna kepada dia. Semua pengeluaran itu akan dihitung ketika nelayan menjual tangkapan.
Ketua Koperasi Nelayan Tuna Pasifik di Sangowo, Sabiin Asar, mengatakan, pendirian koperasi pada 2017 itu berangkat dari realitas bahwa banyak nelayan Morotai yang terjerat utang pada tengkulak. Koperasi ingin menggantikan peran tengkulak.
Menurut Sabiin, pinjaman dana bagi nelayan sama sekali tidak dibebani bunga seperti yang diterapkan sebagian tengkulak. Begitu pula harga beli ikan tuna dari nelayan yang mengikuti harga pasar, berbeda dengan harga dari tengkulak yang lebih murah.
Saat ini, koperasi beranggotakan 60 nelayan yang tersebar di wilayah timur Pulau Morotai. Setiap bulan, koperasi bisa menyerap sekitar 10 ton ikan tuna dengan harga Rp 40.000-Rp 50.000 per kg. Ikan tuna diolah dalam bentuk loin beku lalu dikirim ke perusahaan ikan di Ternate. Hasil penjualan mencapai Rp 5 miliar per tahun dengan pendapatan bersih Rp 500 juta.
Kendati demikian, diakui masih banyak nelayan yang tetap bergantung pada tengkulak. Pasalnya, distribusi bahan bakar ke nelayan mayoritas dikendalikan tengkulak. Tengkulak juga mempermudah urusan nelayan, seperti pengadaan perahu motor.
Kepala Dinas Perikanan Morotai Yoppy Jutan mengatakan, sebanyak 887 perahu yang dimiliki 3.743 nelayan Morotai masih berupa perahu kecil berukuran maksimal 3 gros ton. Rencana untuk pengadaan perahu motor terkendala anggaran. Alokasi anggaran untuk sektor perikanan sebesar Rp 8 miliar atau hanya 1 persen dari total APBD daerah kaya potensi laut itu.
Jeratan tengkulak juga dialami Niko Renyaan (40), nelayan dari Dobo, Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku. Niko masih memiliki utang kepada tengkulak sebesar Rp 50 juta. Utang belum bisa dibayar lantaran tangkapan sangat minim akibat cuaca buruk. Selama satu minggu melaut, ia baru mendapatkan penghasilan kurang dari Rp 1 juta.
Kalau tangkapan lebih, ya untung. Kalau kurang, tetap dianggap utang.
Niko membawa kapal milik seorang tengkulak. Dalam sistem kerja mereka, sebelum melaut, Niko diberi sejumlah uang untuk kebutuhan operasional. Uang itu oleh tengkulak dianggap sebagai utang. ”Itu tanggung jawab nakhoda. Kalau tangkapan lebih, ya untung. Kalau kurang, tetap dianggap utang,” katanya.
Akses pasar
Tak hanya modal, kemiskinan yang menjerat nelayan juga disebabkan akses pasar yang sulit. Sekretaris Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Biak Numfor, Papua, Johanis Alfred Msiren menuturkan, tangkapan nelayan setempat banyak yang tidak laku. Biak berada di bibir Samudra Pasifik, termasuk wilayah yang kaya ikan.
Harga ikan di Biak lebih murah dibandingkan dengan wilayah lain di Papua, seperti Jayapura, Yapen, dan Waropen. Bahkan, keberadaan Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu Biak dengan Integrated Cold Storage yang dikelola PT Indo Numfor Pacific tak mampu mendongkrak harga ikan.
Menurut Johanis, pembeli dari pihak perusahaan ikan swasta bisa saja semakin banyak yang masuk di Biak jika terbuka akses pengangkutan hasil laut langsung ke negara-negara tujuan ekspor. Ikan tuna, misalnya, bisa melalui jalur kapal langsung ke Jepang atau Amerika Serikat.
Khusus penerbangan langsung ini pernah ada tahun 2000. Saat itu, tuna dari Biak Numfor diekspor dalam bentuk makanan kaleng ke luar negeri oleh perusahaan dari Perancis. Perusahaan itu terbantu adanya layanan penerbangan dari Biak Numfor ke Jepang dan Amerika Serikat. (DAN/IDO/NIA/TAM/NDU/APA/ENG/FRN)