Derita Warga di Lingkar Batubara
Masyarakat di Aceh Barat menjalani kehidupan erat dengan aktivitas industri batubara. Dampak kesehatan akibat paparan debu batubara kian mengkhawatirkan warga.
Nur Nurhamidah (50) dan Abdus Samad (57), warga Desa Suak Puntong, Kecamatan Kuala Pesisir, Kabupaten Nagan Raya, Aceh,
Dampak negatif dari eksplorasi tambang dan pembakaran batubara sebagai tenaga listrik di Kabupaten Aceh Barat dan Nagan Raya, Provinsi Aceh, mulai dirasakan warga sekitar. Kesehatan warga terganggu dan laut terancam tercemar. Sudah saatnya meninggalkan energi kotor dan beralih ke energi ramah lingkungan.
Nur Nurhamidah (50) kini tidak boleh lepas dari inhaler. Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) yang dideritanya dapat kambuh kapan saja. Setiap kali kambuh, ia langsung menyemprotkan alat itu untuk membantunya bernapas lebih nyaman.
”Kalau kambuh, saya tidak bisa bernapas. Lemas. Makanya selalu saya bawa alat ini,” kata Nur memperlihatkan inhaler sewaktu ditemui di rumahnya, Desa Suak Puntong, Kecamatan Kuala Pesisir, Kabupaten Nagan Raya, Aceh, Sabtu (14/10/2023).
Nur juga menyediakan obat lain, seperti omeprazole untuk lambung dan epirosere untuk relaksasi otot. Belakangan kesehatannya kian menurun. ”Tidak bisa kerja berat, kalau capai bisa sesak,” ujar Nur.
Baca juga: Limbah Batubara Cemari Pesisir Aceh Barat
Di rumah itu, Nur tinggal bersama suaminya, Abdus Samad (57). Anak semata wayang kini merantau ke Pulau Jawa, Abdus Samad, juga mengalami gangguan pernapasan, tetapi tidak separah Nur. ”Kalau bapak (suami) sesak pakai inhaler punya saya,” kata Nur.
Nur mulai mengalami gangguan pernapasan pada 2012. Saat itu, mereka masih tinggal di dekat Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1-2 Nagan Raya. Rumahnya berjarak 30 meter dari dinding kompleks pembangkit.
Selama aktivitas pembangkitan berjalan, saban hari mereka terpapar debu batubara. Ditambah lagi, sekitar 1 kilometer dari pembangkit ada perusahaan batubara lainnya beroperasi. Nur menduga debu batubara dari kedua lokasi menyebabkan paparan debu batubara yang tinggi sehingga memicu ISPA pada dirinya.
Daripada terus terpapar debu batubara, terpaksa kami yang harus mengungsi.
PLTU 1-2 Nagan Raya terletak di Desa Suak Puntong, Kecamatan Kuala Pesisir, Kabupaten Nagan Raya. Sementara PT Mifa Bersaudara berada di Desa Peunaga Cut, Kecamatan Meureubo, Kabupaten Aceh Barat. Kedua desa itu merupakan perbatasan antara kedua kabupaten. Di Suak Puntong juga terdapat PLTU 3-4, tetapi belum operasi maksimal.
PLTU 1-2 menggunakan batubara sebagai energi pembangkit listrik. PLTU memasok batubara dari Pulau Kalimantan. Sementara PT Mifa Bersaudara menambang batubara untuk dijual ke India dan China.
Kawasan operasi PLTU 1-2 Nagan Raya dan PT Mifa Bersaudara terletak di tepi jalan nasional. Jika berdiri di jalan nasional itu, atap stockpile alias tempat penumpukan batubara akan terlihat.
Baca juga: Batubara dan Krisis Energi Dunia
Conveyor atau jalur pemindahan batubara milik kedua perusahaan membentang di atas jalan nasional. Sesekali truk perusahaan menyeberang jalan dan melintas. ”Rumah selalu berdebu. Makanan harus selalu ditutup. Kalau mau mandi, air di atas (permukaan) harus dibuang,” kata Nur.
Karena menderita diteror debu batubara Nur, Abdus Samad, dan puluhan warga di Desa Suak Puntong dan Peunaga Cut menuntut perusahaan. Warga ingin pindah dan minta perusahaan mengganti rugi lahan dan rumah. Dengan demikian, mereka dapat pindah ke lokasi lebih aman.
Meskipun besaran ganti rugi yang diperoleh tidak sesuai dengan nilai rumah, Nur akhirnya menerima. Ia pindah pada 2020. ”Daripada terus terpapar debu batubara, terpaksa kami yang harus mengungsi,” katanya.
Dari rumah lama berjarak 30 meter dari PLTU, kini tempat tinggalnya yang baru berjarak sekitar 500 meter. Dari halaman rumah, cerobong PLTU terlihat mengeluarkan asap gelap. ”Di sini pun tidak aman, debunya sampai juga ke sini,” ujar Abdus Samad, suami Nur, menunjukkan kotak televisi berselimut debu.
Meski tinggal dekat dengan aktivitas industri batubara, Nur tidak pernah mendapatkan bantuan pengobatan. Kebutuhan berobat ditanggung Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan uang sendiri. Bantuan modal usaha atau pelatihan soft skill juga tidak dia dapatkan. Mereka mengandalkan upah bulanan Abdus Samad bekerja di kantor desa serta bantuan anaknya di Pulau Jawa.
Baca juga: Terlena Batubara
Masih di Desa Suak Puntong, sekitar 300 meter dari PLTU 1-2 terdapat rumah milik Faridon (45). Sebenarnya Faridon punya dua unit rumah yang posisinya saling berhadapan, hanya dipisah oleh jalan nasional. Namun saat pembebasan lahan dan rumah, perusahaan hanya bersedia membayar ganti rugi untuk satu rumah yang dia tempati saat itu. Sementara satu unit rumah lagi yang dia sewakan tidak diganti rugi. ”Uang ganti rugi tidak sesuai dengan biaya yang kami keluarkan untuk membangun rumah itu,” kata Faridon.
Seusai menerima ganti rugi, Faridon memboyong keluarga ke rumah yang satu lagi. Meski sadar daerah yang ditempatinya rawan, dia masih menunggu pembayaran ganti rugi. ”Suami saya sakit, stroke. Uang ganti rugi telah habis untuk biaya berobat dan saya perbaiki rumah yang saya tempati sekarang,” kata Faridon.
Dulu Faridon juga mengalami ISPA. Setelah berobat rutin, sakitnya mulai pulih. Kini pintu rumah dan makanan selalu ditutup agar tidak terpapar debu batubara. ”Saya tidak tahu sampai kapan akan tinggal di sini. Mungkin sampai perusahaan bersedia memberikan ganti rugi tanah dan rumah ini,” ujar Faridon yang bekerja menjahit pakaian.
Kecamatan Kuala Pesisir, Nagan Raya, dan Kecamatan Meureubo, Aceh Barat, merupakan zona dengan risiko tinggi terpapar debu batubara. ISPA termasuk penyakit yang jamak dialami warga di dua kecamatan itu.
Data dari Puskesmas Padang Rubek/Kuala Pesisir sejak 2020 hingga 2023, terjadi sebanyak 1.806 kasus ISPA. Puskesmas tersebut tidak memiliki data di bawah tahun 2020.
Kepala Puskesmas Padang Rubek, Kiky Tri Wahyuni, tak dapat memastikan ISPA semata-mata disebabkan debu batubara. Namun, kasus ISPA tergolong tinggi di wilayah itu.
Puskesmas belum kaji mendalam faktor pemicu ISPA yang dialami warga di Kecamatan Kuala Pesisir. ”Itu perlu penelitian lebih lanjut untuk memastikan,” kata Kiky.
Baca juga: Debu Batubara Berdampak pada 11.000 Warga Marunda
Kiky jelaskan bahwa ISPA disebabkan infeksi virus pada saluran pernapasan. Debu batubara, polusi kendaraan, hingga asap dari kebakaran lahan adalah beberapa pemicu ISPA.
Di Kecamatan Meureubo, jumlah penderita ISPA sebanyak 5.707. Mayoritas anak-anak dan lansia.
Kepala Puskesmas Meureubo Erna Winta menyebut kasus ISPA yang ditangani puskesmas itu mayoritas merupakan pasien yang tinggal di dekat aktivitas batubara kedua perusahaan. ”Secara logika dan ilmu kesehatan, tidak mungkin tidak ada pengaruh debu batubara,” ujar Erna.
Erna menjelaskan, warga yang rumahnya berada di dekat aktivitas batubara berisiko besar terpapar. Menurut Erna, debu batubara sangat halus sehingga rawan terhadap gangguan pernapasan.
Hasil riset yang dilakukan oleh Enda Silvia Putri dan Susy Sriwahyuni, dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Teuku Umar, Aceh Barat, menyebut terjadi kenaikan jumlah penderita gejala ISPA setiap tahun. Kenaikan itu 1 persen setiap tahun pada dua kecamatan tersebut, sejak 2012 hingga 2020. Hasil riset Enda dan Susi disiarkan Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia (JKLI) edisi Februari 2022.
Diwawancara melalui Zoom, kepada Kompas Enda menuturkan, patut diduga paparan debu batubara dari kedua perusahaan menjadi salah satu pemicu warga mengalami gejala ISPA. Meski demikian, Enda sepakat perlu riset lebih dalam untuk mengetahui seberapa besar kontribusi debu batubara memicu ISPA.
Baca juga: Limbah Abu Batubara Mencemari Lingkungan
Enda melakukan wawancara mendalam terhadap 50 orang yang berada di zona risiko tinggi (0-20 kilometer dari perusahaan) dan 50 orang yang tinggal di zona risiko rendah (20-50 kilometer dari perusahaan). Mereka yang berada di dalam zona risiko tinggi lebih banyak mengalami gejala ISPA.
”Pengakuan warga yang saya wawancara mereka mulai mengalami gejala ISPA sejak perusahaan beroperasi,” kata Enda.
Meski berada di zona risiko tinggi, menurut Enda, sosialisasi dan kampanye bahaya debu batubara minim dilakukan, baik oleh perusahaan maupun pemerintah. ”Tidak ada warga yang mengenakan masker,” ujar Enda.
Menurut Enda, selain ISPA, paparan batubara dalam jangka waktu yang lama dapat memicu kanker. Oleh sebab itu, Enda mendorong para pihak untuk melakukan pencegahan dengan serius.
Enda berharap investasi seharusnya juga memastikan kesehatan lingkungan. ”Seharusnya perusahaan juga memasang papan indikator udara agar warga tahu bagaimana kualitas udara di tempat mereka tinggal,” kata Enda.
Ditemui terpisah, Manajer Bagian Coal & Ash Handling PLTU 1-2 Nagan Raya Azie Anhar menuturkan, operasional perusahaan mematuhi regulasi sehingga tidak mencemari lingkungan.
Azie mengatakan, debu sisa pembakaran debu batubara hanya 1-2 persen yang keluar melalui cerobong, sisanya ditangkap dan dikumpulkan untuk dijadikan bahan pembuatan paving blok. Mereka juga menanam pohon cemara di sekeliling perusahaan sebagai upaya menahan populasi ke sekitar. ”Soal debu batubara tidak lagi menjadi isu di sini,” kata Azie.
Pihaknya juga rutin mengecek kualitas udara di sekitar perusahaan. Hasilnya dalam kondisi aman.
Begitu pula Advocate dan GM External PT Mifa Bersaudara Finza Yugistira Das, dalam surat kepada Kompas menyebut perusahaan menerapkan prinsip good mining practice atau praktik penambangan yang baik.
Muslim (55), nelayan Desa Ujong Drien, Kecamatan Meureubo, Kabupaten Aceh Barat, Aceh, Minggu (15/10/2023), memperlihatkan bongkahan batubara yang tersangkut pada jarinnya saat menangkap ikan.
Baca juga: Bisnis Batubara Minim Efek Pengganda
Sementara itu, Direktur Eksekutif Aliansi Peduli Lingkungan Rahmad Syukur menuturkan dampak buruk batubara bagi kesehatan selayaknya diantisipasi. Dia pun mendorong pemerintah mempercepat proses transisi energi, yakni dari energi fosil ke energi baru terbarukan.
Tulisan pertama hasil liputan kolaborasi dengan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) dalam rangkaian fellowship ”Pentingnya Coal Phase-Out dalam Upaya Penanggulangan Krisis Iklim di Indonesia”.