Indonesia perlu mempersiapkan diri meninggalkan batubara untuk konsumsi domestik dan ekspor. Pemanfaatan energi baru terbarukan serta hilirisasi komoditas tambang terus digalakkan pemerintah.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah tengah menyusun rencana mengurangi produksi dan konsumsi batubara. Permintaan domestik dan ekspor diperkirakan akan menurun dalam beberapa tahun mendatang. Transformasi ekonomi di sekitar tambang batubara perlu diupayakan, apalagi sektor ini tak menghasilkan efek pengganda (multiplier effect)yang besar.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa memperkirakan permintaan batubara domestik akan mencapai puncaknya pada 2025-2030. Setelah itu, permintaan akan turun signifikan. Dari sisi ekspor, permintaan internasional diprediksi turun setelah 2025.
”Apabila permintaan domestik dan ekspor batubara turun, produksinya pasti turun. IESR mengestimasikan, Indonesia punya waktu 5-10 tahun untuk melakukan penyesuaian dengan transformasi ekonomi di daerah-daerah penghasil batubara,” tutur Fabby dalam seminar ”SunsetPembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan Industri Batubara: Meninjau Arah dan Dampak Multisektoral dalam Transisi Energi Berkeadilan”, di Jakarta, Rabu (27/9/2023).
Apabila permintaan domestik dan ekspor batubara turun, produksinya pasti turun. IESR mengestimasikan, Indonesia punya waktu 5-10 tahun untuk melakukan penyesuaian dengan transformasi ekonomi di daerah-daerah penghasil batubara.
Pada saat bersamaan, importir batubara Indonesia turut merencanakan transisi energi. China, misalnya, menargetkan nol emisi karbon (net zero emission)pada 2060. Konsumsi batubaranya diperkirakan turun hingga 75 persen pada 2050. Rencana serupa dicanangkan India dan Vietnam dengan target waktu yang berbeda-beda.
Analis Kebijakan Lingkungan IESR, Ilham Surya, menambahkan, hilirisasi batubara menjadi dimetil eter (DME) diharapkan hanya mengonsumsi 33 juta ton batubara pada 2050. Saat ini, bisnis hilirisasi batubara masih terbentur isu keekonomian dan lingkungan sehingga ruang gerak komoditas tambang Indonesia ini makin sempit.
Dalam penelitian IESR, batubara di daerah penghasil berkontribusi terhadap produk domestik regional bruto (PDRB). Angkanya mencapai 50 persen untuk Muara Enim di Sumatera Selatan dan 70 persen bagi Paser di Kalimantan Timur.
”(Angka itu) jumlah yang sangat banyak sebetulnya, tapi dari modelling ekonomi kami, batubara hanya memberi kompensasi sebesar 20 persen (pada masyarakat) dibandingkan 78 persen yang digunakan untuk perusahaan batubara itu sendiri,” kata Ilham.
Keberadaan mereka menghasilkan ekonomi lokal, tetapi nilai ekonominya tak signifikan.
Dampak ekonomi yang diciptakan sektor pertambangan jika dilihat dari angka penggandabukanlah yang tertinggi. Para pekerja batubara ini tak membelanjakan gajinya di kabupaten tersebut, tetapi di daerah-daerah sekitarnya. Keberadaan mereka menghasilkan ekonomi lokal, tetapi nilai ekonominya tak signifikan.
IESR merekomendasikan agar masyarakat dapat beralih ke sektor-sektor lain ketika batubara tak lagi dimanfaatkan. Sektor-sektor potensialnya berupa jasa keuangan dan pendidikan untuk masyarakat Paser. Sementara Muara Enim bisa menjajal untuk sektor jasa akomodasi serta makan-minum. Keduanya juga berpotensi bergerak di bidang manufaktur.
Efek pengganda yang tak begitu besar dialami pula Provinsi Jambi. Batubara memang penting, tetapi tak berdampak signifikan bagi kehidupan masyarakat.
Menurut Kepala Bidang Perekonomian dan Sumber Daya Alam Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Jambi Ahmad Subhan, efek domino sektor batubara di daerah tak banyak. Sebagai contoh, mulut tambang banyak bertambah di Kabupaten Batang Hari, tetapi dampak ekonominya tak begitu terasa. Sebab, perputaran keuntungan lebih banyak dirasakan para pengusaha batubara.
Oleh karena itu, upaya alternatifnya dengan pemanfaatan limbah industri kelapa sawit (palm oil mill effluent) yang bisa diubah menjadi biogas. Meski total yang dihasilkan saat ini baru 8.500 kilovolt-ampere (kVA), tetapi ini menunjukkan sebuah potensi.
Mulut tambang banyak bertambah di Kabupaten Batang Hari, tetapi dampak ekonominya tak begitu terasa. Sebab, perputaran keuntungan lebih banyak dirasakan para pengusaha batubara.
Ahmad berharap agar para pengusaha batubara bersiap transisi ke energi baru terbarukan guna mempertahankan para pekerja yang ada. Ia tak menampik bahwa keahlian pekerja yang dibutuhkan sedikit berbeda. Selain itu, perlu ada pendataan para pekerja yang terlibat dari awal mulut tambang hingga proses ekspedisi di pelabuhan. Sebab, sebagian dari mereka tak berdomisili di Jambi.
”Ini menjadi tantangan untuk identifikasi ulang. Ketika mau transisi energi dan arahnya pada sosial ekonomi, datanya harus kuat; berapa tenaga kerja yang terlibat, di sektor mana saja di sepanjang supply chain. Nanti akan terlihat pola penyerapan tenaga kerja di sana,” tutur Ahmad.
Kontroversial
Guna memitigasi penurunan produksi akibat turunnya permintaan domestik dan internasional, pemerintah memasukkan transformasi ekonomi dan transisi energi pada Rancangan Akhir Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 serta Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045.
Direktur Sumber Daya Energi, Mineral, dan Pertambangan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Nizhar Marizi menyatakan, RPJPN sudah memiliki ambisi untuk mendukung penerapan ekonomi hijau. Rencana ini jadi acuan pemerintah daerah untuk melakukan perubahan.
Berkaitan dengan batubara, hilirisasi komoditas itu masih kontroversial. Upaya ini tak murah sebab harus menggunakan teknologi tertentu.
Berkaitan dengan batubara, hilirisasi komoditas itu masih kontroversial. Upaya ini tak murah sebab harus menggunakan teknologi tertentu. Selain itu, volume hasil hilirisasi batubara untuk energi lebih rendah dari saat ini.
”(Bagian) yang sekarang kami lihat, apakah kita harus tetap menggunakan batubara atau bisa menggunakan sumber energi lain yang punya karakteristik bisa diandalkan, terutama untuk industri termal (panas), pengganti batubara,” kata Nizhar.
Seminar ”SunsetPembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan Industri Batubara: Meninjau Arah dan Dampak Multisektoral dalam Transisi Energi Berkeadilan” dihadiri pula pembicara lain. Mereka adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Haris Retno Susmiyati serta Deputi Direktur Bidang Program Indonesia Center for Environmental Law Grita Anindarini.