73 Burung Asli Papua dan Maluku Dipulangkan dari Filipina, Tanda Penyelundupan Masih Marak
Puluhan burung endemik dari timur Indonesia dipulangkan dari Filipina. Tanpa penetapan tersangka, perdagangan satwa liar masih marak.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·5 menit baca
MINAHASA UTARA, KOMPAS — Sebanyak 73 burung endemik dari timur Indonesia dipulangkan dari Filipina untuk direhabilitasi dan dilepasliarkan ke habitatnya. Repatriasi burung-burung tersebut, yang tak diikuti penetapan tersangka, membuktikan perdagangan ilegal satwa liar masih sulit dibendung.
Puluhan satwa liar itu dipulangkan dari Manila melalui Bandara Soekarno-Hatta, Banten, pada Kamis (19/10/2023), ke Manado. Tiba di Bandara Sam Ratulangi pada 13.45 Wita dengan pesawat Garuda Indonesia, hewan-hewan itu segera dibawa ke Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Tasikoki untuk pemeriksaan kesehatan dan rehabilitasi.
Dari 73 burung tersebut, 59 ekor adalah kakatua koki (Cacatua galerita) dan 11 lainnya kakatua maluku (Cacatua moluccensis). Di samping itu, ada pula kakatua raja (Probosciger aterrimus) dan seekor kasturi kepala hitam (Lorius lory). Kakatua maluku berasal dari Pulau Seram, Maluku, sedangkan yang lain dari Papua.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulut Askhari Daeng Masikki mengatakan, burung-burung tersebut disita Tim Operasi Perdagangan Gading dan Satwa Liar Filipina di kota Pasay yang terletak di selatan Manila. Akibat Covid-19, proses peradilan serta birokrasi berlangsung dua tahun sejak Juli 2021 hingga 73 burung itu diserahkan kepada Pemerintah Indonesia pada 13 Oktober 2023.
Selama itu, hewan-hewan tersebut ditampung di Taman Satwa Liar Kota Quezon di bawah pengawasan Pemerintah Filipina.
Sesampainya di PPS Tasikoki, ke-73 burung segera ditempatkan di klinik, tetapi masih dalam kandang transportasi yang mengungkung sepanjang perjalanan. Burung-burung tersebut diberi makan buah-buahan, seperti pepaya. Esok hari, dokter hewan akan memeriksa kesehatan satwa tersebut.
”Satwa ini dari Indonesia, tetapi kenapa berada di Filipina? Karena orang-orang tak bertanggung jawab memperdagangkannya secara ilegal. Penyelundupannya banyak terjadi di pelabuhan-pelabuhan kita,” kata Askhari.
Penyelundupannya banyak terjadi di pelabuhan-pelabuhan kita.
Badi’ah, Kepala Subdirektorat Pengawetan Spesies dan Genetik Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) KLHK, mengatakan, keempat jenis burung tersebut masuk dalam daftar Apendiks 1 Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Fauna dan Flora Terancam (CITES). Artinya, jumlahnya kurang dari 800 ekor di alam.
”Memang penyelundupan burung paruh bengkok dan kakatua sudah terjadi beberapa kali karena bentuknya menarik sekali sehingga demand (permintaan) internasional itu ada. Penyelundupan selalu lewat laut. Jadi, dari Maluku atau Sulawesi langsung ke Davao (Mindanao, Filipina),” katanya.
Nilai perdagangan satwa liar pun sangat fantastis. Harga seekor burung kakatua, misalnya, bisa lebih dari Rp 400 juta. ”Modusnya sering kali tidak kami sangka, diedarkan lewat kapal dengan kandang yang tidak pernah kita kira (bentuknya),” kata Badi’ah.
Untuk saat ini, ia tak dapat memastikan ada tidaknya tersangka ataupun terdakwa pedagang satwa liar tersebut di Filipina. ”Yang dari Indonesia kami malah enggak tahu karena tertangkapnya di Filipina,” ujarnya.
Rehabilitasi
Askhari menegaskan, satwa liar adalah aset negara yang harus dijaga, dipertahankan, dan diselamatkan. Karena itu, ia berharap para dokter hewan PPS Tasikoki berupaya semaksimal mungkin untuk mengembalikan sifat liar burung-burung tersebut sehingga dapat segera dilepasliarkan.
”Kalau ke Maluku, kita kembalikan ke sana, begitu pula ke Papua. Satwa ini memang bukan berasal dari Sulut. Seyogianya bisa terbang lagi di alam bebas,” katanya.
Manajer Program PPS Tasikoki Billy Lolowang mengatakan, pemeriksaan kesehatan akan berlangsung setidaknya selama dua hari ke depan. ”Kami periksa supaya kami tahu mereka sehat atau sakit. Kalau sakit, kami bisa tahu apa yang harus dilakukan. Kalau sehat, rehabilitasinya kami lanjutkan,” katanya.
Kendati begitu, ada beberapa penyakit yang masa inkubasinya bisa mencapai sebulan sehingga proses karantina masih akan berlangsung selama 30 hari ke depan. Avivah Vega Meidienna, dokter hewan PPS Tasikoki, menyebut beberapa penyakit yang menjadi perhatian, antara lain flu burung yang sangat menular.
Di samping itu, ada pula penyakit nonzoonotik, seperti penyakit paruh dan bulu psittacine (PBFD) yang dapat mengancam nyawa hewan. Pemeriksaan pun akan menyeluruh sampai ke keberadaan parasit cacing dalam feses dan kutu pada bulu.
”Memang kedengaran remeh, tapi kalau bicara populasi, kita enggak mau penyakit itu merembet ke mana-mana. Kalau sudah begitu, eradikasinya akan sulit sekali,” ujar Avivah.
Terkait durasi rehabilitasi, Billy menyebut kondisi dan perkembangan setiap individu akan berbeda. Pengalaman menunjukkan, ada burung yang bulu primernya telah dicabuti oleh pemburu dan penyelundup sehingga tak dapat terbang lagi. Ada pula yang bulunya lengkap, tetapi mengalami trauma berat sehingga tak dapat terbang lagi.
Sebelum sampai di PPS Tasikoki, repatriasi melibatkan banyak pihak. Prieska Widhi Prasetyo, Kepala Subbagian Umum Kantor Bea dan Cukai Manado, mengatakan, pihaknya membantu melancarkan proses kepabeanan selama perjalanan sehingga pemungutan bea berjalan sebagaimana mestinya.
Subkoordinator Pengawasan Penindakan Balai Karantina Indonesia Sulut drh Setyawan Pramularsih menyatakan, instansinya memeriksa fisik burung-burung untuk memastikan tak ada penyakit yang dapat mengganggu keanekaragaman hayati di dalam negeri. Ini akan diikuti oleh pengecekan kesehatan selama 21 hari ke depan.
Sementara itu, Supervisor Finance and Accounting Garuda Indonesia Kantor Cabang Manado Maria Mailani Makahakum menyebut maskapai tersebut menyediakan ruang berpendingin bagi ke-73 burung selama masa transit di Cengkareng. ”Kami betul-betul perhatikan agar kondisi burung-burung ini benar-benar baik,” katanya.
Repatriasi adalah kejadian yang lazim, termasuk di Sulut. Pada Juli 2020, sebanyak 91 satwa liar asal Maluku dan Papua, yang terdiri dari 15 jenis, dipulangkan dari Filipina dan direhabilitasi di PPS Tasikoki. Sementara itu, pada Juni 2023, satu orangutan yang direpatriasi dari Thailand dan dilepasliarkan bersama sembilan lainnya di Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya, Kalimantan Tengah.
Ke depan, pemerintah telah memperkuat perlindungan satwa liar dengan adanya Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pengarusutamaan Pelestarian Keanekaragaman Hayati dalam Pembangunan Keberlanjutan. Sebanyak 14 kementerian harus berkolaborasi dengan pemerintah daerah untuk melindungi keanekaragaman hayati negeri.