Sudah Sampai Filipina, Kakatua dan Walabi Dipulangkan melalui Bitung
Rehabilitasi satwa perlu waktu tiga bulan, kecuali yang tidak dilepasliarkan.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·5 menit baca
BITUNG, KOMPAS — Sebanyak 91 ekor satwa endemik Papua dan Maluku direpatriasi ke Tanah Air melalui Bitung, Sulawesi Utara, setelah disita dari upaya penyelundupan di Davao, Filipina. Satwa-satwa itu akan direhabilitasi lebih dulu di Pusat Penyelamatan Satwa Tasikoki di Minahasa Utara selama tiga bulan sebelum dilepasliarkan di habitat asalnya.
Satwa-satwa yang dipulangkan terdiri atas 15 jenis, meliputi walabi batu berkaki hitam (Dorcopsis hageni) dari infraclass marsupial serta bengkarung lidah biru (Tiliqua sp) dan biawak (Varanus rainerguentheri) dari kelas reptilia. Sisanya 12 jenis burung, seperti kasuari (Casuarius unappendiculatus), kakatua koki atau jambul kuning (Cacatua galerita), danrangkong papua (Rhyticeros plicatus). Selain biawak yang dari Maluku, satwa lain berasal dari Papua.
Setelah disita dari proses penyelundupan di Davao, ke-91 ekor satwa itu dipulangkan dengan kapal dan tiba di Dermaga Pelabuhan Penumpang Bitung, Kamis (30/7/2020) dini hari, setelah menempuh perjalanan tiga hari. Semua satwa dinyatakan sehat setelah menjalani pemeriksaan fisik eksterior yang dilakukan petugas Balai Karantina Pertanian.
”Menurut tampak luarnya, semua sehat karena tidak ada leleran lendir, gerakannya lincah, dan metabolisme tubuhnya bagus. Tetapi, ada satu dari 11 burung kasturi kepala hitam (Lorius lory) yang mati karena dehidrasi,” kata dokter hewan Fransisca Romana Dwi Purwaningrum dari Balai Karantina Pertanian Manado.
Di Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Tasikoki, semua satwa itu juga akan menjalani tes laboratorium dengan diambil sampel lendirnya. Fransisca mengatakan, itu untuk memastikan tidak ada infeksi di dalam tubuh satwa. Dikhawatirkan ada jenis virus atau bakteri dari Filipina.
Dokter hewan PPS Tasikoki, drh Annisa Devi, mengatakan, normalnya semua satwa itu hanya perlu direhablitisi selama satu bulan. Sebab, mayoritas yang dirawat di Tasikoki diselamatkan di dalam negeri. Namun, khusus 90 satwa ini, diperkirakan butuh setidaknya tiga bulan rehabilitasi.
”Hewan-hewan ini kasusnya sangat khusus, yaitu dikurung dan diselundupkan sampai ke negara lain. Mereka juga habis menempuh perjalanan selama tiga hari. Karena itu, perlu penyesuaian dan adaptasi yang lebih lama dengan lingkungan baru,” kata Annisa.
Nantinya, semua akan dirawat di dalam kandang besar bersama spesies sejenis lainnya demi mengembalikan sifat liarnya. Annisa mencontohkan, kakatua yang diselundupkan umumnya bisa menirukan perkataan manusia. Sifat liarnya dinilai sudah kembali jika tak lagi bisa menirukan manusia.
Kesehatan hewan-hewan juga akan terus dipantau, terutama kemampuan terbang burung-burung rangkong, nuri, dan kakatua. Burung yang tidak lagi bisa terbang akan dipisahkan dari yang bisa terbang. ”Yang tidak bisa terbang kemungkinan akan dirawat di Tasikoki selamanya, sedangkan sisanya akan dikembalikan ke habitat asalnya,” kata Annisa.
Manajer Program PPS Tasikoki Billy Lolowang mengatakan, mengembalikan satwa-satwa tersebut ke habitat asalnya bukan perkara mudah. Perlu koordinasi dengan sejumlah pihak, seperti Balai Karantina Pertanian, Balai Konservasi Sumber Daya Alam, dan sebagainya. Proses itu sering kali butuh waktu bertahun-tahun. PPS Tasikoki bahkan masih merehabilitasi 349 satwa liar sebelum kedatangan 90 ekor satwa tadi.
”Pengalaman kami yang terakhir dalam mengembalikan burung-burung asli Maluku butuh empat tahun sampai semuanya bisa dipulangkan. Ini karena pemerintah di sana khawatir akan kemungkinan flu burung,” kata Billy.
Ia pun belum bisa memastikan di mana satwa-satwa itu akan dilepasliarkan. ”Yang pasti kami akan dorong pemerintah daerah asal satwa-satwa ini untuk segera menerima dan melepasliarkannya,” ujar Billy.
Penyelundupan
Selain 91 satwa endemik Papua dan Maluku yang telah dipulangkan itu, masih ada 450 ekor satwa asli Indonesia lainnya yang telah diamankan di Filipina saat ini. Pemulangan masih tertunda proses karantina dan administratif lainnya. Sejumlah pihak, seperti Kementerian Luar Negeri sera Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), terlibat dalam repatriasi.
Direktur Jenderal Penegakkan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani mengatakan, pemerintah belum mengungkap pelaku penyelundupan 91 ekor satwa yang telah dipulangkan. Namun, ia berjanji akan mencari dan menemukan pelakunya.
Keyakinannya berdasar pada keberhasilan mengungkap sekitar 300 kasus penyelundupan dan perdagangan satwa dilindungi serta membawa pelakunya ke pengadilan. Pemerintah RI bahkan pernah mendapatkan pendampingan hukum mutual (mutual legal assistant) dengan Belanda untuk membawa pelaku penyelundupan ke Indonesia untuk mengadilinya.
”Kami punya kerja sama hingga tingkat internasional dengan Interpol dan pemerintah negara-negara lain untuk mengembalikan satwa kita. Satwa-satwa ini penting untuk menjaga ekosistem serta keanekaragaman hayati negeri kita dan membawa manfaat bagi masyarakat di sekitarnya,” kata Rasio.
Menurut Rasio, Bitung adalah salah satu gerbang perdagangan ilegal satwa liar yang dilindungi, terutama yang berasal dari wilayah timur Indonesia. Ia pun mengapresiasi ketanggapan pemerintah daerah, seperti Pemkot Bitung, yang telah memiliki tim penegakkan hukum khusus pencegahan perdagangan satwa liar yang dilindungi.
Wali Kota Bitung Maximiliaan Lomban mengatakan, tim penegak hukum tersebut telah dibentuk sejak 2019. Hingga kini belum ada jaringan sindikat pedagang satwa liar yang dibekuk oleh tim ini. ”Tetapi, kami sudah bisa mempersempit ruang gerak mereka,” kata Max.
Menurut Max, pemulangan 91 satwa ini adalah yang terbanyak di Bitung. Ia berharap warga Bitung serta pemerintah daerah asal satwa tersebut secara sadar turut melestarikan satwa endemik demi melestarikan keanekaragaman hayati lingkungan di daerah.
Sementara itu, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulut Noel Allo Layuk mengapresiasi semua pihak yang terlibat dalam pemulangan satwa tersebut. ”Kami akan terus menjaga koordinasi dengan instansi terkait, seperti Bea dan Cukai, Balai Karantina Pertanian, dan pemerintah daerah untuk mencegah perdagangan satwa liar,” katanya.