Jumlah perdagangan satwa liar secara global meningkat dalam beberapa tahun terakhir, terutama selama pandemi Covid-19 yang ditandai dengan meningkatnya jaringan daring aktivitas ilegal ini.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Kabid Humas Polda Jatim Kombes Dirmanto saat rilis tindak pidana sumber daya alam hayati dan ekosistemnya oleh Subdit IV Tipidter Ditreskrimsus di Polda Jawa Timur, Kota Surabaya, Jumat (26/8/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah perdagangan satwa liar secara global meningkat dalam beberapa tahun terakhir, terutama selama pandemi Covid-19. Hal ini ditandai dengan meningkatnya jaringan daring aktivitas ilegal ini. Tidak hanya mengancam spesies besar, seperti harimau dan gajah, tetapi perdagangan satwa ilegal ini juga mengancam berbagai spesies, seperti ikan, reptil, dan unggas.
Tren perdagangan satwa liar dan upaya untuk mengatasinya ini didiskusikan dalam Belantara Learning Series (BLS) dengan tema ”Penanganan Perdagangan Satwa Liar: Pembelajaran dari Asia Tenggara”. Diskusi diprakarsai Belantara Foundation berkolaborasi dengan Science for Endangered and Trafficked Species (Scents), Universitas Pakuan dan sejumlah kampus lain.
Kami sangat serius dan mempunyai komitmen untuk menindak pelaku kejahatan perburuan dan perdagangan satwa liar. (Rasio Ridho Sani)
”Kami berharap para peserta yang umumnya mahasiswa bisa lebih termotivasi sehingga akan muncul inspirasi yang inovatif yang dapat berkontribusi nyata untuk penanganan perdagangan satwa liar yang lebih efektif,” kata Direktur Eksekutif Belantara Foundation Dolly Priatna, Jumat (28/10/2022).
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Petugas melepasliarkan hewan landak jawa (Hystrix javanica) di kawasan Tlogo Nirmolo, Taman Nasional Gunung Merapi, Sleman, DI Yogyakarta, Selasa (23/8/2022).
Menurut dia, perdagangan satwa liar secara ilegal merupakan salah satu ancaman terhadap pelestarian keanekaragaman hayati. Dampak yang ditimbulkan dari kegiatan perdagangan satwa liar ini adalah terjadinya kelangkaan, kepunahan spesies, dan ketidakseimbangan ekosistem di habitat aslinya.
Laporan Dinarjati Eka Puspitasari dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada di jurnal Pamali (2022) menyebutkan, jumlah perdagangan satwa liar ilegal secara global telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir, terutama selama pandemi Covid-19. Hal ini diiringi dengan meningkatnya jaringan daring aktivitas ilegal ini. Perdagangan satwa liar ilegal ini tidak hanya mengancam spesies kharismatik, seperti harimau dan gajah, tetapi juga mengancam berbagai spesies, seperti ikan, reptil, dan unggas.
Pada 2014 hingga 2018 juga dilaporkan terdapat lonjakan kasus peningkatan penyitaan trenggiling hingga 10 kali lipat. Berdasarkan data World Wildlife Seizures dari United Nations Office on Drugs and Crime, tercatat 180.000 penyitaan satwa liar di 149 negara dan wilayah. Selain itu, 6.000 spesies telah diselundupkan antara tahun 1999 dan 2019 yang terdiri dari mamalia, reptil, terumbu karang, burung, dan ikan.
Kejahatan terorganisir
Direktur Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan dan Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rasio Ridho Sani, yang menjadi pembicara dalam kegiatan, mengatakan, satwa liar yang dilindungi merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang berperan penting untuk menjaga keutuhan ekosistem. Perburuan dan perdagangan ilegal satwa yang dilindungi harus dihentikan karena merugikan negara dan masyarakat.
PRESENTASI RASIO RIDHO SANI (KLHK, 2022)
Selama tahun 2015-2022 telah dilakukan 454 operasi penegakan hukum peredaran ilegal tanaman dan satwa liar di Indonesia. Sebanyak 239.793 satwa liar telah diamankan dan 16.040 bagian tubuh satwa diamankan
Menurut Rasio, selama tahun 2015-2022 telah dilakukan 454 operasi penegakan hukum peredaran ilegal tanaman dan satwa liar di Indonesia. Sebanyak 239.793 satwa liar telah diamankan dan 16.040 bagian tubuh satwa diamankan.
Rasio menambahkan, operasi siber juga telah dilakukan dan memantau 2.663 unggahan terkait perdagangan ilegal ini. Sebanyak 190 akun telah dihapus serta 222 kasus ditindaklanjuti dengan operasi dan pidana.
Sekalipun demikian, perdagangan ilegal tumbuhan dan satwa liar masih tetap marak, di antaranya, karena adanya peningkatan permintaan. Tantangan lain adalah adanya celah dalam tata kelola dan pengawasan.
Menurut dia, perburuan dan perdagangan satwa dilindungi merupakan kejahatan yang serius dan terorganisasi. Pelaku kejahatan perburuan dan perdagangan satwa liar harus dihukum seberat-beratnya agar ada efek jera.
KOMPAS/COKORDA YUDISTIRA
Kepala Bidang Humas Polda Bali Komisaris Besar Stefanus Satake Bayu Setianto (tengah) bersama Wakil Direktur Polairud Polda Bali Ajun Komisaris Besar Wahyudi Wicaksana (kiri) dan Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bali R Agus Budi Santosa (kanan) dalam jumpa pers pengungkapan kasus pengangkutan dan perniagaan satwa dilindungi di Ditpolairud Polda Bali, Kota Denpasar, Jumat (29/7/2022).
”Kami sangat serius dan mempunyai komitmen untuk menindak pelaku kejahatan perburuan dan perdagangan satwa liar. Untuk melawan kejahatan terorganisasi ini harus dilakukan bersama-sama, kami tidak bisa sendirian, perlu keterlibatan masyarakat, CSO, dan akademisi,” ujar Rasio.
Perdagangan satwa liar juga disebut membawa ancaman yang berbahaya dari segi kesehatan, yaitu terjadinya penyebaran dan penularan penyakit zoonosis ke berbagai belahan dunia. Satwa liar yang dipindahkan dari habitat alaminya ke lingkungan kita berpotensi besar membawa dan menularkan penyakit yang sebelumnya tidak terjangkau.
Tiga pilar
Pendiri Scents, Dwi Nugroho Adhiasto, mengatakan, ada tiga pilar untuk mencegah perdagangan satwa liar, yaitu deteksi, pencegahan, dan efek jera. ”Untuk melakukan ketiga pilar tersebut, banyak kegiatan atau inovasi yang bisa dilakukan bersama,” katanya.
Salah satu upaya yang dapat menurunkan laju perdagangan satwa liar adalah terjalinnya komunikasi dan kerja sama antarnegara. United Nations Convention against Transnational Organized Crime (UNTOC) telah mendorong sejumlah negara di dunia untuk mengategorikan perdagangan satwa liar ini di negaranya masing-masing.
Menurut dia, Pemerintah Indonesia telah menjalin kesepakatan global untuk mengatur dan melarang perdagangan internasional terhadap spesies yang terancam melalui ratifikasi Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) yang tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1978.