Kesulitan Mesin Perontok, Petani di Lembata Tinggalkan Budidaya Sorgum
Kesulitan mesin perontok, petani di Lembata tidak lagi melakukan budidaya sorgum. Mereka beralih menanam jagung yang lebih mudah diproses. Janji pemda beli mesin perontok hanya janji.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
LEWOLEBA, KOMPAS — Kesulitan mesin perontok, petani di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, meninggalkan kebiasaan budidaya sorgum yang sudah berlangsung hampir 10 tahun terakhir. Harga sorgum yang rendah juga membuat petani akan beralih ke tanaman jagung.
Ketua Ikatan Petani Sorgum Lembata, Petrus Daton, di Lewoleba, Jumat (13/10/2023), mengatakan, dirinya memiliki lahan sorgum seluas 4 hektar yang dikembangkan sejak 2014. Itu berawal dari informasi saudara yang pulang dari Malaysia bahwa sorgum jauh lebih sehat ketimbang beras dan jagung. Sorgum bisa mengatasi beberapa jenis penyakit karena kaya akan nutrisi.
”Informasi itu benar. Sorgum lebih sehat, apalagi dimasak mirip bubur. Beberapa keluhan penyakit, seperti darah tinggi, kolesterol, dan asam urat, hilang kalau konsumsi rutin selama 2-3 pekan. Anak-anak pun suka.Tetapi, menanam dan memproses hasil panen sorgum sangat rumit. Terutama merontokkan biji dari tangkai,” kata Petrus.
Panen sorgum perdana di Holoriang, Desa Tagawiti, Kecamatan Ile Ape, Lembata, 7 April 2022, dilakukan Gubernur NTT. Total luas sorgum saat itu sekitar 100 ha atau 86 bidang lahan sorgum milik petani yang tersebar di enam kecamatan di Lembata.
Keluhan petani soal kesulitan mesin perontok itu disampaikan ke pemerintah provinsi saat dialog dengan petani. Pemprov saat itu menjanjikan 10 mesin perontok.Pertimbangan pemprov, dengan bantuan mesin itu, petani semakin terdorong membudidaya sorgum. Satu hektar sorgum menghasilkan 7-8 ton.
”Waktu itu saya minta satu unit saja. Pemprov janji 10 unit. Semua petani yang hadir tepuk tangan gembira. Bakal mendapatkan mesin. Tetapi, sampai hari ini tidak satu pun terealisasi,” kata Petrus.
Seusai pertemuan, ada staf pemprov menghubungi Petrus Daton agar segera mengajukan proposal. Proposal itu kemudian dikirim melalui Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Lembata. Bahkan, kelompok tani sorgum di tiap-tiap kecamatan kemudian menyusun dan mengirim proposalyang sama.
Harga satu mesin perontok bervariasi, yakni Rp 8 juta-Rp 15 juta per unit.Mereka butuh sembilan unit saja cukup, sesuai jumlah kecamatan yang ada. Tiap-tiap kecamatan satu unit. Mesin itu digunakan secara bergilir oleh petani setempat.
Janji tak terealisasi. Sorgum yang sempat booming di Lembata pada 2017-2022 akhirnya ditinggalkan petani. Kesulitan mesin perontok menjadi masalah utama, di samping harga sorgum hanya Rp 7.000 per kg. Padahal, tingkat penanaman sampai proses menjadi biji siap tanak sangat sulit karena dikerjakan secara manual. Sementara harga beras di pasar Rp 13.000–Rp 17.000 per kg dan jagung pipil Rp 7.000 per kg. Sedangkan padi sulit tumbuh di Lembata.
”Jagung bisa tumbuh di seluruh wilayah NTT, baik di pesisir maupun pegunungan. Kini, semua kelompok tani di Lembata fokus menanam jagung. Lebih mudah tumbuh di lahan kering dan gampang diproses menjadi makanan,” kata Petrus.
Hanya saja jagung tidak mampu bertahan hidup di tengah kekeringan selama 5-14 hari berturut-turut kecuali sorgum. Tiap-tiap tanaman punya kelebihan dan kelemahan. Untuk wilayah Lembata, sorgum sangat cocok. Masa panen sorgum 2-3 bulan, sama seperti jagung.
Anggota DPRD NTT daerah pemilihan Lembata, Flores Timur, dan Alor, Viktor Mado, mengatakan, kebanyakan petani NTT belum mandiri secara finansial. Mereka masih butuh dukungan pemerintah, terutama peralatan kerja, bibit, benih, dan pupuk.
Mengelola sorgum seusai panen tidak mudah. Untuk memisahkan biji sorgum dari tangkainya butuh mesin perontok. Sedangkan jika sorgum dirontokkan menggunakan tangan saja sangat sulit. Satu bulir sorgum dirontokkan dengan tangan selama 20 menit.
”Kesulitan kita di NTT lebih suka berbicara ketimbang bertindak. Yang penting bicara dulu. Soal realisasi dari pembicaraan itu urusan kemudian. Karena itu, hampir semua program yang digagas pemda dan DPRD tidak teralisasi. DPRD punya kemampuan hanya mengawasi atau mengontrol. Pemda yang mengeksekusi di lapangan,” kata Mado.
Mado pun mengakui, tahun 2022, Pemprov sempat mengumumkan bahwa pemerintah pusat menetapkan NTT sebagai penyedia bibit sorgum nasional. Direncanakan ratusan hektar sorgum dikembangbiakkan di NTT. Namun, semua itu belum terealisasi sampai hari ini.
Kadis Pertanian dan Ketahanan Pangan NTT Lecky Fredrik Koli mengatakan, pihaknya belum mengetahui adanya janji bantuan kepada para petani sorgum di Lembata tersebut. ”Saya cek dulu ya. Kalau ada janji seperti itu, saya beri tahu,” katanya.