Provinsi NTT memiliki lahan untuk sorgum sangat potensial, tetapi terabaikan. Gagal panen setiap tahun dari padi dan jagung tidak mendorong pemerintah beralih ke sorgum.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·6 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki potensi besar lahan sorgum di daerah pesisir, tetapi belum dimanfaatkan. Pemerintah memilih fokus pada budidaya padi dan jagung yang sangat bergantung pada curah hujan.
Dekan Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana Kupang Damianus Adar di Kupang, Rabu (10/8/2022), mengatakan, NTT dengan pertanian lahan kering sebenarnya memiliki potensi sorgum yang luar biasa, terutama di wilayah pesisir. ”Sorgum cocok hidup di lahan kering dan jarang hujan. Mestinya pemerintah fokus juga pada komoditas ini, tetapi diabaikan begitu saja. Kebijakan nasional soal pangan, sorgum tidak masuk kecuali padi dan jagung,” kata Damianus.
Sorgum memiliki kandungan hampir sama dengan gandum. Sebelum beras merambat sampai ke desa-desa di NTT, 1990-an, petani lebih awal mengenal sorgum dengan sebutan dalam bahasa daerah yang berbeda.
Di Flores dan Lembata ada sejumlah LSM, lembaga agama, dan petani sedang mengembangkan sorgum secara terbatas. Belum semua petani terlibat dalam budidaya sorgum karena keterbatasan bibit, pemasaran yang belum jelas, dan peralatan yang terbatas.
Saatnya pemerintah menyediakan benih sorgum bagi petani yang membutuhkan. Petani sudah berpikir semikomersial untuk sorgum karena itu juga perlu disiapkan pasar dengan harga yang wajar. Alat perontok bulir sorgum, sosoh, dan alat pendukung lain pun harus dibantu sehingga petani makin banyak terlibat budidaya sorgum.
Petani sorgum di Desa Muda Wuok, Kecamatan Nubatukan, Lembata, Petrus Daton, mengatakan, dirinya memiliki lahan 2 hektar (ha). Panen perdana, April 2022 sebanyak 2,5 ton oleh Gubernur Laiskodat. Jumlah produksi ini sama dengan tahun 2021. Produksi kedua diprediksi akhir Agustus 2022 dan target produksi ketiga November 2022. Sorgum dipanen setiap tiga bulan sekali.
”Sejak 2017 sebagian hasil produksi dijual di pasar dengan harga Rp 7.000 per kg, tetapi terlalu murah sehingga panen perdana tahun ini saya putuskan tidak jual lagi, hanya untuk konsumsi. Sorgum punya banyak manfaat dibandingkan beras. Tetapi harga beras Rp 13.000-Rp 14.000 per kg, setara dengan harga 2 kg sorgum. Kami tujuh orang dalam keluarga putuskan konsumsi sorgum saja,” kata Daton.
Sorgum pun biasa dicampur dengan kacang ijo dan jagung beras. Anak-anak bahkan menyukai jenis pangan ini. ”Sejak tujuh tahun lalu, anak-anak konsumsi sorgum, dan kasus stunting (tengkes) tidak ditemukan pada anak-anak lagi di desa ini,” katanya.
Daton berminat budidaya sorgum karena diyakini dapat mengatasi masalah kolesterol, diabetes, tengkes, dan gangguan pencernaan. Hampir semua petani di Lembata yang menanam sorgum terdorong oleh manfaat tersebut, selain memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Mereka mengaku jauh lebih sehat konsumsi sorgum ketimbang beras.
Semua petani di Lembata datang belajar budidaya sorgum bersama kelompok tani Muda Wuok yang dipimpin Daton. Desa Muda Wuok pun terkenal sebagai desa sorgum. Hampir semua petani di desa itu terlibat menanam sorgum.
”Saat panen perdana oleh gubernur, saya minta mesin perontok dan mesin sosoh. Beberapa hari kemudian, ada tim dari provinsi datang minta buat proposal ulang, sesuai arahan mereka. Tetapi sampai hari ini belumada tanda-tanda. Kalau ada mesin bagi kelompok tani ini, setiap petani pasti perluas lahan sorgum. Jumlah kelompok tani kami sebanyak 17 orang,” kata warga Adonara ini.
Pengurus Koperasi ”Likotuden” Desa Kawalelelo, Kecamatan Demon Pagong, Flores Timur, Bonifasius Sogen, mengatakan, koperasi beranggotakan 46 orang itu adalah petani sorgum. Syarat keanggotaan koperasi ini adalah setiap petani harus memiliki lahan untuk sorgum lebih dari 1 ha dan bersedia budidaya sorgum di atas lahan itu. ”Kalau dia tanam padi atau jagung kami tolak dan coret keanggotaannya. Koperasi ini hanya fokus pada jual-beli sorgum,” kata mantan ketua koperasi Likotuden (2019-2022) ini.
Koperasi ini melakukan kerja sama operasional dengan Dinas Perdagangan Flores Timur dengan menggelar beberapa pasar murah khusus beras sorgum dan sereal sorgum. Sorgum dijual dengan harga Rp 25.000 per kg, tetapi disubsidi Rp 10.000 per kg sehingga harga jual di pasar menjadi lebih murah, yakni Rp 15.000 per kg.
Bibit sorgum juga diadakan koperasi dan dibagikan kepada petani yang juga anggota koperasi. Setiap 1 ha lahan membutuhkan 5 kg bibit sorgum. Bibit bersertifikat ini dibeli dari Balai Besar Litbang Kementerian Pertanian di Maros, Sulawesi Selatan. Luas lahan milik 46 anggota koperasi itu mencapai 50 ha. Bahkan, ada anggota koperasi yang memiliki 2 ha lahan.
”Panen perdana tahun ini, koperasi membeli 32 ton. Koperasi tidak membeli semua. Sesuai ketentuan, 40 persen untuk konsumsi dan 60 persen dibeli koperasi. Koperasi membeli dari anggota dengan harga Rp 9.000 per kg untuk sorgum beras, dijual di pasar Rp 20.000 per kg,” kata Sogen.
Koperasi ini juga sebagai koperasi simpan pinjam. Petani yang sakit atau kesulitan keuangan untuk biaya pendidikan anak sekolah bisa meminjam dari koperasi. Setiap bulan anggota boleh melakukan transaksi simpan pinjam, dilanjutkan dengan evaluasi bersama.
Target ke depan ialah ekstensifikasi lahan sorgum. Tidak hanya di daratan Flores Timur, tetapi juga di Adonara, Solor, dan Kabupaten Lembata. ”Kami sedang menjajaki pengembangan sorgum di wilayah pesisir Kabupaten Ende. Kabupaten Sikka sulit dikembangkan karena kondisi lahan di pesisir berupa gunung dan bukit,” kata Sogen.
Total lahan sorgum di Lembata dan Flores Timur diprediksi 150 ha, dengan produksi rata-rata pada panen perdana 150 ton. Jika tiga kali panen dalam setahun, produksi sorgum mencapai 450 ton.
Selama ini, budidaya padi dan jagung di NTT selalu gagal panen setiap tahun. Saatnya pemda beralih pada budidaya sorgum. Ini sesuai dengan karakter iklim di NTT. ”Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Malaka, Belu, dan Kabupaten Kupang cocok dengan tanaman sorgum, demikian pula empat kabupaten di Pulau Sumba. Tinggal kemauan baik dan tekat dari pengambil kebijakan saja,” katanya.
Bupati LembataThomas Ola Langoday (2017-2022) mengatakan, dirinya telah memasukkan sorgum sebagai salah satu program unggulan dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Lembata 2022-2027. ”Tetapi realisasi dari RPJM itu sangat tergantung dari siapa bupati yang terpilih 2024 nanti,” katasalah satu bakal calon bupati Lembata ini.
Kepala Dinas Pertanian NTT Lucky Koly yang sedang mendampingi kunjungan kerja Gubernur Laiskodat ke daratan Timor mengatakan, tahun ini akan dikembangkan 32.000 ha lahan sorgum di lahan marjinal, seperti Flores Timur, Lembata, dan Alor. Selain itu, pengembangan juga dilakukan di Kabupaten Rote, Sumba Timur, dan lahan-lahan marjinal lain, yakni lahan dengan kondisi air yang terbatas.
”Tahun 2023 dilanjutkan dengan 15.000 ha lagi di wilayah yang sama. Ini, sesuai arahan Presiden melalui bapak gubernur agar sorgum lebih diprioritaskan di NTT, menyusul harga sorgum yang melonjak dan impor gandum dari luar makin sulit, terkait perang Rusia dengan Ukraina. NTT dinilai cocok untuk budidaya sorgum,” katanya.