Hadapi Ancaman Krisis Pangan, Sorgum Bisa Jadi Alternatif
Selain sorgum, pangan lokal lain, seperti jagung dan sagu, bisa menjawab peringatan yang sudah disampaikan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) dan PBB mengenai krisis pangan.
Oleh
NINA SUSILO, FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
AGUS SUPARTO
Presiden Joko Widodo saat meninjau lahan pertanian sorgum di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, Kamis (2/6/2022).
WAINGAPU,KOMPAS — Indonesia perlu bersiap menghadapi krisis pangan. Sorgum akan menjadi salah satu alternatif pangan yang bisa dikembangkan di Nusa Tenggara Timur.
Presiden Joko Widodo saat meninjau lahan pertanian dan pabrik pengolahan hasil panen tanaman sorgum Laipori milik PT Sorgum Indonesia di Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, Kamis (2/6/2022), meminta agar Indonesia tidak hanya bergantung pada beras sebagai sumber pangan. Karena itu, berbagai alternatif sumber pangan harus mulai dikembangkan.
”Kita ingin banyak alternatif yang bisa kita kerjakan di negara kita, diversifikasi pangan, supaya bahan pangan tidak hanya tergantung beras,” ujarnya.
Dalam peninjauan lahan pertanian sorgum itu, Presiden yang didampingi Nyonya Iriana juga sempat mencoba menanam benih sorgum menggunakan alat semiotomatis. Adapun di pabrik, sorgum diolah menjadi produk pangan yang siap didistribusikan.
Presiden Joko Widodo didampingi Nyonya Iriana meninjau ladang sorgum di Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, Kamis (2/6/2022).
Presiden menyampaikan, Indonesia juga memiliki jagung, sagu, dan sorgum yang sudah lama ditanam, bahkan dikonsumsi. Tanaman pangan ini pun dinilai bisa menjawab peringatan yang sudah disampaikan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) dan PBB mengenai krisis pangan.
Ancaman krisis pangan ini sudah terasa dengan mulai naiknya harga pangan dunia.
Pengembangan sorgum dan sumber pangan lain harus disiapkan dalam rencana besar Indonesia menghadapi ancaman krisis pangan.
AGUS SUPARTO
Presiden Joko Widodo meninjau ladang sorgum di Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, Kamis (2/6/2022).
Penanaman sorgum di lahan seluas 60 hektar dinilai sangat baik. Nilai keekonomiannya juga baik. Banyak tenaga kerja bisa diserap. Setiap hektar lahan bisa menghasilkan sekitar 5 ton sorgum. Dalam setahun, setiap hektar menghasilkan sekitar Rp 50 juta atau lebih dari Rp 4 juta per bulan.
Karena itu, Presiden Joko Widodo meminta Gubernur NTT Viktor Laiskodat dan Bupati Sumba Timur Khristofel Praing memastikan luas lahan yang bisa digunakan untuk menanam sorgum.
Adapun kendala yang dihadapi sudah mulai diidentifikasi dan akan diatasi. Harapannya, ke depan Indonesia tidak melulu bergantung pada gandum dan jagung impor. Alternatif pangan Indonesia pun tersedia.
Perkuat pangan lokal
Sorgum sesungguhnya bukan produk pangan baru untuk masyarakat setempat. Abner Prailiu (45), petani asal Sumba Timur, menuturkan, daerah yang dikunjungi Presiden itu dulu pernah ditanami sorgum. Namun, gerakan penanaman beras yang gencar pada era Orde Baru membuat petani beralih meninggalkan sorgum dan fokus pada padi dan jagung.
AGUS SUPARTO
Presiden Joko Widodo meninjau pabrik pengolahan sorgum Laipori milik PT Sorgum Indonesia di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, Kamis (2/6/2022).
Meski demikian, pengolahan padi dan jagung di daerah itu tidak memberikan hasil produksi maksimal. Iklim di sana tidak cocok untuk padi dan jagung mengingat kurangnya hari hujan dalam setahun. Ini belum termasuk serangan hama belalang yang mengincar padi dan jagung.
Catatan Kompas, hingga Februari 2022, seluas 3.970,67 hektar padi dan jagung di Pulau Sumba ludes dimakan belalang kembara. Areal dimaksud untuk musim tanam 2021/2022.
”Kalau sorgum, belalang tidak makan bijinya, hanya jagung dan padi. Pada saat serangan hama belalang, banyak sorgum selamat,” kata Abner.
Vinsen Kia Beda, pemerhati masalah pangan di NTT, berpendapat, NTT seharusnya tidak kekurangan pangan. Selain sorgum, ada jagung, pisang, dan umbi-umbian. Pangan lokal dimaksud memiliki nilai gizi yang tidak kalah jika dibandingkan dengan beras yang menjadi pangan strategis di Indonesia.
”Hanya, memang otak kita sudah dijajah bahwa makanan bergizi itu nasi. Makanya, kita mulai tinggalkan pangan lokal. Pola pikir ini yang harus diluruskan terlebih dahulu. Dimulai dari pemerintah daerah hingga masyarakat, dilakukan gerakan kembali mencintai pangan lokal,” katanya.
Ia mencontohkan, di banyak daerah, warga menjual pisang, ubi, telur ayam kampung, dan ayam kampung, kemudian uang hasil penjualan dipakai untuk membeli beras. Bahkan, ada juga yang dipakai untuk membeli mi instan. ”Menganggap makanan lokal itu sebagai makanan kelas dua,” ujarnya.
Menurut Vinsen, kehadiran Presiden Jokowi dalam acara tanam dan panen sorgum di Sumba Timur itu merupakan bentuk dukungan terhadap pengembangan pangan lokal di NTT. Presiden juga memberi pesan betapa pentingnya pangembangan pangan lokal dalam menghadapi ancaman krisis pangan global yang kini sudah terjadi di beberapa negara di Afrika.
Bagi pemerintah di daerah, lanjut Vinsen, langkah konkret yang harus dilakukan adalah membiasakan konsumsi pangan lokal pada acara pemerintahan. Untuk masyarakat, diperlukan peran tokoh agama lewat seruan moral. Beberapa gereja di NTT sudah memulai gerakan tersebut.