Tips Mengasuh Anak di Tengah Darurat Perkawinan Anak
Di tengah darurat perkawinan anak, pengasuhan anak menjadi penting. Orangtua harus terbuka dengan anak untuk edukasi pacaran, pernikahan, berteman, hingga topik yang kadang dianggap tabu, seperti seks dan reproduksi.
Oleh
NIKSON SINAGA
·5 menit baca
Pengasuhan anak sangat penting untuk mencegah perkawinan anak yang angkanya tinggi di Indonesia. Orangtua harus lebih terbuka dan dekat dengan anak agar bisa melakukan edukasi tentang pacaran, pernikahan, berteman, hingga topik yang kadang dianggap tabu, yakni pendidikan seksual dan reproduksi.
Dalam memperingati Hari Anak Perempuan Internasional yang jatuh pada 11 Oktober, Kompas mewawancarai psikolog dari Asosiasi Psikolog Sekolah Indonesia (APSI) Sumatera Utara, Mestika Retina Tampubolon, di Medan, Kamis (12/10/2023). Mestika berbagi tips bagaimana orangtua dapat melakukan parenting atau pengasuhan untuk mencegah perkawinan di usia anak.
Pertama, orangtua harus memahami dulu faktor perkawinan anak. Di daerah perkotaan, penyebab utamanya adalah anak hamil terlebih dahulu.
”Di perdesaan, faktor terbesar justru desakan orangtua akibat kondisi ekonomi keluarga, perjodohan, anak sudah akil balig, dan faktor budaya setempat,” kata Mestika.
Orangtua juga harus memahami akibat dari perkawinan anak, yakni rentan menyebabkan kemiskinan, kekerasan, perceraian, putus sekolah, hingga meningkatkan risiko anak tengkes dan kanker serviks. Anak perempuan menjadi kelompok paling rentan.
Karena itu, peran orangtua sangat sentral dalam mencegah perkawinan anak. Apalagi, tidak banyak sekolah yang memberikan pendidikan menyangkut perkawinan anak ini.
Menurut Mestika, pernikahan seharusnya dilakukan jika usia pengantin laki-laki dan perempuan minimal 20 tahun, saat organ reproduksi mulai matang. Meski demikian, dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan disebut usia minimal pengantin adalah 19 tahun.
Edukasi pacaran
Saat anak memasuki usia remaja, orangtua harus mengedukasi anak tentang pacaran yang baik bagi remaja. ”Kita tidak bisa lagi bilang, ’Nak, kamu enggak boleh pacaran.’ Kalau kita bilang begitu, dia justru menjalin hubungan backstreet (pacaran diam-diam),” kata Mestika.
Pacaran diam-diam ini justru tidak baik bagi anak karena orangtua tidak bisa mengawasinya. Anak remaja bisa diizinkan pacaran, tetapi dengan edukasi tentang batasan-batasan. Anak bisa diberi pemahaman tentang apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan saat berpacaran. Anak juga dibiasakan berpakaian sopan.
”Kalau pacaran remaja batasannya misalnya pegangan tangan. Kalau laki-laki sudah mulai tangannya ke mana-mana, harus ditepis. Kalau ketemu pacar juga harus di rumah atau tempat lain yang bisa dipantau orang dewasa,” kata Mestika.
Anak juga harus diberi edukasi bahwa hubungan seksual bisa menyebabkan kehamilan. Konsekuensinya juga harus dijelaskan, yakni pernikahan dini, anak putus sekolah, menjadi istri, dan menjadi orangtua yang bertanggung jawab mengasuh anak. Dia juga akan rentan terkena kanker serviks dan penyakit lain karena organ reproduksi yang belum matang dipaksa untuk dibuahi.
”Perkawinan anak adalah tekanan yang sangat besar bagi anak, baik secara mental maupun fisik. Dia masih usia anak, tetapi harus mengurus anak,” katanya.
Orangtua bisa membuat kesepakatan tertulis dengan anak tentang apa yang bisa dan tidak bisa diakses di gawai.
Persoalan di desa, lanjut Mestika, bisa jadi lebih rumit karena orangtua juga masih perlu edukasi dan sosialisasi yang lebih mendasar. Banyak orangtua belum mengetahui dampak dari perkawinan anak.
”Ketika anaknya dilamar lelaki mapan, orangtua langsung merestuinya, padahal masih remaja. Banyak kasus seperti ini karena didorong faktor kesulitan ekonomi keluarga,” ujarnya.
Di zaman digital sekarang, tanggung jawab orangtua dalam mengawasi pergaulan anak lebih rumit. Pergaulan bebas tidak hanya terjadi dalam pertemuan langsung. Komunikasi yang lebih terbuka dan vulgar di media sosial atau multimedia lainnya juga harus dikontrol. Jika tidak, hubungan dan komunikasi di media sosial bisa berujung pada pergaulan bebas.
”Orangtua bisa membuat kesepakatan tertulis dengan anak tentang apa yang bisa dan tidak bisa diakses di gawai. Selain itu, bisa juga diatur jadwal anak dalam menggunakan gawai. Kalau melanggar bisa diberikan hukuman,” tutur Mestika.
Di zaman digital sekarang ini, imbuhnya, orangtua tentu tidak bisa melarang anak menggunakan gawai. Yang perlu adalah mengatur dan membatasi.
Perkawinan anak tinggi
Koordinator Konsorsium Perempuan Sumatera Mampu (Permampu) Dina Lumbantobing mengatakan, angka perkawinan anak di Indonesia masih cukup tinggi. Mengutip data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, perkawinan anak mencapai 11,21 persen pada tahun 2017 dan hanya turun sangat sedikit menjadi 10,82 persen pada tahun 2019.
Menurut data Komisi Nasional Perempuan, jumlah perkawinan anak pada 2019 mencapai 23.126 kasus. ”Di tahun 2020, saat puncak pandemi Covid-19, kasus perkawinan anak justru meningkat dua kali lipat menjadi 64.211 kasus,” kata Dina.
Perkawinan anak di daerah juga cukup tinggi. Di Aceh, misalnya, perkawinan anak meningkat lebih dari tiga kali lipat saat pandemi Covid-19.
”Pada 2019 ada 198 orang yang mengajukan dispensasi perkawinan anak. Angka ini meningkat menjadi 640 orang pada 2020,” kata Direktur Flower Aceh Riris Okinawa, mengutip data Mahkamah Syariah Aceh.
Komitmen penghapusan dan pencegahan perkawinan anak sebenarnya sudah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan. UU ini merupakan perubahan atas UU No 1/1974 tentang Perkawinan. Perubahan mendasarnya adalah usia perkawinan menjadi minimal 19 tahun untuk perempuan dan laki-laki.
Sebelumnya, dalam UU No 1/1974, batas usia minimal perkawinan untuk perempuan 16 tahun dan laki-laki 19 tahun. UU ini dinilai diskriminatif pada perempuan dan menjadikan perempuan sebagai korban yang paling rentan pada kasus perkawinan anak.
Meski demikian, sosialisasi UU No 16/2019 dinilai masih sangat minim. Lembaga-lembaga agama bahkan banyak yang belum mengetahui usia perkawinan minimal 19 tahun. Banyak juga orangtua yang tidak mengetahui usia minimal perkawinan ini.
Dalam siaran pers Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Direktur Pembinaan Administrasi Peradilan Agama Mahkamah Agung Nur Djannah Syaf mengatakan, kasus perkawinan anak sudah sangat darurat dan mendesak untuk ditangani. Cinta kepada pasangan, desakan orangtua, dan hamil terlebih dahulu menjadi faktor terbesar permohonan dispensasi perkawinan anak.
”Di tahun 2022, secara nasional ada sekitar 52.000 perkara dispensasi perkawinan yang masuk ke peradilan agama. Sebanyak 34.000 di antaranya didorong faktor cinta sehingga orangtua meminta ke pengadilan agar anak mereka segera dinikahkan,” kata Nur.
Lalu, 13.547 pemohon lainnya mengajukan dispensasi perkawinan anak karena sudah hamil terlebih dahulu dan 1.132 pemohon mengaku anaknya sudah melakukan hubungan intim. Faktor lain adalah alasan ekonomi, perjodohan, dan anak sudah akil balig.