Ombudsman Perwakilan Kepri menyatakan lebih dari 70 persen warga di lima kampung tua menolak penggusuran terkait proyek Rempang Eco City. Pemerintah yang menyatakan mayoritas warga setuju direlokasi didesak membuka data.
Oleh
PANDU WIYOGA
·5 menit baca
BATAM, KOMPAS — Mayoritas warga di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, menolak digusur. Ombudsman Perwakilan Kepri menyatakan lebih dari 70 persen warga di lima kampung tua menolak digeser ke kampung lain untuk pembangunan tahap I Rempang Eco City. Pemerintah didesak memberikan data secara transparan.
Salah satu warga, Yuni Sara (43), Kamis (5/10/2023), mengatakan, dirinya merasa tertekan dengan kehadiran tim terpadu yang setiap hari meminta persetujuan warga untuk direlokasi. Dia tinggal di Kampung Pasir Merah yang merupakan salah satu dari lima kampung tua yang akan digusur pemerintah untuk tahap I pembangunan Rempang Eco City.
”Saya tertekan sampai tensi naik dan jadi sering lupa. Sembahyang saja kadang sampai lupa baca Al Fatihah. Emang tega betul pemerintah, kejam sama rakyat kecil. Padahal, tangan ini yang dulu nyoblos mereka,” kata Yuni.
Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City bakal dibangun di lahan seluas 7.572 hektar di Pulau Rempang dengan nilai investasi ratusan triliun rupiah. Nota kesepahaman itu ditandatangani Badan Pengusahaan (BP) Batam, Pemerintah Kota Batam, dan PT Makmur Elok Graha (MEG) pada 2004.
Pada tahap I akan dibangun kawasan industri terintegrasi di lahan 2.300 hektar. Lima kampung tua yang terdampak pembangunan tahap I adalah Pasir Merah, Belongkeng, Pasir Panjang, Sembulang Tanjung, dan Sembulang Hulu.
Yuni menuturkan, keresahan akibat rencana penggusuran lima kampung itu juga dirasakan anak-anak. Para ibu di kampung-kampung sering bercerita anak mereka sulit belajar karena ketakutan.
”Kata budak (anak-anak) tu, 'Kami ini pening kampung kami nak digusur'. Anak-anak umur SD gitu aja tertekan, apalagi kami yang tua-tua ini,” ujar Yuni.
Ia menambahkan, warga juga masih trauma akibat aksi aparat gabungan yang memaksa masuk kampung pada 7 September lalu. Saat ini, warga menjadi tertutup dan mudah curiga apabila ada orang-orang asing lalu-lalang di kampung mereka.
”Aparat harusnya melindungi rakyat kecil, tetapi kenapa mereka sekarang menjajah kami. Padahal, kami ini seperti semut, engkau pukul dengan lidi aja kami sudah tercampak, apalagi dengan senjata. Lebih baik engkau bom saja pulau ini biar kosong,” ucap Yuni.
Warga Pasir Panjang, Didi (54), menambahkan, sudah dua bulan dirinya tidak melaut karena khawatir terhadap rencana penggusuran. Ia menegaskan tidak akan mundur sejengkal pun dan mati-matian tetap menolak rencana penggusuran.
”Walaupun begini kehidupan kami, kami belum pernah payah beli beras. Gara-gara ini (rencana penggusuran) sekarang kami jadi tak bisa cari beras,” kata Didi.
Adapun warga lain di Pasir Panjang, Ishak (57), menambahkan, tidak benar yang diceritakan pemerintah soal mayoritas warga sudah bersedia direlokasi. Ia menyebut, yang menyatakan bersedia direlokasi hanya warga yang bekerja di pemerintahan.
Ishak menyesalkan langkah pemerintah yang terburu-buru meminta warga untuk meninggalkan kampung, padahal pembangunan perumahan relokasi belum dimulai. Hal itu akhirnya menimbulkan konflik horizontal antarwarga.
”Ini justru buat situasi kampung tambah ruwet. Yang menolak relokasi dibilang provokator, yang menerima disebut penghianat,” ujar Ishak.
Buka data
Pada 6 Oktober, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia meninjau lokasi yang akan dijadikan tempat relokasi warga di Tanjung Banun. Ia mengatakan bertemu kelompok masyarakat yang menerima rencana penggeseran dan yang menolak rencana tersebut.
Menurut dia, dari lebih kurang 900 keluarga di lima kampung tua yang terdampak pembangunan tahap I Rempang Eco City sudah 341 keluarga yang menyatakan bersedia digeser. Ia menambahkan, 17 keluarga juga sudah ditempatkan di rumah sementara.
”Bahkan, data dari (Kampung) Pasir Panjang, sudah 70 persen mereka ingin melakukan pergeseran,” kata Bahlil.
Saat ini, BP Batam menyiapkan dua lokasi relokasi di Tanjung Banun, Pulau Rempang, dan Dapur 3, Pulau Galang. Pembangunan hunian relokasi ditargetkan selesai pada 2024.
Selagi menunggu proses pembangunan, warga diberikan opsi untuk tinggal di rumah singgah yang disediakan BP Batam atau menerima uang sewa Rp 1,2 juta per keluarga. Selain itu, warga juga diberi uang tunggu Rp 1,2 juta per kepala.
Kami memperkirakan lebih dari 70 persen warga di lima kampung menolak relokasi atau penggeseran. Kami yakin dengan hal itu karena waktu kami ke lapangan, warga betul-betul spontan berkumpul menyatakan penolakan relokasi. (Lagat Parroha Patar Siadari)
Pernyataan Bahlil mengenai mayoritas warga telah setuju direlokasi dibantah Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau Boy Even Sembiring. Menurut Boy, dari 139 keluarga di Kampung Pasir Panjang, hanya 30 keluarga yang bersedia direlokasi.
”Dari awal, pemerintah dan aparat selalu menguantifikasi data secara sembarangan. Dari 30 keluarga di Pasir Panjang yang bersedia relokasi itu harus dijabarkan lagi, apakah mereka pegawai pemerintah dan anggota TNI-Polri. Coba pemerintah buka datanya,” ujar Boy.
Kepala Perwakilan Ombudsman Kepri Lagat Parroha Patar Siadari juga meragukan data yang disampaikan pemerintah. Menurut dia, mayoritas warga dengan tegas menolak rencana relokasi ataupun penggeseran yang ditawarkan pemerintah.
”Kami memperkirakan lebih dari 70 persen warga di lima kampung menolak relokasi atau penggeseran. Kami yakin dengan hal itu karena waktu kami ke lapangan, warga betul-betul spontan berkumpul menyatakan penolakan relokasi,” kata Lagat.
Lagat menduga, data yang disampaikan pemerintah bukan diambil dari lima kampung yang akan digusur pada tahap I pembangunan Rempang Eco City, melainkan data tersebut diambil dari warga di seluruh Pulau Rempang. Oleh karena itu, ia mendesak pemerintah agar membuka nama dan alamat 341 warga yang disebut pemerintah setuju direlokasi itu.
”Kami ingin minta data detail itu supaya bisa kami cek langsung di lapangan. Saat minggu lalu kami turun ke lapangan, warga yang mendaftar relokasi ke posko BP Batam hanya satu atau dua orang saja,” ucap Lagat.