Sejauh ini, pemerintah belum punya target tenggat yang pasti terkait pelaksanaan realokasi dan pembangunan kawasan Rempang Eco City. Masih banyak persoalan yang perlu diluruskan dan diselesaikan terlebih dahulu.
Oleh
AGNES THEODORA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat mencecar Kementerian Investasi dan Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) terkait perencanaan investasi kawasan Rempang Eco City yang terkesan dipaksakan sehingga memicu konflik dengan warga. Pemerintah diminta tidak terburu-buru dan harus terlebih dahulu menjamin kepastian kompensasi dan rumah pengganti bagi warga.
Berbagai isu seputar rencana investasi oleh perusahaan asal China, Xinyi Group, itu mengemuka dalam Rapat Kerja Komisi VI DPR dengan Kementerian Investasi dan BP Batam di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (2/10/2023). DPR melihat masih banyak persoalan yang perlu diluruskan sebelum pemerintah melakukan realokasi warga dan memulai pembangunan.
Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Partai Gerindra, La Tinro La Tunrung, menilai, ada kesan proyek pembangunan kawasan Rempang Eco City terlalu dipaksakan dan terburu-buru. Beberapa indikasi yang menunjukkan hal tersebut antara lain studi kelayakan dan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang hingga kini masih berproses.
Sementara, investasi bersangkutan sudah ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) pada Agustus 2023 dan pembangunan tahap awal sudah ditargetkan pada November 2023. ”Ada kesan proyek ini sangat dipaksakan. Ditetapkan masuk dalam PSN pada bulan Agustus lalu September sudah ada rencana mau dikosongkan,” kata La Tinro.
Isu lain yang masih menggantung adalah kepastian pemberian kompensasi serta pembangunan rumah bagi warga terdampak yang direalokasi. Berdasarkan kesepakatan terbaru, pemerintah tidak jadi memindahkan warga ke Pulau Galang, tetapi ke Tanjung Banun, Pulau Rempang, yang berjarak 3 kilometer dari tempat tinggal warga.
Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Partai PDI-P, Deddy Yevri Hanteru Sitorus, menilai, pemerintah seharusnya membangun dulu permukiman baru bagi warga sehingga warga yakin mereka tidak sekadar diberi janji manis.
”Ini kita ibarat memberi mimpi bagi warga, ada rumah sekian, kampungnya seperti ini, tetapi itu belum bisa dilihat. Bagi warga, kan, seeing is believing. Kita harus paham kondisi sosiologis psikologis dan ekonomis warga,” kata Deddy.
Ia juga menyoroti belum adanya skema peta jalan yang komprehensif mengenai potensi dampak ikutan (multiplier effect) dari investasi tersebut terhadap warga terdampak. Sebab, selain jaminan kompensasi dan realokasi, warga juga perlu kepastian bahwa mata pencahariannya tidak akan terganggu dengan masuknya investasi jumbo di Rempang.
Selalu ada perlawanan dan penolakan ketika investasi masuk, karena kita ini sukakesusu, terburu-buru.
DPR pun meminta pemerintah membuat skema kerja sama yang mengikat antara investor dan warga, baik berupa kepastian penyerapan tenaga kerja lokal, maupun peluang bagi pengusaha lokal dilibatkan dalam rantai pasok industri yang akan dibangun di Rempang Eco City.
”Selalu ada perlawanan dan penolakan ketika investasi masuk karena kita ini suka kesusu, terburu-buru. Padahal, ini masalah hidup mati warga dan masalah investor melihat ada tidaknya kepastian hukum dalam proses investasi di negara ini,” kata Deddy.
Tidak tergesa-gesa
Berdasarkan isi Nota Kesepahaman yang ditandatangani Kementerian Investasi dengan Xinyi International Investments Limited pada 28 Juli 2023, pengembangan kawasan Rempang Eco City akan dilakukan di lahan seluas 8.142 hektar. Tahap konstruksi awal untuk investasi senilai 11,6 miliar dollar AS atau Rp 174 triliun itu awalnya direncanakan dimulai pada November 2023.
Ada sepuluh proyek yang akan dibangun di kawasan tersebut, yaitu kawasan industri terintegrasi, pabrik pemrosesan pasir silika, industri soda abu, industri kaca panel surya, industri kaca float, industri silikon industrial grade, industri polisilikon, industri pemrosesan kristal, industri sel dan modul surya, serta infrastruktur pendukungnya.
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia menampik anggapan bahwa proyek investasi di Rempang terburu-buru dan dipaksakan. Menurut dia, pemerintah awalnya hendak mencari investor untuk membangun hilirisasi nikel, yaitu untuk pengelolaan pasir silika dan pasir kuarsa.
Kementerian Investasi pun mencari investor yang berminat menanamkan modalnya ke sejumlah negara, yaitu Amerika Serikat, Eropa, Jepang, Korea dan China. ”Ketemunya dari China. Jadi, bukan kita yang dicari investor. Hari ini pun, kalau ada negara lain yang masuk, akan kita pertimbangkan mereka untuk ambil bagian,” katanya.
Setelah mendapat investor, pemerintah pun mengusulkan proyek tersebut untuk masuk dalam daftar PSN. Kawasan Rempang Eco City dikategorikan sebagai PSN karena akan menjadi pusat industri solar panel dalam rangka mendorong pengembangan energi baru terbarukan.
Bahlil mengakui, pemerintah sempat keliru menerapkan strategi komunikasi dan sosialisasi di awal sehingga memancing miskomunikasi dan bentrok warga dan aparat keamanan. ”Kami akui ada kesalahan dalam proses komunikasi awal sehingga terjadi miskomunikasi dan lahirlah (penggunaan) gas air mata,” kata Bahlil.
Belum ada tenggat
Sejauh ini, pemerintah belum punya target tenggat yang pasti terkait pelaksanaan realokasi dan pembangunan kawasan. Kementerian Investasi pun sudah berbicara dengan Xinyi Group selaku investor untuk menjelaskan kondisi terkini dan meminta fleksibilitas waktu.
”Mereka bisa memahami kondisi kita, tetapi mereka juga berpikir agar bisa diselesaikan dengan baik dan lebih cepat lebih baik. Namun, posisinya tidak sampai menekan-nekan kita. Kalau masih dalam batas waktu yang moderat, mereka pasti akan mengerti,” ujarnya.
Adapun pemerintah berencana memberikan rumah pengganti tipe 45 dengan luas lahan 500 meter persegi senilai Rp 120 juta. Selagi menunggu pembangunan kawasan realokasi, warga disediakan rumah singgah dan uang kompensasi berupa uang tunggu Rp 1,2 juta per kepala dan uang sewa rumah sebesar Rp 1,2 juta per keluarga.
Anggaran untuk pembangunan kawasan realokasi sepenuhnya akan memakai dana BP Batam. Sementara, untuk infrastruktur pendukung menggunakan anggaran Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
”Kami sudah buat masterplan dan contoh rumah sehingga warga bisa melihat bentuknya seperti apa. Kami juga libatkan lembaga adat melayu setempat untuk ambil bagian dalam mendesain kampung baru bagi warga,” katanya.
Kita mulai mewajibkan dengan Xinyi ini. Kita kasih mereka fasilitas, tetapi mereka harus buat kontrak perjanjian dengan kita untuk melibatkan warga.
Pemerintah juga mewajibkan PT Xinyi untuk menjadi offtaker produk perikanan warga setempat yang banyak berprofesi sebagai nelayan, serta wajib melibatkan warga dan usaha lokal dalam rantai pasok mereka. Ia mengakui, selama ini, kerja sama investor dengan usaha lokal belum berjalan optimal.
”Namun, ke depan ini kita buat aturan lebih ketat untuk mewajibkan. Kita mulai mewajibkan dengan Xinyi ini. Kita kasih mereka fasilitas, tetapi mereka harus buat kontrak perjanjian dengan kita untuk melibatkan warga,” tutur Bahlil.