Penanganan Masalah Kesehatan di Papua Perlu Kolaborasi Multipihak
Papua masih berkutat dengan berbagai masalah kesehatan. Kolaborasi multipihak diharapkan bisa menjadi terobosan untuk menangani masalah kesehatan di Papua.
Oleh
NASRUN KATINGKA, FABIO MARIA LOPES COSTA
·3 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Kerja sama multipihak bisa menjadi terobosan untuk menyelesaikan persoalan kesehatan di Papua. Kolaborasi itu dinilai bisa meningkatkan kapasitas pemerintah sehingga lebih responsif dan memberi solusi yang tepat sasaran dalam penanganan persoalan kesehatan di Papua.
Hal itu terungkap dalam diskusi berbagai kelompok masyarakat lokal yang didukung Lembaga untuk Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) Kolaborasi. Diskusi itu berupaya menghadirkan forum independen sebagai jembatan antara pemerintah dan masyarakat.
Program tersebut merupakan hasil desain bersama dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Kementerian Dalam Negeri.
”Kolaborasi ini merupakan kepedulian dari berbagai lembaga swadaya masyarakat lokal atas persoalan kesehatan yang perlu penanganan serius. Diharapkan pembentukan forum akan menjembatani pemerintah dan masyarakat dalam penanganan persoalan di Papua,” kata Direktur Yayasan Konsultasi Independen Pemberdayaan Rakyat (KIPRa) Irianto Jacobus dalam diskusi di Jayapura, Jumat (6/10/2023).
Irianto mengungkapkan, gerakan awal forum yang telah dimulai sejak akhir tahun 2022 itu melibatkan berbagai pihak, seperti lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, badan usaha, dan lembaga masyarakat adat. ”Di dalamnya ada empat divisi, yakni riset, advokasi, layanan, dan arsip,” ucapnya.
Melalui kerja sama itu, diharapkan ada masukan berbasis riset langsung di lapangan. Irianto berharap, masukan-masukan itu bisa menghadirkan solusi yang lebih komprehensif terkait masalah kesehatan di Papua. Masukan-masukan tersebut juga diharapkan bisa menjadi acuan kebijakan pemerintah.
Irianto menyebut, selama ini Papua masih dihadapkan pada berbagai masalah kesehatan masyarakat. Masalah juga terjadi pada sumber daya manusia kesehatan serta pelayanan kesehatan masyarakat. Padahal, Papua telah menerima dana otonomi khusus (otsus) yang besar.
Salah satu masalah kesehatan yang masih terjadi di Papua adalah stunting atau tengkes. Berdasarkan data elektronik Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (ePPGBM), terdapat 2.769 anak balita di Papua yang mengalami tengkes dari total 23.548 anak balita yang diukur dalam kegiatan posyandu hingga September 2023.
Anak di bawah usia lima tahun (balita) dengan tengkes (stunting) ditemukan di delapan kabupaten dan satu kota di Papua. Sembilan daerah ini meliputi Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Keerom, Kabupaten Sarmi, Kabupaten Mamberamo Raya, Kabupaten Biak Numfor, Kabupaten Supiori, Kabupaten Waropen, dan Kabupaten Kepulauan Yapen.
Mamberamo Raya, Supiori, dan Sarmi tercatat sebagai daerah dengan prevalensi tengkes tertinggi di Papua. Prevalensi tengkes di Mamberamo Raya mencapai 30,8 persen, Supiori 24,5 persen, dan Sarmi 20,3 persen. Sementara itu, target nasional penanganan kasus tengkes pada tahun ini adalah 17 persen.
Kolaborasi ini merupakan kepedulian dari berbagai lembaga swadaya masyarakat lokal atas persoalan kesehatan yang perlu penanganan serius.
Kepala Dinas Kesehatan Papua Robby Kayame menilai, kehadiran forum multipihak yang membahas masalah kesehatan sangat penting bagi pemerintah. Aspirasi yang disampaikan dalam forum tersebut dapat menjadi acuan untuk penentuan kebijakan dalam pelayanan kesehatan bagi masyarakat.
”Masukan dari berbagai pihak dalam forum multipihak menjadi dasar bagi kami menyusun perencanaan program dan penganggaran seperti dalam penanganan tengkes. Tujuannya agar program tersebut tepat sasaran dan sesuai kebutuhan masyarakat,” ujar Robby.
Pemanfaatan dana ostus
Ketua Program USAID Kolaborasi Caroline Tupamahu menyatakan, kucuran dana otsus yang naik seharusnya menjadi peluang untuk mengatasi berbagai masalah di Papua. ”Seharusnya dari perbaikan tata kelola pemerintah (lewat masukan dari forum masyarakat), dana otsus untuk kesejahteraan masyarakat,” ujarnya.
Sementara itu, perwakilan Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (BP3OKP) untuk Provinsi Papua, Alberth Yoku, mengungkapkan, berbagai masalah yang terjadi di Papua, termasuk di bidang kesehatan, menunjukkan penggunaan dana otsus belum baik. Oleh karena itu, perlu evaluasi penggunaan dana otsus yang selama ini belum tepat sasaran.
Menurut Alberth, kenaikan dana otsus dari 2 persen menjadi 2,25 persen dari dana alokasi umum nasional seharusnya menjadi peluang untuk meningkatkan pembangunan kualitas sumber daya manusia di Papua.
”Seperti sorotan Presiden (Joko Widodo), banyak anggaran penanganan stunting yang justru digunakan untuk perjalanan dinas dan pelatihan. Dengan demikian, perlu dievaluasi, dan kolaborasi kemitraan ini menjadi penting” ucapnya.