Belajar dari Kasus Kecelakaan Bus di Tegal, Sistem Pengereman Wajib Dikuasai Pengemudi
Kecelakaan bus pengangkut rombongan peziarah di kawasan wisata Guci, Tegal, Jateng, Mei lalu, mesti menjadi pembelajaran berbagai pihak. Tempat parkir layak dan sopir menguasai sistem pengereman perlu dipastikan.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·4 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Komite Nasional Keselamatan Transportasi merilis hasil investigasi dan analisis terkait kecelakaan bus pariwisata yang terjadi di sebuah tempat parkir di kawasan wisata Guci, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, awal Mei lalu. Sejumlah rekomendasi diberikan kepada pihak-pihak terkait, salah satunya soal kewajiban pengemudi menguasai sistem pengereman kendaraan.
Awal Mei lalu, masyarakat digegerkan oleh beredarnya sejumlah video yang merekam detik-detik kecelakaan sebuah bus yang mengangkut rombongan peziarah dari Kecamatan Serpong Utara, Tangerang Selatan, Banten. Bus yang tengah diparkir itu tiba-tiba meluncur tak terkendali ke jurang. Puluhan orang yang menjadi korban dalam kejadian itu menderita luka ringan dan berat. Sementara itu, dua penumpang meninggal dunia.
Kejadian itu lantas diinvestigasi oleh KNKT. Hasil investigasi dan analisis terkait kejadian itu dirilis pada Rabu (4/10/2023), di Politeknik Keselamatan Transportasi Jalan, Kota Tegal. Ketua KNKT Soerjanto Tjahjono menuturkan, faktor penyebab yang paling memungkinkan dalam kecelakaan itu adalah bus parkir di tempat dengan posisi kemiringan kritis, yakni 8-28 persen. Tanah yang digunakan untuk tempat parkir itu merupakan tanah urukan yang tergolong labil.
”Karena memang tanahnya labil, ganjalnya ambles. Gaya gravitasi yang dihasilkan lebih besar dari gaya pengereman dan ganjal sehingga bus meluncur,” kata Soerjanto, Rabu.
Romyani (56), sopir bus tersebut, tidak berada di belakang kemudi saat peristiwa itu terjadi. Romyani meyakini, dirinya telah mengaktifkan rem parkir sebelum turun dari bus untuk berkoordinasi dengan panitia rombongan. Sejumlah pihak pun mempertanyakan kelaikan rem parkir pada bus tersebut. Berdasarkan pemeriksaan KNKT, rem parkir bus bernomor polisi B 7260 OGA itu dalam kondisi laik.
”Rem parkir tidak diperuntukkan untuk memberhentikan bus, tetapi menjaga bus supaya dari diam tidak menjadi jalan. Tapi, karena tanahnya ambles, ada perubahan dari pengereman statis menjadi dinamis,” ujar Soerjanto.
Soerjanto menuturkan, hal itu penting untuk dijadikan pembelajaran agar pemilihan tempat parkir mempertimbangkan faktor kemiringan lokasi. Tempat parkir dengan kontur jalan menurun tidak disarankan karena bisa memicu bahaya.
Kementerian Perhubungan juga perlu mengedukasi para pengemudi bus ataupun truk terkait sistem pengereman. Kami juga akan merekomendasikan ke Korps Lalu Lintas Polri agar penguasaan materi tentang sistem rem dan tata cara parkir menjadi bagian dari syarat pengambilan surat izin mengemudi B1 dan B2. (Ahmad Wildan)
Menurut Soerjanto, ke depan, perlu ada aturan yang mengharuskan sopir berada di belakang kemudi saat mesin dalam kondisi hidup. Usulan agar hal itu menjadi aturan akan disampaikan oleh KNKT ke pihak-pihak terkait.
Rekomendasi
Investigator Senior KNKT, Ahmad Wildan, menyebutkan, pihaknya akan merekomendasikan kepada Kementerian Perhubungan agar ada pengaturan tempat istirahat yang layak bagi pengemudi. Selama ini, para pengemudi yang sudah berkendara berjam-jam hanya beristirahat di kursi kemudi atau di bagasi bus. Kondisi itu disebut bisa mengganggu kenyamanan dan menurunkan kualitas istirahat para pengemudi.
”Kementerian Perhubungan juga perlu mengedukasi para pengemudi bus ataupun truk terkait sistem pengereman. Kami juga akan merekomendasikan ke Korps Lalu Lintas Polri agar penguasaan materi tentang sistem rem dan tata cara parkir menjadi bagian dari syarat pengambilan surat izin mengemudi B1 dan B2. Dengan begitu, seluruh sopir bus dan truk dipastikan memahami hal tersebut,” ucap Wildan.
Rekomendasi berikutnya ditujukan bagi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Selain mengembangkan destinasi wisata yang menarik, menurut Wildan, Kemenparekraf juga diharapkan bisa mengembangkan destinasi wisata yang berkeselamatan.
”Hal-hal yang perlu menjadi perhatian mereka di antaranya kendaraan wisata di sana, termasuk tempat parkir, tempat istirahat pengemudi, dan sebagainya. Ini harus menjadi perhatian mereka dalam pengembangan destinasi wisata di seluruh Indonesia,” ujarnya.
Rekomendasi terakhir bakal disampaikan KNKT kepada operator, Organisasi Angkutan Darat, Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia, serta Perkumpulan Keamanan dan Keselamatan Indonesia. Organisasi itu diharapkan meningkatkan kemampuan atau kompetensi para pengemudinya, terutama terkait sistem pengereman kendaraan bermotor. Mereka juga diminta memastikan para pengemudinya memahami teknologi bus dan truk yang dioperasikan.
Sebelumnya, Pengamat transportasi dari Universitas Soegijapranata Semarang, Djoko Setijowarno, menilai perlu adanya evaluasi menyeluruh dalam penyelenggaraan angkutan wisata setelah kecelakaan di Guci. Menurut Djoko, lokasi parkir seharusnya diawasi oleh dinas perhubungan setempat dan jangan diserahkan kepada preman (Kompas.id, 8/5/2023).
”Di tempat wisata ada kecenderungan parkir dipegang preman. Seharusnya dishub mengawasi. Parkir itu tidak boleh di tanjakan, itu harga mati karena berbahaya,” kata Djoko.
Selain itu, di setiap tempat wisata sebaiknya disiapkan tempat khusus bagi sopir bus untuk istirahat atau tidur. Sekali perjalanan wisata, jumlah sopir bus pun minimal dua orang supaya bisa bergantian.