Korban Tewas di Guci Bertambah, Polisi Dalami Standar Manajemen Parkir Bus
Korban tewas dalam kecelakaan bus masuk sungai di Guci, Tegal, bertambah. Kini ada dua orang meninggal. Polisi mendalami SOP manajemen saat bus diparkir. Pengamat menyatakan parkir tidak boleh di turunan atau tanjakan.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·4 menit baca
TEGAL, KOMPAS — Jajaran kepolisian tengah mendalami standar manajemen terkait kasus kecelakaan bus pariwisata yang membawa rombongan ziarah saat parkir di kawasan wisata Guci, Tegal, Jawa Tengah. Polisi menegaskan, penyebab kecelakaan bukan karena rem tangan dimainkan oleh anak-anak saat bus terparkir sehingga meluncur masuk sungai. Sedikitnya 10 orang diperiksa menjadi saksi dalam kasus ini. Akibat peristiwa ini, dua orang meninggal.
”Masih dalam pemeriksaan. Setelah kami melakukan olah TKP, dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan saksi, bukan hanya kernet dan sopir yang kami duga untuk kelalaian itu, tetapi juga korporasi dari pemilik PO akan kami lakukan pendalaman. Jadi sejauh apa pertanggungjawaban tentang posisi ketika bus parkir,” kata Direktur Lalu Lintas Kepolisian Daerah Jawa Tengah Komisaris Besar Agus Suryo Nugroho saat dihubungi dari Semarang, Jawa Tengah, Senin (8/5/2023).
Agus menyampaikan, kepolisian akan mendalami seperti apa standar operasional saat bus terparkir. ”Ketika bus itu parkir, SOP-nya seperti apa. Apakah tanggung jawab hanya pada sopir saja atau juga pada manajemennya. Ini sedang kami periksa semua sehingga nanti setelah pendalaman akan dilakukan gelar (perkara),” katanya.
Agus menyebutkan, dalam gelar perkara itu nantinya kepolisian akan mengecek kesesuaian dengan pasal yang dilanggar.
”Ini, kan, bukan pada dikemudikan, tapi ditinggal oleh sopirnya. Beda dengan barangsiapa karena mengemudikan kendaraan, atau akibat kelalaiannya. Ini mengarah ke mana tentunya menunggu hasil pemeriksaan saksi dan saksi ahli. Apakah tersangkanya pada tataran sopir, apakah kernetnya ikut serta, apakah nanti korporasi atau pemilik PO-nya. Ini kami dalami,” tuturnya.
Menurut Agus, polisi masih akan mendalami standar manajemen terkait apakah mesin bus yang sudah menyala boleh ditinggalkan sopir atau tidak.
”Apakah ketika bus itu parkir dan dinyalakan mesinnya apa boleh ditinggalkan atau tidak boleh ditinggalkan. Kalau ditinggalkan, dia ke mana, letak tanggung jawabnya di mana, manajemen seperti apa, SOP manajemen yang diatur korporasi PO seperti apa. Ini mungkin baru pertama kejadian seperti ini. Oleh karena itu, penyidik hati-hati betul untuk menerapkan pasal dan menersangkakan,” ujarnya.
Terkait informasi yang beredar tentang adanya anak kecil yang memainkan rem tangan bus tersebut, Agus menyebutkan, dari pemeriksaan saksi penumpang tidak ada anak yang memainkan rem itu. ”Sementara hasil pemeriksaan tidak ada. Kalau ada, kan, ada saksi yang melihat, tapi sementara tidak ada. Saksi yang diperiksa sudah banyak, lebih dari 10 orang,” ujar Agus.
Kepala Kepolisian Resor Tegal Ajun Komisaris Besar Mochammad Sajarod Zakun menyampaikan, korban meninggal hingga saat ini bertambah menjadi dua orang. Korban laki-laki atas nama Maja (60) meninggal pada Minggu, sedangkan korban meninggal kedua adalah Mukorobin (70) yang meninggal pada Senin pukul 01.53 WIB.
”Tadi malam dini hari satu korban yang dirawat inap meninggal dan pagi tadi sudah dibawa ke keluarga korban,” kata Sajarod.
Sajarod juga mengatakan, berdasarkan keterangan dari para saksi di dalam bus, tidak ada orang atau anak-anak yang memainkan rem tangan.
”Seharusnya kendaraan bus itu dipanasi dan ditunggui oleh sopir. Namun, kenyataannya, ini berbeda. Kernet menyalakan, ditinggal keluar. Kalau analisis kami, kejadian itu tidak akan terjadi apabila ada yang mengemudikan dalam bus itu duduk di situ di ruang kemudi sehingga bisa diantisipasi jika kendaraan itu jalan,” papar Sajarod.
Tidak boleh di turunan
Pengamat transportasi dari Universitas Soegijapranata Semarang, Djoko Setijowarno, menyampaikan, belajar dari kasus Guci ini, diperlukan evaluasi menyeluruh dalam penyelenggaraan angkutan wisata. Hal pertama adalah lokasi parkir seharusnya diawasi oleh dinas perhubungan setempat dan jangan diserahkan kepada preman.
”Soal parkir itu tidak boleh di daerah turunan. Di tempat wisata ada kecenderungan parkir dipegang preman. Seharusnya dishub (dinas perhubungan setempat) mengawasi. Parkir itu tidak boleh di tanjakan, itu harga mati karena berbahaya,” kata Djoko.
Selain itu, lanjut Djoko, di setiap tempat wisata atau rest area sebaiknya disiapkan tempat khusus bagi sopir bus untuk istirahat atau tidur. Namun, setiap kali parkir, seharusnya ada SOP bahwa semua penumpang turun dari bus dan bus dikunci rapat. Sekali perjalanan wisata, jumlah sopir bus pun minimal dua orang supaya bisa bergantian. ”Sopir harusnya ada dua, bukan satu,” ujar Djoko.
Menurut Djoko, selain pemilik bus bersama manajemen bus wisata, penyelenggara wisata atau event organizer pun juga harus bertanggung jawab atas peristiwa ini. Bisa jadi penyelenggara atau panitia pun kadang memaksakan kehendak untuk tetap jalan meski sopir lelah. Sanksi pembekuan izin bus wisata dan pidana diharapkan tegas diberikan kepada mereka yang lalai sehingga menyebabkan korban jiwa.