Sejumlah Sumur Galian Milik Warga Kupang Kering Kerontang
Sejumlah sumur galian milik warga mengering. Warga Kupang terpaksa membeli air baku dari mobil tangki dengan harga Rp 80.000-Rp 200.000 per mobil.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Sejumlah sumur galian untuk memenuhi kebutuhan air baku di sejumlah rumah tangga di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, mengering sampai dasar sumur. Warga terpaksa membeli air dari mobil tangki dengan harga bervariasi. Bisnis sumur bor pun semakin menjanjikan bagi pengusaha.
Pengamatan di Kelurahan Naimata, Kecamatan Maulafa, Kota Kupang, Senin (25/9/2023), memperlihatkan kondisi lingkungan sekitar yang gersang terpapar panas terik menyengat. Berbagai jenis tanaman di pekarangan rumah warga menjadi layu, bahkan mengering. Pemilik rumah kesulitan mendapatkan air untuk menyirami tanaman itu.
”Untuk kebutuhan sehari-hari saja kami harus keluarkan uang Rp 80.000 per mobil tangki. Ukuran 5.000 liter air. Air tersebut cukup untuk kebutuhan enam anggota keluarga selama 4-5 hari saja. Masak, mandi, minum, dan mencuci. Mana mungkin bisa menyiram tanaman yang ada,” kata Renty Mamulak (45), warga Dusun Nunleu, Kelurahan Naimata, Kupang.
Renty menuturkan, harga air dalam mobil tangki terus naik. Pada Agustus harganya Rp 70.000, September menjadi Rp 80.000, dan sampai akhir September mendekati Rp 100.000 per tangki. Harga tersebut berlaku di pusat kota. Di pinggiran Kota Kupang dengan kondisi jalan yang buruk, harga air mendekati Rp 200.000 per tangki.
Ibu empat anak ini menjelaskan, ada tiga pipa yang melintas di bagian depan dan belakang rumahnya. Satu pipa tua berukuran sekitar 10 dim langsung terhubung ke pusat-pusat perkantoran pemerintah provinsi dan fasilitas pemerintah lainnya. Satu pipa lagi sekitar 4 dim mengalirkan air ke permukiman warga, tetapi tidak diperuntukkan bagi warga Naimata. Satu pipa lagi tidak mengalirkan air atau kosong.
Untuk kebutuhan sehari-hari saja kami harus keluarkan uang Rp 80.000 per mobil tangki. Ukuran 5.000 liter air.
Hampir di setiap pekarangan rumah warga ada pipa air yang melintang dengan aneka ukuran, mulai dari setengah dim sampai 10 dim. Pipa-pipa itu hanya terpajang, tidak mengalirkan air. Bahkan, sebagian pipa sengaja diambil warga untuk dijual ke pandai besi untuk dibuat parang, pisau dapur, cangkul, dan sejenisnya.
Renty mengatakan, lima tahun lalu, ada informasi bahwa pemerintah segera membangun bendungan di perbukitan Kolhua. Saat itu pemerintah pusat dan daerah sudah melakukan sosialisasi kepada warga pemilik lahan. Akan tetapi, terjadi penolakan oleh warga. Rencana itu pun tak terealisasi sampai hari ini.
”Apabila bendungan terbangun, semua kelurahan yang berada di dataran ini mendapat suplai dari air bendungan itu, termasuk kami di Kelurahan Naimata ini. Pemilik lahan bertahan dengan alasan untuk bertani. Tetapi, mau bertani bagaimana, air tidak ada,” kata Renty.
Layanan air bersih dari pemda masih sangat minim. Sampai 2018, layanan air bersih dari pemda mencapai 30 persen. Namun, pasokan air terus menyusut seiringkerusakan sumber-sumber mata air, yang berdampak pada penurunan debit air.
Di sebagian besar kelurahan, layanan air dari pemda hanya mengalir 10 jam dalam satu hari setiap sepekan. Sejumlah kelurahan lain tidak terjangkau layanansama sekali. Hanya di pusat perkantoran pemerintah dan rumah dinas, air dijamin mengalir 24 jam.
Warga terpaksa berjuang dengan berbagai cara guna memenuhi kebutuhan air bersih tersebut. Mulai dari membuat sumur galian dan sumur bor, membeli air dari mobil tangki, atau membangun bak air untuk menampung air hujan. Hal itu terutama dilakukan warga pinggiran Kota Kupang.
Sejumlah sumur galian dengan kedalaman 5-20 meter dari permukaan tanah mengalami kekeringan. Sumur-sumur itu berfungsi normal selama enam bulan, yakni Januari-Juli.
Jumlah penduduk Kota Kupang tahun 2022 sebanyak 465.637 jiwa. Bendungan Tilong yang dikelola badan layanan umum daerah sistem penyediaan air minum Pemprov NTT memiliki kapasitas produksi 150 liter per detik. Kemampuan layanan 15.000 sambungan rumah atau setara 75.000 warga.
Jika terdapat 465.637 warga Kupang, maka jumlah pipa yang dibutuhkan 93.127 sambungan rumah. Masih ada kekurangan sebanyak 78.127 sambungan. Pemda harus bekerja keras mengatasi kekurangan tersebut.
Agus Nakmofa (50), warga Kelurahan Fatukoa, pinggiran Kota Kupang, mengatakan, bisnis sumur bor makin menjanjikan dalam lima tahun terakhir. Kebanyakan pemilik mesin sumur bor adalah pengusaha dari Jawa. Mereka tidak hanya beroperasi di Kupang, tetapi juga di Timor Tengah Utara, Belu, Malaka, dan bahkan semua kabupaten di NTT.
Biaya jasa sumur bor berkisar Rp 30 juta-Rp 300 juta. Hal itu tergantung pada kondisi tanah, ketinggian dari permukaan laut, dan jarak dari pusat kota. Agus baru saja menggunakan jasa mesin bor itu. Biaya sewa pengeboran diketinggian Kelurahan Fatukoa itu mencapai Rp 75 juta. Uang itu diperoleh dari hasil penjualan 10 ternak sapi miliknya.
”Ada air, maka semua akan bertahan hidup, meski di tengah batu karang sekalipun. Kesejahteraan hidup pun meningkat. Bisa berkebun, pelihara ayam, babi, sapi, ikan air tawar, dan kebutuhan sehari-hari. Paling penting, pola hidup sehat dengan keberadaan air itu bisa terbangun, terutama di kalangan anak-anak,” kata Nakmofa.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana NTT Ambrosius Kodo mengatakan, setiap pemkab/pemkot telah mengantisipasi kekeringan ekstrem tersebut. Mereka mengaktifkan posko bencana, menyediakan mobil tangki air, dan memperbaiki pipa-pipa air yang bocor.
”Jadi, setiap kabupaten/kota sudah punya protap (prosedur tetap) penanganan kesulitan air bersih tersebut. Jika masih ada warga yang kesulitan air bersih, silakan melapor ke posko pengaduan bencana,” kata Ambros.