Kegigihan Petani di Lahan Kering NTT
Para petani yang mengolah lahan kering di Nusa Tenggara berjuang menghadapi kekeringan ekstrem. Berbagai upaya dilakukan supaya tak terjadi gagal panen.
Ayup Suni (43) menghela napas panjang setelah puluhan kali mengayunkan parang, memotong semak belukar di Oelsonbai, Kelurahan Fatukoa, Kecamatan Maulafa, Kota Kupang, Selasa (19/9/2023). Ia membabat semak belukar yang kering kerontang berwarna coklat sebagai persiapan musim tanam mulai tahun ini. Pekerjaan menyiapkan lahan ini dikebut supaya hujan turun, lahan sudah siap ditanami. Hujan diprediksi turun sekitar akhir bulan November atau awal Desember ini.
Lahan yang digarap Ayup seluas sekitar 5.000 meter persegi. Sudah hampir 80 persen rumput dan semak sudah dibabat sejak Juli 2023. Ayup mulai bekerja pukul 07.00 WITA dan sempat istirahat pulang ke rumah pada siang hari. Sorenya, sekitar pukul 16.00, dia akan kembalimenggarap lahannya.
Suami Sarah Suni inimenyiapkan lahan itu secara tradisional, yang oleh mantan gubernur Viktor Laiskodat menyebut pertanian sistem ”purba”. Tebas, bakar, dan tanam saat hujan turun. Tidak ada traktor roda empat atau traktor tangan. Juga tidak ada pupuk. Bibit jagung pun dibeli di pasar seharga Rp 10.000 per kg. Mutu benih itu sulit dijamin meski pedagang pasar selalu mengatakan terjamin.
”Sebagai petani, saya tetap optimis. Tanah ibarat ibu yang memberi kehidupan bagi semua makhluk. Ke mana lagi kalau bukan berada di lahan dan hidup dari pemberian tanah. Memang sulit, tetapi optimisme terus ada pada kami, petani,” kata Ayup.
Ia berencana menanam lebih awal. Ditargetkan, medio November ini lahan itu sudah disiapkan. Begitu hujan turun tiga kali berturut-turut, jagung langsung ditanam. Ia mengejar musim hujan. Usia panen jagung diprediksi 60 hari. Selain itu, Ayup berencana menanam singkong, ubi jalar, pepaya, labu siam, keladi, dan kacang-kacangan. Ia yakin dengan sejumlah jenis tanaman itu bakal menghasilkan pangan lokal yang cukup sepanjang 2024.
Lahan itu berbatasan dengan kandang sapi milik kelompok tani, ”Oetnana” di kelurahan itu. Ia akan meminta kotoran sapi setempat sebagai pupuk. Istrinya akan membantu meletakan kotoran sapi itu di sekitar tiap-tiap tanaman. ”Kotoran sapi kering harus ditanam di sekitar pohon dengan takaran yang terbatas. Berjarak sekitar 20 cm dari pohon,” kata Ayup.
Baca juga: Menyiapkan Lahan untuk Musim Tanam
Tetapi, kunci utama adalah hujan. Apabila intesitas hujan cukup dan berkelanjutan selama 1-2 bulan, jagung bisa tumbuh normal. Tetapi, hujan turun sebentar, kemudian 3-4 hari panas ekstrem, kemudian hujan sebentar. Saat itu pula, hama belalang dan ulat grayak bermunculan. Tanda-tanda kegagalan sudah dekat.
Berbagai upaya dilakukan Ayup supaya tak lagi gagal panen. Dia tak ingin pengalaman pahit tahun 2020 terulang lagi. Gagal panen karena kekeringan ekstrem selama musim hujan, ia pun meninggalkan lahan begitu saja. Jagung kerdil setinggi 40 cm saat itu dijual kepada pengusaha ternak sapi untuk pakan. Ayup kemudian mengikuti proyek pelebaran jalan di Kota Kupang dengan upah Rp 100.000 per hari.
”Proyek itu enam bulan. Saya sempat beli beras, susu anak, dan perbaiki atap rumah yang bocor akibat badai Seroja. Sekarang proyek fisik seperti itu pakai sistem keluarga. Kita sulit diterima. Selesai proyek itu, saya kerja serabutan sampai memutuskan menggarap lahan milik salah satu pengusaha di Kota Kupang,” kata Ayup.
Sambil menggarap lahan untuk pertanian, Ayup menjual kayu bakar yang dipikul di pundaknya. Kayu-kayu itu hasil tebasan Suni di lahan itu. Kini, tumpukkan kayu makin banyak yang dijemur di samping pondok reyot miliknya. Menurut rencana, kayu itu dijual kepada pengepul kayu bakar di pasar. Satu ikat kayu, sekitar 3 kilogram, dihargai Rp 10.000. Biasanya kayu itu setelah kering dijual istri Ayup di pasar ”Kasih” di Kota Kupang.
Tidak mudah
Membuka lahan untuk pertanian di musim kemarau tidaklah mudah. Usia yang tak lagi muda juga menyulitkan bagi Nahor Tnoni (56), petani lahan kering Desa Oinlasi, Kecamatan Amanatun Selatan, Timor Tengah Selatan. Dia tak lagi kuat menggarap lahan yang dimilikinya seluas 2 hektar. Menurut rencana, pada akhir bulan ini Nahor akan membabat rumput di lahan seluas 2.000 meter persegi. Apalagi, dia hanya bekerja sendirian karena anak-anaknya tidak mau membantu.
”Jadi, petani lahan kering ini, kita tetap menderita seumur hidup. Sampai maut menjemput pun tetap begini. Mungkin nanti Tuhan tolong di Surga,” kata Nahor tertawa kecil.
Sebenarnya,Nahor merasa pesimistis menjadi petani di lahan kering. Saat menaman jagung dan padi gogo, Nahor sering mengalami gagal panen. Bila menanam singkong atau jenis ubi-ubian, dia khawatir anaknya tidak mau makan. Bahkan, Nahor sudah diminta anaknya untuk menjual lahannya, tetapi dia tidak mau. Apalagi kepala desa setempat melarang warga menjual tanah kepada pihak luar desa.
Baca juga: 16 Sumur Bor untuk Penuhi Kebutuhan Air Bersih Warga Eks Timor Timur
Bila tidak menggarap lahan pertanian, Nahor akan melakukan pekerjaan lainnya sebagai sumber penghasilan. Ia mengaku lebih bergantung pada setiap jenis pekerjaan yang diminta tetangga atau orang lain. Kerja serabutan. Perbaiki rumah atau dapur rumah, membersihkan lahan, menggembalakan ternak, atau mengikuti proyek fisik pemerintah. Pekerjaan seperti itu sudah jelas dapat uang, entah berapa pun.
Perjuangan para petani di lahan kering yang berliku-liku tak menyurutkan langkah Agus Bala (49) di Kelurahan Belo, Kupang. Dia mengatakan, untuk mulai menggarap pertanian, dia harus mengeluarkan biaya yang cukup mahal. Tanah seluas 1 hektar yang merupakan warisan orangtua harus diolah menggunakan traktor sebelum ditanami. Biaya sewa traktor bajak lahanRp 750.000-Rp 1 juta per hari, tergantung dari kondisi tanah. Biaya Rp 750.000 itu pun traktor milik dinas pertanian. Tanahdi Timor sebagian besar berupa batu karang. Traktor pun berisiko rusak.
Untuk itulah, beberapa tahun terakhir Bala menunggu hujan untuk bisa menanam jagung atau padi gogo. Belum lagi biaya untukmembeli pupuk dan bibit padi gogo. Tetapi, keuntungan yang diperoleh tidak sebanding dengan pengeluaran. Gagal panen selalu menghantui petani.
Mantan mahasiswa semester V Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana Kupang ini mengatakan, terlibat di pertanian lahan kering semakin sulit. Perubahan iklim yang tak menentu, petani tak bisa menentukan kapan hujan turun, kapan tanam, dan kapan panen.
”Saya sedang mengumpulkan uang, membuat sumur bor di tengah lahan. Tukang bor sumur sudah cek lokasi. Mereka minta Rp 85 juta per titik. Berada di ketinggian dan bebatuan. Kedalaman titik air diprediksi sampai 150 meter dari permukaan tanah,” kata Bala.
Sebagai petani, saya tetap optimis. Tanah ibarat ibu yang memberi kehidupan bagi semua makhluk. Ke mana lagi kalau bukan berada di lahan dan hidup dari pemberian tanah. Memang sulit, tetapi optimisme terus ada pada kami petani.
Petani muda
Meski sistem pertanian di lahan kering itu dikelola secara tradisional, nyatanya masih ada beberapa petani muda yang mengerjakan lahan kering tersebut. Maksimus Ndolu (36), petani hortikultura di Desa Matani, Kabupaten Kupang, mengatakan, pilihan menjadi petani horti semakin diminati petani milenial NTT. Pertanian jenis ini dinilai lebih menguntungkan ketimbang lahan kering.
Biaya pertanian hortikultura jauh lebih mahal dibandingkan dengan lahan kering. Hortikultura harus menyediakansumur bor dengan air yang terus mengalir sepanjang tahun. Dalam satu tahun bisa tiga kali tanam dan panen. Rata-rata setiap jenis tanaman memiliki masa panen tiga bulan.
Tetapi, jenis tanaman ini harus bebas dari bebatuan. Permukaan tanah itu harus dibalikan. Entah dicangkul atau traktor. Bibit yang ditanam di atas tanah gembur. Juga diberi pupuk, bahan pestisida untuk mengusir hama daun dan batang, dan air yang cukup.
”Budidaya hortikultura ini tidak butuh lahan yang luas. Cukup lahan 700 meter persegi saja sudah cukup, apalagi lebih dari 1.000 meter persegi. Kita buatkan bedeng kecil-kecil, dengan lebar 30-45 cm dan panjang sesuai panjang lahan. Terserah mau tanam sawi, kol, wortel, terung, kacang panjang, cabai, atau tanaman lain. Tenggat waktu 2-3 bulan kemudian sudah bisa dipanen dan dijual dipasar,” katanya.
Tanaman hortikultura lebih memberi keuntungan berlipat selama musim kemarau. Musim hujan cenderung gagal panen karena kebanyakan air untuk jenis tanaman tertentu. Tetapi, jika petani paham cara mengatasi curah hujan tinggi, tetap sukses.