Surat keputusan pengesahan hutan adat diserahkan langsung oleh Presiden Joko Widodo pada Senin (18/9/2023) di Jakarta. Keputusan itu disambut gembira oleh masyarakat adat.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Sedikitnya 22.549 hektar hutan di Aceh ditetapkan sebagai hutan adat mukim. Hutan adat itu tersebar di tiga kabupaten untuk delapan masyarakat adat mukim.
Surat keputusan pengesahan hutan adat diserahkan langsung oleh Presiden Joko Widodo pada Senin (18/9/2023) di Jakarta. Mukim Blang Birah, Kabupaten Bireuen, mewakili masyarakat hukum adat mukim Aceh menerima salinan SK secara simbolis.
Delapan wilayah hutan adat mukim yang ditetapkan secara rinci berada di Mukim Blang Birah, Mukim Krueng, dan Mukim Kuta Jeumpa Kabupaten Bireuen. Kemudian, Mukim Paloh, Mukim Kunyet, dan Mukim Beungga di Kabupaten Pidie. Selanjutnya, terletak di Mukim Krueng Sabee, Mukim Panga Pasi di Kabupaten Aceh Jaya.
Dihubungi pada Selasa (19/9/2023) dari Banda Aceh, Imuem (kepala) Mukim Beungga Ilyas dan Imuem Mukim Paloh Nasir mengaku sangat bahagia dan terharu atas keluarnya surat penetapan hutan adat di wilayah mereka.
Kedua mukim itu terletak di Kabupaten Pidie. Mukim merupakan lembaga masyarakat hukum adat yang terdiri dari beberapa desa. Mukim merupakan struktur pemerintahan warisan kerajaan Aceh masa lampau.
Ilyas menuturkan, mereka mengusulkan hutan adat seluas 10.900 hektar, tetapi yang dikabulkan 4.060 hektar. Meski tidak sesuai dengan yang diusulkan, Ilyas tetap menyambut bahagia.
”Tujuh tahun kami berjuang untuk memperoleh hak atas hutan adat. Akhirnya harapan kami terwujud. Kami sangat bersyukur,” kata Ilyas.
Hutan adat milik Mukim Beungga terletak di enam desa yang dihuni sekitar 7.000 jiwa. Nantinya semua desa yang berada di dalam wilayah Mukim Beungga diberikan hak untuk mengelola hutan adat tersebut.
Ilyas mengatakan, hutan adat tersebut akan dikelola bersama sebagai kawasan budidaya, tetapi tetap mempertahankan fungsi hutan. ”Seribu hektar tetap kami jadikan kawasan lindung, sebagai sumber air bersih dan mitigasi bencana,” kata Ilyas.
Kepala Mukim Paloh Nasir juga berterima kasih kepada Presiden atas penetapan hutan adat di Mukim Paloh seluas 2.934 hektar. Di bawah Mukim Paloh terdapat 12 desa.
Saat ini, hutan adat itu telah dikelola oleh warga menanam pinang, kakao, hingga pisang. Sebagian masih dipertahankan sebagai hutan lindung yang tidak boleh dibuka sebagai kawasan budidaya.
Nasir mengatakan, seusai menerima surat keputusan, dia akan segera mengadakan musyawarah dengan para kepala desa dan tokoh masyarakat untuk menyusun rencana pengelolaan hutan adat.
Selain itu, mereka juga akan melakukan penguatan kelembagaan mukim agar struktur yang ada semuanya berfungsi sebagaimana mestinya.
Dalam struktur mukim terdapat pawang uteun (hutan), keujruen blang (pawang sawah), panglima laot (laut), hingga harian peukan (pasar). Selain memiliki struktur, mukim juga memiliki hukum atau aturan adat.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh Abdul Hanan menuturkan, dengan keluarnya surat penetapan hutan adat, keberadaan masyarakat hukum adat mukim diakui eksistensinya.
Awalnya, pengusulan hutan adat di Aceh sempat terhambat karena tim dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan meragukan eksistensi masyarakat hukum adat mukim.
Hanan mengatakan, pemerintah, akademisi, dan lembaga swadaya masyarakat bekerja keras untuk menjelaskan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bahwa mukim merupakan masyarakat adat yang masih melakukan praktik adat, termasuk dalam urusan mengelola hutan.
Seusai menerima surat keputusan, para masyarakat adat tersebut harus membuat rencana kerja umum dan rencana kerja tahunan. Hanan mengatakan, pengelolaan hutan adat tidak boleh mengubah fungsi hutan.
”Utamakan penanaman dan penghijauan. Kami menyediakan bibit pohon untuk ditanami di lahan hutan adat,” kata Hanan.
Jenis pohon yang dapat ditanami di lahan hutan adat, di antaranya, ialah jengkol, petai, durian, alpukat, dan tanaman keras lain. Selain untuk kebutuhan ekonomi, tanaman tersebut juga berfungsi sebagai pohon hutan.
Hanan mengatakan, jika hutan adat dikelola dengan baik, masyarakat adat dapat mengajukan pembiayaan penjualan karbon. ”Ini kesempatan bagi masyarakat adat untuk menjaga hutan dan memperoleh imbalan dari penjualan karbon,” kata Hanan.