Sosialisasi Diintensifkan, Warga Pulau Rempang Enggan Mendaftar Relokasi
Warga yang tinggal di kampung tua di Pulau Rempang enggan mendaftar untuk mengikuti relokasi yang ditawarkan pemerintah. Sementara itu, BP Batam terus mengintensifkan sosialisasi ke warga.
Oleh
YOLA SASTRA
·5 menit baca
BATAM, KOMPAS — Warga yang tinggal di kampung tua di Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau, enggan mendaftar untuk mengikuti program relokasi yang ditawarkan pemerintah. Selain ingin mempertahankan kampung halaman, mereka juga menilai rumah yang dijanjikan sebagai tempat relokasi tidak jelas.
Sementara itu, Badan Pengusahaan (BP) Batam mengintensifkan sosialisasi untuk merelokasi warga menjelang tenggat waktu pada 20 September 2023. Ada empat dari 16 kampung tua di Pulau Rempang, termasuk Kampung Sembulang, Kecamatan Galang, yang menjadi prioritas relokasi terkait proyek Rempang Eco City.
Amin, warga Kampung Sembulang, Kamis (14/9/2023), mengatakan, dirinya tidak mau mendaftar relokasi karena tidak mau meninggalkan kampung halamannya. Dia juga menilai rumah dan lahan yang dijanjikan sebagai tempat relokasi itu tidak jelas karena belum ada bangunan fisiknya.
”Ternak ayam saja kalau kita tidak bikin kandang mana bisa pindah, apalagi manusia, kan. kasih rumah kan tampak. Ini bentuk rumahnya saja belum ada. Mau pindah ke mana kita?" kata Amin.
Menurut Amin, selama beberapa waktu terakhir, petugas dari BP Batam didampingi aparat keamanan berkeliling kampung setiap hari. Mereka mendatangi rumah-rumah warga untuk menyosialisasikan rencana relokasi. Namun, Amin justru merasa keberadaan aparat tersebut membuat risih.
”Gelisah saya. Sering terkejut. Tampak muka dia saja terus. (Dia) masuk kampung tak pakai salam. Macam kampung dia saja di sini. Kami seperti orang menumpang saja,” ujar Amin.
Muhammad Sali (67), warga lainnya, juga mengaku tidak mau mendaftar relokasi yang dilaksanakan oleh BP Batam. Sali menyebut, teman-temannya juga belum ada yang mendaftar program relokasi itu.
”Kami minta kampung kami saja. Minta itu saja. Jangan ganggu kampung kami yang sudah ada sejak nenek moyang,” kata Sali.
Hal senada dikatakan Mustafa (80), warga Kampung Sembulang. Dia menyebut, masyarakat sebenarnya tidak menolak investasi. Namun, mestinya investasi tidak menyingkirkan masyarakat adat yang sudah menempati Pulau Rempang sejak ratusan tahun.
Menurut Mustafa, investasi dan permukiman masyarakat kampung tua bisa berdampingan. Pemerintah dan investor dipersilakan membangun asalkan tidak mengusik perkampungan yang sudah ada.
Jangan ganggu kampung kami yang sudah ada sejak nenek moyang.
”Ibarat pepatah, tariklah rambut di dalam tepung. Tepung jangan berserak, rambut jangan putus,” katanya.
Berdasarkan pantauan Kompas, Kamis siang, situasi di Pulau Rempang relatif kondusif. Di Jembatan Barelang IV dan jalan sekitar SMP 22 Batam dan SD 24 Galang yang menjadi titik bentrokan antara aparat dan warga, aktivitas masyarakat tampak biasa.
Saat jam pulang, siswa SMP berbondong-bondong menuju bus sekolah atau membeli jajanan sembari menunggu jemputan.
Adapun di jalan-jalan tampak aparat keamanan berlalu lintas dengan mobil ataupun sepeda motor. Di beberapa titik, juga ada posko-posko yang dijaga aparat keamanan.
Sosialisasi relokasi
Kepala Satgas Gabungan Percepatan Investasi Rempang Eco City sekaligus Direktur Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) BP Batam Harlas Buana mengatakan, sesuai arahan Presiden Joko Widodo, pihaknya terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat.
Harlas menjelaskan, sejak Rabu (13/9/2023), sepuluh tim sosialisasi diturunkan ke masyarakat. Setiap tim terdiri atas sebelas personel dari sejumlah unsur, misalnya BP Batam dan petugas keamanan dari TNI-Polri.
”Supaya masyarakat bisa tahu rencana pengembangan, ke mana relokasinya, hak-hak warga apa. Inilah yang dilakukan tim,” kata Harlas ketika dijumpai di kantor Camat Galang yang menjadi salah satu tempat pendaftaran relokasi.
Menurut Harlas, sosialisasi dilakukan dari pintu ke pintu dengan mendatangi rumah masyarakat. Dalam sosialisasi itu, warga diberi penjelasan tentang rencana pembangunan di kampung mereka, termasuk Kampung Sembulang.
Sosialisasi itu, kata Harlas, ditargetkan berlangsung hingga 20 September 2023. Khusus untuk Kampung Sembulang, jumlah keluarga yang mendaftar sekitar 87 orang dari total target 650 keluarga.
Harlas menambahkan, selain di kantor Camat Galang, pendaftaran relokasi juga bisa dilakukan di Rumah Sakit Khusus Infeksi Covid-19, kantor Lurah Rempang Cate, dan kantor PTSP BP Batam.
Kronologi
Konflik agraria di Pulau Rempang bermula ketika BP Batam berencana merelokasi seluruh penduduk pulau tersebut yang berjumlah sekitar 7.500 jiwa untuk mendukung pengembangan proyek Rempang Eco City (Kompas, 9/9/2023).
Upaya ini ditentang warga pulau yang merupakan warga asli. Warga asli terdiri dari suku Melayu, suku Orang Laut, dan suku Orang Darat. Mereka menempati 16 kampung tua di Pulau Rempang setidaknya sejak tahun 1834. Untuk tahap pertama proyek Rempang Eco City, pemerintah akan merelokasi warga di empat dari 16 kampung di Pulau Rempang.
Kepala BP Batam sekaligus Wali Kota Batam Muhammad Rudi, Selasa (12/9/2023), mengatakan, sedikitnya ada 700 keluarga yang bermukim di empat kampung yang luasnya 2.000 hektar itu.
Tiga kampung harus direlokasi karena lahannya akan digunakan untuk mendirikan industri kaca yang merupakan investasi dari China. Adapun lahan satu kampung lain akan digunakan untuk pendirian menara ikon Rempang Eco City.
Rudi menyebut, pemerintah akan menyiapkan lahan seluas 450 hektar di Pulau Galang untuk relokasi warga Pulau Rempang. Sebanyak 2.700 rumah tipe 45 akan dibangun. Setiap rumah berdiri di atas lahan 500 meter persegi.
Selain perumahan, pemerintah juga akan menyiapkan instalasi air pipa, listrik, jalan, telekomunikasi, dermaga nelayan, dan pelabuhan bongkar muat. Khusus keluarga nelayan juga akan mendapat bantuan alat tangkap.
Menurut Rudi, pembangunan perumahan relokasi itu akan memakan biaya hingga Rp 1,8 triliun. Proses pembangunan bakal memakan waktu lebih dari dua tahun.
”Pemerintah pusat dan pemerintah daerah sudah sepakat. Mudah-mudahan masyarakat dapat menerima (rencana ini) dengan baik. Namun, kalau masih ada keberatan, forum komunikasi pimpinan daerah membuka ruang dialog dengan warga,” kata Rudi.