Pungutan Picu Nelayan Kucing-kucingan hingga Konflik
Perubahan skema pungutan hasil perikanan mendesak nelayan ”kucing-kucingan” dengan petugas. Nelayan mencari cara untuk menghindari pungutan PNBP lantaran hutang pungutan menumpuk. Konflik pun tak bisa dihindari.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO, KURNIA YUNITA RAHAYU, ANTONIUS PONCO ANGGORO
·5 menit baca
TERNATE, KOMPAS — Target pemerintah memacu penerimaan negara bukan pajak subsektor perikanan justru memberatkan nelayan. Perubahan skema pungutan hasil perikanan, yakni dari praproduksi ke pascaproduksi, membuat nelayan sering kali tak bisa menutup biaya operasional melaut. Imbas dari penerapan kebijakan itu, nelayan bahkan berseteru dengan otoritas pelabuhan tempat pendaratan ikan.
Situasi itu terjadi di Ternate, Maluku Utara. Dari rekaman video berdurasi tiga menit yang diperoleh Kompas, Rabu (13/9/2023), sejumlah nelayan terlihat memarahi Syahbandar Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Dufa-dufa, Amat IS Maya, di Kecamatan Ternate Utara. Beberapa di antaranya bahkan mendorong tubuh Amat. Pertikaian berakhir setelah Amat meninggalkan PPI. Berdasarkan informasi sejumlah nelayan di PPI, peristiwa itu terjadi pada Sabtu (9/9/2023).
Menurut Irfan Tasmin (41), nelayan nakhoda kapal Inka Mina 992, Rabu, pertikaian itu bisa terjadi karena ia mendaratkan ikan di Pasar Dufa-dufa, bukan di PPI Dufa-dufa seperti disyaratkan dalam Surat Izin Penangkapan Ikan Inka Mina 992. Akibatnya, Irfan dinilai melanggar aturan sehingga syahbandar tidak menerbitkan surat izin berlayar. Ia tak menepis pelanggaran ini, tetapi hal itu terpaksa dilakukannya untuk menutup kekurangan pembayaran penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Sebelumnya, syahbandar menagih kekurangan bayar PNBP dari hasil melaut Inka Mina 992 seberat 5,8 ton ikan cakalang atau sekitar Rp 2,7 juta. Ia heran dengan tagihan itu karena selalu membayarkan PNBP setiap kali pulang melaut. Tak hanya itu, ia juga terbebani dengan pembayaran PNBP pascaproduksi karena tidak jarang hasil melaut bahkan tak cukup untuk menutup ongkos operasional.
Namun, pihak syahbandar tetap menuntut Irfan untuk membayarnya dan mengancam tidak akan menerbitkan surat perizinan berlayar (SPB) jika kekurangan PNBP itu tak dibayarkan. ”Makanya, terpaksa saya mendaratkan ikan secara ilegal beberapa kali di pasar,” ujarnya.
Dengan insiden itu, hingga kini total sudah enam hari Inka Mina 992 yang berkapasitas 30 GT tidak bisa melaut karena surat izin berlayar tidak diterbitkan oleh syahbandar.
Amat IS Maya mengaku sudah berulang kali mengingatkan nelayan agar bongkar muat hasil ikan dilaksanakan di pelabuhan seperti yang tertera dalam surat izin penangkapan ikan. Oleh karena itu, ketika masih ada yang melanggar, ia menjatuhkan sanksi teguran sekaligus mengusulkan pembekuan surat izin berlayar ke Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). ”Sanksi pembekuan ini diusulkan ke pusat, nanti pusat yang membekukan karena izinnya dari sana,” ujarnya.
Mengenai PNBP, Amat mengatakan, pihaknya hanya menjalankan Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis PNBP yang Berlaku pada KKP. Aturan itu mengubah skema pungutan hasil perikanan, dari praproduksi ke pascaproduksi. Dengan kata lain, PNBP yang semula dibayarkan setiap tahun kini harus dibayarkan setiap kapal ikan pulang dari melaut. Untuk kapal 30 GT, besaran PNBP yang harus dibayarkan sebesar 5 persen dari hasil tangkapan kotor.
Jika PNBP tidak dibayarkan setelah pulang dari melaut, pemilik kapal diberikan kelonggaran waktu selama tujuh hari. Jika tenggat dilampaui, syahbandar tidak bisa menerbitkan SPB.
Kucing-kucingan
Permasalahannya, menurut Amat, tidak semua nelayan membawa hasil yang cukup, bahkan tak jarang hasil yang diperoleh tidak bisa menutup ongkos operasional. Akibatnya, nelayan kerap ”kucing-kucingan” dengan aparat pelabuhan. Ikan hasil tangkapan tidak seluruhnya didaratkan di pelabuhan yang ditentukan, tetapi di tempat lain. Seandainya potongan PNBP dihitung dari keuntungan bersih yang diperoleh dari melaut akan lebih adil bagi nelayan. ”Kebijakan ini sepertinya tidak melihat aspek sosial,” ujar Amat.
Yang juga jadi problem, menurut Irwan Umar (43), nelayan Dufa-dufa lainnya, Inka Mina 992 beserta banyak kapal 30 GT lainnya di Dufa-dufa merupakan kapal bantuan pemerintah. Dengan status itu, seharusnya mereka tidak diperlakukan sama dengan perusahaan perikanan yang memiliki kapal-kapal 30 GT ke atas. Sebab, nelayan yang memeroleh kapal bantuan masih memiliki keterbatasan-keterbatasan. ”Pemerintah kasih kita bantuan, tetapi juga cekik kita betul-betul,” keluhnya.
Ketua Koperasi Santo Alvin Pratama, Hermanto, yang koperasinya mengoperasikan lima kapal ikan bantuan pemerintah berukuran 35 GT, juga mengeluhkan tak adanya perlakuan berbeda itu. Padahal, penarikan PNBP pascaproduksi bisa jauh lebih besar daripada pembayaran praproduksi.
Sebelum skema baru ini berlaku, setiap kapal 35 GT dibebani pembayaran PNBP Rp 35 juta. Namun, kini, jika setiap kapal melaut 10 kali dalam sebulan dan dipotong PNBP sebesar Rp 1 juta setiap kali melaut, maka dalam setahun total PNBP yang harus dibayarkan mencapai Rp 120 juta atau hampir empat kali lipat dari pembayaran PNBP dengan model sebelumnya. Apalagi penghitungan PNBP berbasis pada hasil tangkapan nelayan, belum dipotong ongkos operasional.
”Padahal tidak setiap kali melaut nelayan memperoleh hasil. Ketika hari-hari paceklik itulah, nelayan merugi karena harus bayar PNBP,” ujarnya.
Pengajar di Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Khairun, Ternate, Irham, melihat, perubahan skema pungutan hasil perikanan merupakan bagian dari kebijakan pemerintah untuk memberlakukan penangkapan ikan terukur. Kebijakan ini diterapkan untuk mencegah penangkapan ikan berlebih sehingga kelak penangkapan ikan akan berbasis pada kuota. Hanya saja, ia mempertanyakan ketika perubahan skema diterapkan lebih dulu daripada kebijakan penangkapan ikan terukur.
”Kalau kuota belum ditetapkan lalu PNBP sudah ditarik, tidak masuk akal. Kita bicara konsep kan. Belum tahu berapa yang harus ditangkap sudah ditarik,” ujarnya.
Penerapan perubahan skema itu memperlihatkan pemerintah sebatas mengejar peningkatan PNBP dibandingkan tujuan mulia dari lahirnya kebijakan penangkapan ikan terukur, yakni mencegah penangkapan ikan berlebih. Sebelumnya, pemerintah telah mengungkapkan bahwa PNBP subsektor perikanan pada 2023 sebesar Rp 3,5 triliun atau naik hampir tiga kali lipat dari realisasi tahun 2022 senilai Rp 1,26 triliun dengan perubahan skema penarikan PNBP.
Kepala Balai Pengelolaan Pelabuhan Perikanan Daerah Wilayah III Ternate Amma Duwila menjelaskan, sejak perubahan skema pungutan PNBP diterapkan pada Maret 2023, nelayan pemilik kapal lebih dari 30 GT kerap menghindari pungutan dengan membongkar muatannya di luar pelabuhan seharusnya. Adapun kebijakan penangkapan ikan terukur, kata Amma, memang belum mulai diterapkan. Daerah masih menanti keputusan dari pemerintah pusat, terutama soal kuota penangkapan ikan dari setiap perahu atau kapal nelayan. Untuk ini, dia meminta pemerintah pusat melihat kondisi di lapangan sebelum kebijakan baru diterapkan.
”Jangan lagi terulang kebijakan perubahan skema pungutan PNBP yang justru memicu konflik nelayan dan otoritas pelabuhan ikan. Kalau ada regulasi baru coba datang ke sini, lihat keadaan di lapangan. Karakter orang di tiap provinsi juga beda-beda,” ujarnya.