Peraturan turunan kebijakan penangkapan ikan terukur diharapkan tuntas akhir bulan ini. Polemik masih mencuat di publik terkait potensi liberalisasi perikanan dan keberpihakan untuk penguatan nelayan lokal.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah tengah mematangkan peraturan menteri terkait penangkapan ikan terukur. Kebijakan penangkapan ikan terukur membuka peluang bagi pemodal asing dan pelaku industri dalam negeri untuk memperoleh kuota tangkapan ikan dalam zona penangkapan.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur yang ditandatangani pada tanggal 6 Maret 2023, antara lain, mengatur pemanfaatan secara optimal sumber daya ikan dengan memperhatikan daya dukung melalui pengaturan zona penangkapan dan kuota penangkapan ikan. Kuota penangkapan itu meliputi kuota untuk industri, nelayan lokal, dan kegiatan bukan untuk tujuan komersial.
Juru bicara Menteri Kelautan dan Perikanan, Wahyu Muryadi, menyatakan, pihaknya masih mematangkan peraturan menteri tentang penangkapan ikan secara terukur. Peraturan itu merupakan aturan turunan PP No 11/2023. ”(Peraturan menteri itu) diharapkan kelar akhir bulan ini,” ujar Wahyu di Jakarta, Kamis (13/7/2023).
Penangkapan ikan terukur akan dilaksanakan pada enam zona di 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI). Kuota industri diberikan oleh menteri berdasarkan permohonan yang diajukan orang perseorangan dan badan usaha, baik berupa usaha penanaman modal asing (PMA) maupun modal dalam negeri (PMDN). Kuota industri diberikan untuk setiap zona penangkapan di atas 12 mil.
Wahyu menambahkan, Pemerintah RI juga masih menjajaki kerja sama dengan Pemerintah China. Kerja sama itu mencakup investasi penangkapan ikan dengan kuota tangkapan.
Ketua Dewan Pakar Masyarakat Perikanan Nusantara Rokhmin Dahuri, saat dihubungi secara terpisah, berpendapat, kebijakan penangkapan ikan terukur saat ini terkesan stagnan. Ia menyoroti pelaku usaha dalam negeri yang belum berminat mengikuti kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota. Sebab, pungutan hasil perikanan dinilai memberatkan, sedangkan upaya menggandeng investor China untuk kuota penangkapan ikan di Indonesia belum terealisasi.
Sebelumnya, penerbitan PP No 11/2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur berbasis kuota menuai pro dan kontra di ruang publik. Sejumlah kalangan menilai kebijakan itu mengandung muatan liberalisasi terhadap sektor penangkapan ikan di Indonesia. Ini tecermin dari kuota industri dalam zona penangkapan ikan terukur yang diberikan kepada PMA dan PMDN. Kuota penangkapan ikan bagi modal asing diberikan pada sejumlah wilayah pengelolaan perikanan.
Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Dani Setiawan, beberapa waktu lalu, menyoroti Indonesia sudah membuka sektor perikanan tangkap bagi modal asing selain modal dalam negeri. Selain itu, belum ada kejelasan kuota penangkapan ikan bagi nelayan lokal, baik yang menangkap di bawah 12 mil atau di atas 12 mil.
Menurut Wahyu, kuota untuk nelayan lokal, nelayan tradisional, dan pengusaha pemilik kapal domestik akan diprioritaskan dalam persentase yang proporsional dan adil. ”Besarannya akan ditentukan dalam permen dan kepmen, seperti halnya kuota buat hobi memancing. Baru setelah itu diberikan kuotanya kepada PMA yang bermitra dengan pengusaha dalam negeri setelah memenuhi syarat dan aturan yang berlaku,” katanya.
Rokhmin berpendapat, kebijakan penangkapan ikan terukur seharusnya menjadi momentum untuk menggerakkan nelayan lokal serta membuka kesempatan lebih luas kepada pelaku perikanan dalam negeri. Pemerintah perlu memastikan sektor perikanan menciptakan efek berganda untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan dan menyerap tenaga kerja.
Saat ini tingkat pendapatan rata-rata nelayan baru Rp 2,7 juta per bulan atau di bawah standar upah minimum. ”Indikator kinerja sektor perikanan bukan hanya identik dengan capaian penerimaan negara bukan pajak, tetapi bagaimana mendorong kesejahteraan nelayan,” katanya.
Kebijakan penangkapan ikan terukur perlu digarap dengan mengacu pada optimalisasi penangkapan ikan, penentuan jumlah optimal nelayan dan kapal ikan yang boleh beroperasi di setiap wilayah pengelolaan perikanan, serta penangkapan ikan lestari. Pembatasan jumlah nelayan diperlukan untuk mendorong tingkat pendapatan minimal rumah tangga nelayan, yakni 375 dollar AS atau sekitar Rp 5,6 juta per bulan. Selain itu, pengembangan mata pencarian alternatif bagi nelayan yang mampu menunjang industrialisasi perikanan.
”Secara simultan, nelayan dimodernisasi dengan kapal modern sehingga tidak terkonsentrasi di satu wilayah perairan dan mengisi perairan yang rawan dicuri nelayan asing. Selain itu, pembangunan industri di wilayah tangkapan,” kata Rokhmin.
Rokhmin menambahkan, penangkapan ikan terukur masih belum mengarah ke modernisasi nelayan sehingga berpotensi bias. Pemerintah perlu memberikan dukungan berupa pendampingan nelayan untuk penanganan ikan yang baik guna meningkatkan nilai jual ikan dan fasilitas sarana produksi memadai di setiap pelabuhan perikanan.
Pelabuhan perikanan perlu diperkuat tidak hanya sebagai tambat labuh kapal, tetapi juga untuk proses industrialisasi, seperti pabrik es, gudang pendingin, dan sarana logistik.