Bansos dan Pemberdayaan Jangkau Masyarakat di Pulau Terluar Mapia Papua
Masyarakat Kepulauan Mapia yang kesulitan penuhi kebutuhan pokok akhirnya mendapat bantuan sosial dan kesehatan. Ada pula program pemberdayaan agar masyarakat bisa mandiri penuhi kebutuhan dasar.
Oleh
NASRUN KATINGKA
·3 menit baca
SUPIORI, KOMPAS — Kementerian Sosial menyalurkan bantuan ke salah satu pulau terluar Indonesia di Papua, yakni Kepulauan Mapia, Kabupaten Supiori. Selain itu, ada program pemberdayaan bagi masyarakat.
”Ini adalah bentuk tanggung jawab dan bukti kehadiran negara. Kita harus saling memperhatikan,” kata Menteri Sosial Tri Rismaharini saat berkunjung ke Pulau Brasi, Mapia, dalam Ekspedisi Kepulauan Mapia, Selasa (12/9/2023).
Rombongan Kemensos yang berangkat dari Biak menggunakan kapal rumah sakit milik TNI, KRI dr Wahidin Sudirohusodo (KRI WSH 991). Melaju dengan kecepatan rata-rata 12 knot atau 22 km per jam, kapal tiba di Kepulauan Mapia sekitar pukul 05.00, setelah berlayar sekitar 15 jam.
Kepulauan Mapia terletak di ujung utara pulau Papua, 300 kilometer dari Pulau Biak, ibu kota Supiori. Di kepulauan yang berada di wilayah perairan Samudra Pasifik ini terdapat tiga pulau utama, yakni Pulau Brasi, Pegun, dan Fanildo. Nama pulau terakhir tidak berpenghuni serta berstatus wilayah darat terluar Indonesia yang bersinggungan dengan (negara) Palau.
Kapal membawa berbagai jenis bantuan, seperti pangan, bibit tanaman, unggas petelur, perlengkapan sekolah, obat dan alat kesehatan, serta sejumlah keperluan perbaikan fasilitas.
Sementara itu, akibat kondisi dermaga yang tidak memadai, kapal KRI WSH hanya berlabuh di laut Kepulauan Mapia. Perjalanan rombongan dan bantuan dari Kemensos kapal ke Pulau Brasi dilanjutkan dengan menggunakan kapal kecil milik TNI AL serta perahu milik masyarakat Mapia.
Ini adalah bentuk tanggung jawab dan bukti kehadiran negara. Kita harus saling memperhatikan.
Saat mulai merapat di dermaga Pulau Brasi, masyarakat, termasuk anak-anak, mulai berbondong-bondong datang. Mereka antusias menyambut kedatangan rombongan Kemensos.
”Kami berikan bantuan seperti bibit sayur dan buah serta ayam petelur. Dengan demikian, diharapkan masyarakat bisa mandiri memenuhi kebutuhan dasarnya secara mandiri sekaligus bisa menekan pengeluaran mereka,” tutur Risma.
Pihaknya juga membantu obat-obatan dan alat kesehatan bagi puskesmas pembantu. Ada pula bantuan perlengkapan sekolah untuk 29 murid di SDN Kecil Mapia.
Selain itu, Kemensos membantu kebutuhan listrik dan air bersih masyarakat yang terisolasi. ”Seminggu yang lalu tim kami dibantu TNI sudah berada di Mapia membantu masyarakat kesulitan listrik dan air bersih. Kami bantu penggunaan teknologi penyulingan air laut menjadi air tawar dan kita bantu solar cell (panel Surya) untuk listrik,” tutur Risma.
Komandan Pangkalan Laut Biak Numfor Carlos R Deda mengungkapkan, kehidupan masyarakat di kepulauan Mapia sangat terisolasi. Akses ke Biak hanya bisa dijangkau dengan kapal perintis KM Sabuk Nusantara yang melayani pelayaran tiap dua minggu sekali.
Kepala Kampung Mapia Cendra Mnsen mengatakan, sebanyak 298 jiwa warga Kampung Mapia bergantung pada Biak. Perjalanan ke Biak memakan waktu dua hari. ”Semua hasil laut tidak bisa langsung dijual, kecuali ikan kering,” katanya. Untuk kembali, lanjutnya, masyarakat harus menunggu dua minggu, dengan berharap dagangannya habis terjual.
Seorang warga, Linda Yawan (44), bercerita saat suaminya dan nelayan lain tidak boleh menangkap ikan untuk dipasarkan selama enam bulan hingga Juli 2023. Hal ini merupakan hukum di sana yang dalam kurun waktu enam bulan hanya boleh mengambil hasil laut untuk konsumsi sehari-hari.
Di sisi lain, panen hasil kopranya belum bisa untuk dijual ke Biak. Dia berharap berbagai bantuan dari pemerintah bisa sedikit memangkas keterisolasian mereka sehingga bisa memenuhi kebutuhan pokok saat paceklik.
”Karena tidak ada yang bisa dijual ke Biak, kami hanya memanfaatkan talas atau pisang serta ikan kering untuk dikonsumsi sehari-hari. Bantuan sekarang bisa tambah untuk kebutuhan kami,” kata Linda.
Sementara itu, di tengah keterisolasian, masyarakat masih bermimpi bisa memasarkan hasil laut dan pertanian mereka. Saiji (51) berharap ada bantuan kapal yang memadai dari pemerintah daerah ataupun pusat untuk keperluan pemasaran.
”Jika ada bantuan kapal yang jadwalnya lebih rutin, kami jadi lebih tenang saat menjual. Kami tidak lagi mengeluarkan uang untuk sewa kos sambil kapal menunggu tiap dua minggu selama di Biak,” ujarnya.