Kekeringan ekstrem meluas di NTT, dari empat menjadi delapan kabupaten. Kekeringan itu secara spot terjadi di kecamatan-kecamatan tertentu. Sementara 14 kabupaten/kota masih dalam kondisi siaga.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Memasuki puncak kemarau, September-November, kekeringan ekstrem di Nusa Tenggara Timur meluas. Curah hujan hampir tidak ada sehingga perlu kewaspadaan terhadap sejumlah bencana terkait kekeringan itu, terutama kekeringan sumber-sumber air.
Kepala Stasiun Klimatologi Kelas II Kupang, NTT, Rahmatullah Adji di Kupang, Jumat (1/9/2023), mengatakan, per medio Agustus 2023 sebanyak empat kabupaten mengalami kekeringan, kemudian meningkat menjadi delapan kabupaten per 31 Agustus 2023. Sementara 14 kabupaten lain masih dalam kategori siaga, dengan masa hari tanpa hujan (HTH) 50-60 hari berturut-turut.
Kategori kekeringan ekstrem adalah HTH lebih dari 60 hari. Delapan kabupaten terpapar kekeringan ekstrem, yakni Kota Kupang khusus wilayah Manulai II dan Stasiun Klimatologi NTT, serta Kecamatan Maukaro dan Sokaria di Kabupaten Ende.
Daerah lain yang juga dilanda kekeringan adalah Kecamatan Magepanda di Sikka, Kecamatan Sulamu dan Batuliti di Kabupaten Kupang, serta Kecamatan Atambua, Fatubenao, dan Fatulotu di Kabupaten Belu.
Kemudian Sabu Raijua di wilayah Daieko, Kabupaten Sumba Timur tersebar di Kecamatan Malahar dan Kecamatan Kamanggi, serta Kabupaten Rote Ndao terdapat di Kecamatan Busalangga. Kekeringan ekstrem juga melanda Kecamatan Nagawutung di Lembata. Pada minggu pertama dan kedua September, kekeringan ekstrem diprediksi bakal meningkat.
Adji mengatakan, sesuai hasil analisis dasarian III Agustus 2023, pada umumnya wilayah NTT mengalami curah hujan dengan kategori rendah, 0- 50 milimeter. Wilayah Manggarai Raya, yang selama ini sering terjadi hujan pada musim kemarau, pun tidak mendapatkan curah hujan yang cukup.
Kekeringan ekstrem pada akhir September-November nanti diprediksi lebih luas lagi. Seluruh wilayah daratan NTT mengalami situasi itu. Saat ini, kekeringan ekstrem hanya melanda beberapa kecamatan dan kelurahan di satu kabupaten atau kota. Itu berarti kebutuhan air bersih pun bakal meningkat.
”Ya, semua perlu waspada. Data iklim ini selalu disebarkan ke semua kalangan, terutama para pengambil keputusan. Semua kalangan wajib tahu dan paham,” ujar Adji.
Diharapkan, dengan informasi ini, semua pihak bisa mengantisipasi kesulitan air bersih, kebakaran lahan, kesulitan pangan, dan pakan ternak.
Ya, semua perlu waspada. (Rahmatullah Adji)
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah NTT Ambrosius Kodo mengatakan, pihaknya telah memerintahkan semua kabupaten/kota untuk siaga sejak Juni 2023 terkait kekeringan itu. Dampak dari kekeringan itu sangat luas. Pencegahan dini sangat penting sehingga tetap dilakukan pemantauan rutin selama puncak kemarau ini.
”Periksa sumber-sumber mata air, waduk, embung, dan kondisi lahan sawah warga. Buatkan catatan, analisis, dan prediksi mengenai kondisi di lapangan. Jangan sampai tiba-tiba bencana datang, semua tidak siap. Itu yang tidak kita inginkan,” kata Ambrosius.
Posko kebencanaan
Semua posko kebencanaan di kabupaten/kota diaktifkan memasuki puncak kemarau ini. Tempatkan petugas di setiap posko untuk menerima laporan dan pengaduan masyarakat soal kekeringan. Jika masyarakat mulai kesulitan mengakses air bersih secara rutin dari sumbernya, segera diberikan bantuan.
Sebanyak 22 kabupaten/kota di NTT memiliki mobil tangki air, dengan jumlah bervariasi, 3-7 unit mobil tangki. Belum termasuk mobil tangki air milik pengusaha atau masyarakat. Itu juga bisa disewa jika kondisi kesulitan air bersih di masyarakat semakin memprihatinkan.
Ambrosius mengingatkan masyarakat agar memanfaatkan air bersih di rumah dan lahan pertanian secukupnya. Jangan membuang-buang air. Wadah penampung air yang selama ini bocor dan meniriskan air sepanjang hari segera ditambal. Demikian pula pipa air milik PDAM di setiap kabupaten/kota yang bocor agar segera diperbaiki.
Menurut Koordinator Divisi Perikliman dan Kebencanaan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Wilayah NTT Dedi Holo, kekeringan ekstrem seperti ini terjadi hampir setiap tahun. Masalah kekeringan sumber-sumber mata air, embung, dan bendungan ini sangat erat kaitannya dengan kerusakan hutan di sekitarnya.
Dedi menyebutkan, pihaknya rutin mengingatkan pemerintah daerah agar memiliki kebijakan khusus setiap musim hujan untuk melakukan penghijauan di kawasan sumber-sumber air. Kawasan hutan di sekitar sumber-sumber mata air harus dirawat dan dilindungi.
”Jangan dibiarkan terbakar atau pohon-pohonnya ditebang sembarangan oleh orang yang tak bertanggung jawab,” ujarnya.
Kekeringan ekstrem selama puncak kemarau itu selalu berbarengan dengan kebakaran hutan di sejumlah wilayah. Belum ada kebijakan strategis mencegah kebakaran itu melalui bupati/wali kota sampai ke tingkat RT/RW. Program penghijauan kawasan hutan kritis selama lima tahun terakhir tidak ada sama sekali.
Apabila ada aksi penghijauan di lahan kritis dan sumber-sumber mata air, kebiasaan masyarakat membakar hutan atau lahan pertanian pun selalu waspada. Hutan tetap lestari, sumber mata air terjaga. Keseluruhan ekosistem sekitar pun terlindungi.