Ketika Bendungan Tilong dan Raknamo di Kupang Mengering
Bekas petak sawah di Kecamatan Kupang Tengah dan Kupang Timur, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Problem menahun berupa kekeringan dan tak kunjung teratasi.
Bekas petak sawah di areal pertanian di empat desa di Kecamatan Kupang Tengah dan Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, dipenuhi rerumputan. Lahan sekitar 250 hektar itu diabaikan pemilik karena kesulitan air.
Petak sawah itu mengering, senapas dengan Bendungan Tilong dan Bendungan Raknamo yang juga mengering. Bendungan Tilong dibangun dengan daya tampung air hingga 19,07 juta meter kubik, sedangkan Bendungan Raknamo berkapasitas 14 juta meter kubik.
Dua bendungan itu dibangun pemerintah untuk mengatasi kekeringan dan keterbatasan air bersih di Kabupaten Kupang. Keberadaan bendungan juga diharapkan mampu memicu produksi pertanian setempat hingga pada akhirnya bisa menghadirkan kesejahteraan warga. Walakin, harapan itu masih terasa jauh.
Marthen Henuk (54), salah satu pemilik lahan di Desa Oelnasi, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, hanya diam saat ditanya soal lahan sawah miliknya seluas 2 hektar persis di jalur pengairan Bendungan Tilong. Ia kecewa, tidak ada yang peduli dengan kekeringan Bendungan Tilong.
”Semua orang membiarkan kondisi itu berjalan. Tidak ada solusi apa pun mengatasi kekeringan ini. Air bendungan itu mengering sejak Februari 2020. Diduga, pengisian air hujan ke kolam terbatas karena curah hujan musim 2019/2020 sedikit. Padahal, di dalam bendungan itu ada sebuah sumber mata air. Rupanya sumber air itu pun kering,” kata Henuk.
Baca juga: Debit Air Bendungan Tilong Kupang, Turun Drastis
Ada sekitar 100 hektar lahan pertanian milik 33 petani di Oelnasi dan Noelbaki yang pengairannya tergantung dari bendungan itu. Saat bendungan mengering, lahan itu sama sekali tidak ditanami. Ketika bendungan itu masih mengalirkan air, sekitar 50 hektar lahan di sana bisa diolah. Sisanya sulit diolah karena keterbatasan air. Sejak diresmikan Presiden ke-5 RI, Megawati Soekarnoputri, 18 tahun silam, Bendungan Tilong baru tahun ini mengalami kekeringan.
”Apa yang menyebabkan kekeringan itu. Jangan biarkan bendungan terus mengering. Jika tidak segera ditangani, tahun depan tetap sama,” kata Henuk.
Tahun-tahun sebelumnya, air Bendungan Tilong tidak pernah mengering total seperti sekarang. Jika debit Bendungan Tilong menurun, petani di daerah tersebut tidak menanam padi. Mereka memilih menanam hortikultura yang lebih irit air, seperti sawi, kol, tomat, cabai, kacang-kacangan, dan jagung.
Saat ini sejumlah sumur di kawasan itu juga mengering sejak Juli. Sebelumnya, sumur-sumur dengan kedalaman 4-10 meter milik warga setempat selalu menyimpan air sampai puncak kemarau seperti sekarang.
Apa yang menyebabkan kekeringan itu. Jangan biarkan bendungan terus mengering. Jika tidak segera ditangani, tahun depan tetap sama. (Marthen Henuk)
Mencoba bertahan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, Henuk beralih membuat batako sejak dua bulan terakhir. Usaha yang baru dirintis ini belum begitu menghasilkan karena pembangunan rumah belum seramai sebelum pandemi Covid-19.
Baca juga: Kemarau Panjang, Kapasitas Air Baku Bendungan Tilong Turun Drastis
Kekeringan Bendungan Tilong tidak hanya berdampak pada lahan pertanian. Warga yang berdiam di sekitar Bendungan Tilong juga kesulitan mendapatkan air bersih.
Untuk memenuhi kebutuhan air bersih, warga membeli air yang dijual menggunakan mobil tangki dengan harga Rp 150.000-Rp 200.000 per tangki untuk kapasitas 5.000 liter. Air hanya digunakan untuk kebutuhan minum dan memasak. Sementara untuk kebutuhan mandi dan mencuci, warga terpaksa ke Lasiana atau Noelbaki, memanfaatkan Sungai Mata Air yang berjarak sekitar 20 kilometer.
”Kami prioritaskan yang mana. Beli air minum atau belanja makan dan biaya hidup anak-anak. Saat ini hidup makin susah, harga bahan pokok terus naik,” kata Magda Tabun, warga Dusun Tilong Desa Oelnasi, Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang.
Kekeringan di Bendungan Tilong juga berdampak pada kawasan di sekitarnya yang tampak lebih gersang dibandingkan kondisi tahun-tahun sebelumnya. Sebelum kekeringan, pohon-pohon berada di bawah bendungan tampak hijau dan rimbun, termasuk di sepanjang aliran air bendungan menuju dataran Oelnasi dan Noelbaki yang berjarak 7 kilometer.
Kami prioritaskan yang mana. Beli air minum atau belanja makan dan biaya hidup anak-anak. Saat ini hidup makin susah, harga bahan pokok terus naik. (Magda Tabun)
Derita akibat Bendungan Tilong yang mengering tidak hanya dirasakan masyarakat setempat. Warga Kota Kupang pun merasakan dampaknya karena Bendungan Tilong turut menyuplai air baku bagi PDAM Kota Kupang.
Baca juga: Bendungan Raknamo di Kupang Belum Terisi Penuh
Anggota staf PDAM Kota Kupang, Marius Seran, mengatakan, sejak Februari 2020, Bendungan Tilong tidak lagi mengalirkan air bagi warga Kota Kupang. Pemerintah Kota Kupang pun berhenti berlangganan dan tidak membayar iuran ke Pemerintah Provinsi NTT yang mengelola bendungan itu.
”Informasi dari pemprov, air bendungan tidak cukup untuk dialirkan ke Kupang karena debit air menurun drastis. Curah hujan tidak cukup untuk menampung air hujan di dalam kolam bendungan,” kata Seran.
Belum bisa dinikmati
Kondisi Bendungan Raknamo tidak kalah ironis. Diresmikan Presiden Joko Widodo pada 9 Januari 2018, air dari bendungan itu belum bisa dinikmati masyarakat karena belum terisi penuh.
Kepala Desa Manusak, Kabupaten Kupang, Arthur Ximenes, mengatakan, pada Februari 2020, Bendungan Raknamo di Desa Raknamo, Kecamatan Kupang Timur, sempat menyimpan air sampai 10 juta meter kubik dari total kapasitas 14 juta meter kubik. Air tetap tidak bisa dinikmati warga karena pihak pengelola bendungan beralasan, air harus bisa melimpah keluar sebelum dialirkan ke saluran irigasi dan ke permukiman warga.
Air bendungan pun dibiarkan begitu saja di dalam kolam. Saat ini, air itu mengalami penguapan sehingga sisa air berada di dalam kolam utama bendungan hanya berkisar 3 meter kedalamannya.
Sesuai rencana awal, Bendungan Raknamo diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan air bersih bagi warga Desa Raknamo, Manusak, dan Oesao, serta mengairi 150 hektar lahan sawah di Manusak dan Oesao, Kabupaten Kupang.
Selama ini, sekitar 530 warga Desa Manusak bergantung pada Embung Oelpuah yang berkapasitas 500.000 meter kubik untuk memenuhi kebutuhan air bersih.
Air tidak hanya untuk minum, memasak, mandi, dan mencuci, tetapi juga kebutuhan minum ternak. Nestapa terasa, air embung itu pun sudah kering pada puncak kemarau ini.
Baca juga: Kebakaran Hutan dan Gagal Panen di NTT, Siapa Peduli
Menyiasati kondisi ini, warga membeli air tangki dan membangun bak penampungan bersama. ”Sebanyak 2-3 keluarga membangun satu unit bak air berkapasitas 6.000 liter. Kemudian mereka belanja air tangki secara bergilir. Bak air itu dibangun di antara ketiga bangunan rumah itu,” kata Ximenes.
Ada yang mengalirkan langsung air dari bak itu ke rumah pribadi, sesuai kesepakatan, tetapi ada pula sepakat mengambil air langsung dari bak penampung itu. Pada puncak kemarau seperti sekarang, harga air naik menjadi Rp 250.000 per tangki.
Alfonso de Jesus (55), warga Manusak, mengatakan, warga bergotong royong untuk mengatasi kesulitan air bersih. Ia bergabung dengan tetangganya, Mateo da Cunha dan Agusto Fernandez, membangun bak air berkapasitas 6.000 liter. Pembangunannya membutuhkan dana sekitar Rp 3 juta.
Baca juga: Pemda di NTT didorong Optimalkan Bendungan
Selanjutnya, mereka mengisi air di bak itu secara bergantian. Jika saat giliran yang bersangkutan belum ada uang, keluarga yang punya uang bisa menalangi.
”Kebanyakan yang menjalin kerja sama mengatasi kesulitan air bersih itu keluarga dekat. Siapa yang ekonominya rumah tangga cukup baik, ia membantu yang lain, terutama dalam hal air bersih ini,” katanya.
Upaya mengantisipasi kesulitan air bersih juga dilakukan warga dengan menampung air hujan. Namun, upaya itu tidak cukup membantu mengatasi kesulitan air bersih saat musim kemarau panjang.
Kekeringan dan kesulitan air bersih menjadi kisah yang tak kunjung usai di NTT. Segala hal diupayakan pemerintah dan warga untuk mengatasi persoalan yang selalu muncul tiap tahun itu.
Ungkapan ”sumber air su dekat” rasanya hingga kini masih jauh dari kenyataan masyarakat NTT.