80.909 Kasus Tengkes di NTT, Air Bersih Penyebab Dominan
Selama periode Agustus 2020 hingga Agustus 2021, jumlah anak balita dan anak di NTT yang mengalami tengkes sebanyak 80.909 orang. Krisis air bersih dinilai menjadi penyebab utama masih tingginya angka tersebut.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Sebanyak 80.909 anak balita dan anak di Nusa Tenggara Timur mengalami tengkes. Angka tersebut menurun 3,2 persen dibandingkaan dengan tahun sebelumnya. Ketersediaan air bersih menjadi penyebab dominan masih tingginya tengkes. Semua pihak diajak berkolaborasi menekan angka tersebut.
Data angka tengkes itu diperoleh Kompas dari Badan Perencanaan, Penelitian, dan Pengembangan Daerah Provinsi NTT pada Rabu (13/10/2021). Angka tengkes 80.909 itu setara dengan 21 persen dari total keseluruhan anak balita sepanjang periode Agustus 2020 hingga Agustus 2021. Pada periode sebelumnya, 2019-2020, angka tengkes 24,3 persen.
Angka tersebut mengalami penurunan dari beberapa tahun sebelumnya. Tahun 2018-2019, angka tengkes di NTT sekitar 27 persen. Saat ini jumlah anak balita dan anak di NTT diperkirakan antara 600.000 dan 700.000 jiwa. Tengkes merupakan gangguan pertumbuhan yang dialami anak balita, baik bobot tubuh maupun tinggi.
Bagaimana anak bisa tumbuh besar kalau setiap hari mereka harus pikul air dan jalan berkilo-kilo meter. Pakai air untuk minum juga terbatas. Ke sekolah mereka hanya cuci muka.
Seperti diketahui, persoalan tengkes di NTT itu sempat dibicarakan dalam rapat khusus antara Gubernur NTT dan semua bupati/wali kota se-NTT pada Senin (11/9/2021) di Labuan Bajo, Manggarai Barat. Mereka pun berkomitmen untuk menekan angka tengkes di NTT menjadi 10 persen pada 2023 mendatang.
Kepala Badan Perencanaan, Penelitian, dan Pengembangan Daerah Provinsi NTT Kosmas Lana mengatakan, pemerintah provinsi mengapresiasi 10 kabupaten/kota yang dinilai berhasil menekan angka tengkes di daerah. Di NTT terdapat 21 kabupaten dan 1 kota.
Sepuluh kabupaten dimaksud adalah Rote Ndao, Manggarai Timur, Belu, Ngada, Nagekeo, Sikka, Ende, Flores Timur, Sumba Timur, dan Timor Tengah Selatan.
Menurut Kosmas, sejumlah langkah akan diambil untuk menekan angka tengkes, di antaranya mendesain sistem pendeteksian gejala tengkes dan pendataan pada ibu hamil dan anak dalam 1.000 pertama kehidupan. Akan dilakukan pengukuran tinggi dan berat badan serta pemberian makanan tambahan.
”Upaya lain mengintegrasi percepatan penurunan dan penanganan tengkes dengan program penanggulangan kemiskinan nasional dan daerah,” ujarnya. Selain itu, juga pendayagunaan berbagai potensi lokal sebagai menu bergizi untuk makanan tambahan bagi calon ibu, ibu hamil, dan bayi serta anak.
Tidak normal
Menurut pantauan Kompas di sejumlah daerah di NTT, seperti Kabupaten Kupang dan Malaka, banyak anak mengalami pertumbuhan tidak normal. Mereka itu kebanyakan hidup di daerah yang kesulitan mengakses air bersih.
”Bagaimana anak bisa tumbuh besar kalau setiap hari mereka harus pikul air dan jalan berkilo-kilo meter. Pakai air untuk minum juga terbatas. Ke sekolah mereka hanya cuci muka,” kata Edison (42), warga Desa Enoraen, Kecamatan Amarasi Timur, Kabupaten Kupang.
Di desa itu, warga hanya menikmati air bersih ketika musim hujan. Saat itu, air sumur melimpah. Namun, terhitung mulai April hingga Oktober atau November, sumur mengering. Untuk membeli satu tanki air berisi 5.000 liter, mereka harus membayar hingga Rp 1 juta.
Direktur Yayasan Pijar Timur Indonesia Vinsen Kia Beda berpendapat, krisis air bersih berdampak pada sanitasi masyarakat. Ia mencontohkan, di Kabupaten Malaka, hingga Oktober 2020, sebanyak 114 desa atau sekitar 90 persen dari total 127 desa di belum memenuhi standar sanitasi total berbasis masyarakat. Angka tengkes pada anak balita di daerah itu mencapai 25 persen.
Menurut dia, sanitasi sangat berperan besar dalam tumbuh kembang seorang anak. Anak tengkes 70 persen disebabkan oleh sanitasi lingkungan. Faktor gizi hanya 30 persen. ”Pendukung utama terciptanya sanitasi adalah air bersih, makanya benahi dulu persoalan air bersih,” kata Vinsen.