Kekeringan Ekstrem Langganan Hidup Masyarakat NTT
Kekeringan ekstrem menjadi langganan hidup masyarakat NTT. Setiap tahun, sejumlah kabupaten di NTT mengalami kekeringan ekstrem dengan hari tanpa hujan lebih dari 60 hari.
Kekeringan ekstremsudah berlangsung puluhan tahun di sejumlah wilayah Nusa Tenggara Timur. Belum pernah musim kemarau tiba tanpa kekeringan ekstrem itu. Dampak akhir dari kekeringan ekstrem itu sangat luas, termasuk rawan pangan dan kemiskinan.
Salah satu dalih bagi warga untuk bisa menyambung hidup dengan mengais rezeki menjadi pekerja migran Indonesia secara ilegal ke luar negeri.
Hery Akoit (10), siswa kelas lima sekolah dasar negeri Tunbaun, Kecamatan Amarasi Barat, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, Rabu (23/8/2023), duduk bersandar di tandon air berukuran 1.100 liter, di samping sekolahnya. Hari itu giliran anak-anak kelas lima mengambil air untuk kebutuhan toilet, menyiram bunga, cuci tangan, menyiram halaman sekolah, dan sejumlah kebutuhan lain.
Sampai April 2023, air ledeng masih bisa sampai di sekolah. Sejak Juli 2023, harus ambil air di tandon. Jeriken ini kami bawa dari rumah. Air diambil sampai semua kebutuhan terpenuhi. Mereka sekelas 38 anak bertugas ambil air secara bergilir.
Kegiatan mengambil air itu dilakukan para siswa di sekolah itu setiap musim kemarau tiba. Terhitung Juli-November, siswa kelassatu sampai kelas lima bergilir mengambil air dari tandon, terletak di posisi rendah menuju ke sekolah. Debit air kecil, sulit mengalir ke ketinggian. Mereka wajib membawa jeriken 5 liter, atau ember setiap giliran mengambil air.
Baca juga: Kekeringan Ekstrem Landa Empat Kabupaten di NTT
Hampir semua sekolah peduli sanitasi dan kebersihan, mewajibkan siswa mengambil air ke sekolah itu. Kecuali sekolah yang memiliki sumber air permanen di dalam lingkungan sekolah. Atau sekolah yang tidak peduli terhadap kebersihan, membiarkan sanitasi buruk terjadi.
Aktivitas siswa sekolah mengambil air ini pun mengganggu kegiatan belajar mengajar sekolah. Mereka harus menuruni lereng dan bukit untuk mengambil air. Mestinya setiap pembangunan sekolah baru langsung dengan satu sumur bor di lingkungan sekolah itu.
Tidak hanya kebutuhan sekolah. Di rumah juga mereka terlibat mengambil air untuk kebutuhan sehari-hari sampai 2 km perjalanan. Melewati lereng terjal dan bukit, dengan hadangan bebatuan tajam dan licin. Sambil meneteng jeriken atau menjunjung ember di puncak kepala, mereka meniti jalan setapak dengan sangat hati-hati.
Ibu rumah tangga pun menyisihkan waktu 1-2 jam untuk menghadirkan air bersih di rumah selama kemarau. Saking jauhnya, air itu hanya untuk kebutuhan minum, dan memasak. Mandi dan mencuci, mereka gunakan air ala kadarnya, atau harus ke sumber air tersebut. Ini berlangsung sudah puluhan tahun. Kekeringan menjadi rutinitas kehidupan masyarakat.
Baca juga: Kekeringan Ekstrem Rawan Terjadi di NTT
Betapa sulitnya mendapatkan air, bahkan sekadar untuk dikonsumsi juga dialami oleh Siti Saudah, kepala sekolah di SD Inpres Langira setelah enam tahun menjadi guru kelas di SDN Lawinu Tanarara, Kecamatan Matawai La Pawu, Kabupaten Sumba Timur.
”Setiap malam saya siapkan seember air untuk kebutuhan paling mendesak,” begitu kata Siti yang dihubungi Rabu malam dari Surabaya.
Persediaan air itu penting karena rumah dinas yang menjadi tempat tinggalnya daerah yang dikelilingi padang savana sehingga sangat kekurangan air bersih. Di tempat tinggal Siti, sumber air berada sekitar 300 meter dengan medan jalan menanjak dan turun curam.
Kini sedang diupayakan memasang selang dari sumber mata air, agar air bisa mengalir hingga lokasi sekolahan. Meski kemarau seperti sekarang, air begitu sulit, salah satu karena sumber mata air yang tersebar di beberapa titik jauh dan diperbukitan, pasokan air bersih justru kian sulit ketika hujan mulai mengguyur.
”Begitu hujan turun, dipastikan terjadi banjir bandang yang justru membuat air menjadi keruh karena sumber air sungai,” kata Siti, yang mengaku tidak melibatkan siswa mencari air bersih untuk kebutuhan bersama di sekolah. Alasannya, rumah siswa ke sekolah saja sudah sangat jauh sehingga tidak membebani mereka untuk mencari air bersih dari mata air.
Pengadaan air bersih
Kepedulian pemda terhadap masalah air bersih warga belum berdampak. Mereka hanya bisa membagikan air bersih dengan sistem mobil tangki mobile, per rukun tetangga, di puncak kemarau. Belum ada upaya mengadakan air bersih bagi warga. Misalnya, sumur bor, mengalirkan air dari dataran rendah ke permukiman warga dengan sistem perpipaan, atau upaya lain.
Desa Oelnasi, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, misalnya, beberapa kepala keluarga di lingkungan itu secara gotong royong mengadakan satu titik sumur bor senilai Rp 35 juta. Padahal, Desa Oelnasi berjarak sekitar 500 meter dari Bendungan Tilong, dengan kapasitas tampung air 19,7 juta metrik liter air, setiap musim hujan tiba.
Kepala Desa Oelnasi Yusak Leinati menyebut, sudah beberapa kali meminta pemerintah, dalam hal ini Balai Sungai Wilayah Nusa Tenggara yang bertanggung jawab atas Bendungan Tilong, menghadirkan air dari Bendungan Tilong masuk ke desa itu. Namun, selama 21 tahun bendungan itu hadir, air belum juga kunjung tiba.
Sampai sekarang, meski air bersih selalu menjadi persoalan, kepedulian pemerintah terhadap kebutuhan air bersih warga belum juga ada. Padahal, desa itu tidak hanya dihuni 2.650 warga, ada juga satu gedung sekolah menengah atas milik pemerintah.
Warga umumnya mengadakan sumur bor sendiri. Alasannya air Bendungan Tilong lebih diprioritaskan untuk kebutuhan air baku warga Kota Kupang dan sebagian untuk irigasi pertanian kabupaten Kupang di Noelbaki.
Baca juga: 21 Tahun Warga Oelnasi Kupang Merindukan Air Bersih Bendungan Tilong
Kebanyakan warga mengupayakan air secara swadaya. Membeli air tangki Rp 250.000- Rp 300.000 per 5.000 liter, tergantung jarak dan akses jalan. Sebagian menyimpan air hujan di bak permanen yang dibangun sendiri atau di dalam drum. Air menjadi kebutuhan pokok setara beras, minyak goreng, gula pasir, dan bahan pokok lain.
Kekeringan ekstrem menyebabkan sebagian besar sumber mata air, embung, dan bendungan mengering, terutama memasuki puncak kemarau. Itu terjadi hampir setiap tahun, sejak puluhan tahun silam.
Data Stasiun Klimatologi Kelas II Kupang, per 20 Agustus 2023, tercatat empat kabupaten di NTT mengalamai kekeringan ekstrem, dengan kondisi hari tanpa hujan (HTH) lebih dari 60. Kabupaten Sumba Timur, yakni wilayah kecamatan Kamanggih, Rote Ndao di Kecamatan Busalangga, Ende di Kecamatan Maukaro), dan Kecamatan Sulamu di Kabupaten Kupang mengalami kekeringan ekstrem itu.
Kecamatan lain di empat kabupaten itu mengalami kekeringan sangat panjang dengan HTH berkisar 30-60 hari. Ini juga dialami 18 kabupaten/kota lain. Puncak kemarau ini tidak ada hujan dengan kategori pendek dan sedang, yakni 0-30 hari. Puncak kemarau, Agustus-November wilayah NTT sangat sulit terpapar hujan.
Baca juga: Sejumlah Wilayah NTT Alami Hari Tanpa Hujan Lebih dari 60 Hari
Rawan pangan
Kondisi ini berpengaruh terhadap pertanian dan perkebunanNTT. Gagal panen dan ancaman rawan pangan menjadi litani tahunan kehidupan para petani dan peternak. Berdampak lanjutan pada gizi buruk dan tengkeng yang dialami anak-anak.
Dosen Universitas Nusa Cendana Kupang, John Tuba Helan, menyebutkan, meski pemprov mengklaim angka kemiskinan NTT terus bergerak turun. Tahun 2018 sebanyak 21,36 persen turun menjadi 19,96 persen pada posisi Maret 2023. Namun, fakta lapangan berbeda dengan laporan itu. Sebanyak 75 persen masyarakat NTT masih menerima sejumlah bantuan sosial dari pemerintah, seperti bantuan langsung tunai, bantuan rumah sejahtera terpadu, dan progam keluarga harapan.
Bahkan masih banyak warga mengaku miskin, tetapi tidak mendapat bantuan sosial dari pemerintah. Juga mereka yang tadinya menerima sejumlah bansos, kini distop, sementara kondisi mereka masih miskin. Kemiskinan cenderung meningkat, yakni mereka yang lahir dari keluarga miskin, dan membangun hidup dengan status sebagai orang miskin baru.
Pergerakan kenaikan orang miskin jauh lebih cepat dibandingkan upaya penurunan dari status miskin menjadi sejahtera. Banyak keluarga miskin di desa-desa, memiliki anak lebih dari dua. Anak-anak itu pun mengikuti pola hidup ayah. Hanya sampai sekolah dasar. Tetap mengolah lahan kering bersama orangtua. ”Ya, tetap miskin,” kata John.
Baca juga: 17 Kabupaten/Kota di NTT Alami Kekeringan Ekstrem
Dampak lain, ribuan orang berbondong-bondong meninggalkan kampung asal dan menjadi pekerja migran ilegal di luar negeri dan provinsi lain, dengan segala risiko, termasuk kematian sekalipun. Kesulitan ekonomi rumah tangga mendorong warga miskin berani ”mati” di negeri orang. Hanya karena sekadar mendapatkan makan yang lebih layak
Dikatakan, cerita sukses pekerja migran Indonesia di luar negeri bertolak belakang dengan dengan kisah pilu ratusan pekerja migran ilegal yang meninggal di luar negeri. Seperti periode Januari-Agustus 2023 sudah 94 peti jenazah pekerja migran ilegal NTT tiba di Bandara El Tari Kupang.
Jika dilihat dari kesulitan warga mendapat air bersih, solusi agaknya masih jauh, terutama dari kepedulian pemerintah daerah. Barangkali pemerintah daerah pun justru kebingungan memberikan solusi terkait air bersih.
Warga sepertinya dibiarkan menyelamatkan diri masing-masing dengan segala kesulitan dan perjuangannya mendapatkan air bersih. Artinya, air di beberapa kabupaten dan kota di NTT masih saja jauh.