Tiga kabupaten/kota di NTT dilanda kekeringan ekstrem. Masyarakat perlu bijak memanfaatkan air bersih hingga menghadapi ancaman kebakaran hutan.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Tiga kabupaten dan kota di Nusa Tenggara Timur berpotensi terdampak kekeringan ekstrem. Kondisi ini rentan memengaruhi ketersediaan air bersih hingga memicu kemunculan kebakaran lahan.
”Hasil pantauan hingga 10 September 2022, kekeringan ekstrem tercatat di tiga kabupaten/kota, yakni Kabupaten Kupang, Sabu Raijua, dan Kota Kupang. Beberapa wilayah di tiga daerah itu memiliki hari tanpa hujan atau HTH lebih dari 61 hari, seperti Kecamatan Taebenu, Alak, Maulafa, Hawu Mehara, dan Kecamatan Sabu Barat,” kata Kepala Stasiun Klimatologi Lasiana Kota Kupang Rahmatullah Adji di Kupang, Kamis (15/9/2022).
Oleh karena itu, Adji menyatakan telah mengeluarkan peringatan dini secara rutin dan terus diperbaharui setiap 10 hari terkait kondisi iklim ini. Masyarakat diingatkan terus mengikuti perkembangan iklim tersebut dan dapat menyesuaikan dengan situasi dan kondisi di lapangan.
”Gunakan air bersih secukupnya untuk keperluan rumah tangga, pertanian, peternakan, dan kebutuhan lain. Dengan kondisi iklim seperti ini, debit air tanah pun bakal berkurang. Sumber-sumber air dijaga dan dirawat serta dilarang melakukan penebangan hutan sekitar sumber air,” kata Adji.
Keterbatasan air baku, kata Adji, juga berdampak pada masalah sanitasi. Bila dibiarkan, hal itu bakal menimbulkan berbagai masalah kesehatan.
”Kebakaran juga harus diwaspadai. Daerah seperti Pulau Timor, Sumba, Sabu, dan Rote sangat mudah terbakar,” katanya.
Program Area Manajer Plan Indonesia Perwakilan Nusa Tenggara Timur Semuel Niap mengatakan, kekeringan ekstrem tahun ini berbeda dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Saat ini, meski telah memasuki puncak kemarau, masih terjadi hujan di sejumlah wilayah di NTT, terutama di Manggarai, Manggarai Timur, Manggarai Barat, dan Ngada.
Akan tetapi, pihaknya menegaskan akan terus memberi dukungan bagi masyarakat yang rawan kesulitan air. Dukungan di antaranya berupa pengadaan sumur bor, bak penampung air hujan, perawatan sumber-sumber mata air, hingga energi terbarukan untuk menjamin pasokan air.
”Terkait isu perubahan iklim, kami punya proyek sanitasi dan kemitraan dengan isu perubahan iklim. Pengadaan sanitasi permukiman penduduk yang ramah pada iklim. Program ini tersebar di Kabupaten Malaka, Belu, dan Manggarai Flores,” kata Niap.
Di Kabupaten Belu, misalnya, Plan Indonesia NTT membangun toilet ramah disabilitas dan hemat penggunaan air bersih. Di Kabupaten Manggarai dilakukan kajian dan penelitian mengenai tanah dan air di setiap permukiman warga. Sementara di Malaka telah dibangun infrastruktur sanitasi ramah banjir.
Anggota DPRD NTT, Ana Kolin, menyebutkan, kekeringan ekstrem itu berdampak pada gagal panen, rawan pangan, dan gizi buruk. Saat itu terjadi, dampaknya akan memicu kemiskinan. Hingga saat ini, NTT masih bertengger di nomor urut tiga provinsi termiskin ketiga nasional.
Harus ada rencana besar
penanganan kebencanaan ini. Semua lapisan masyarakat memiliki tanggung jawab menjaga lingkungan masing-masing. Jangan lagi ada kerusakan hutan dan pencemaran lingkungan dengan membuang sampah di sembarang tempat,